19. Bukti

11.4K 1.8K 37
                                    

Berhubung suasana hatiku cukup baik, maka kuputuskan mengenakan gaun berwarna pastel. Jenis gaun dengan model lengan panjang. Oke deh, sebenarnya pakaian yang ada di lemari Violet, kan, semua berjenis gaun, atasan lengan panjang, atasan berkerah kanji, maupun rok. Hanya itu saja yang bisa kupilih. Salahku juga sih. Fokus menjual perhiasan, menggendutkan rekening, membesarkan jumlah pengikut demi iklan, dan persiapan masa depan. Jangankan memikirkan beli baju, urusan rumah yang nanti aku tempati pun masih belum beres.

Hahaha life goes on sekalipun isinya cuma keluh dan hasrat ingin mengumpat.

Kembali ke cerita mengenai rutinitasku. Usai menjemput Damian, kami pun meluncur ke salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan. Kebetulan pada hari ini Damian tidak memiliki jadwal les apa pun.

Aku hanya ingin menikmati kebersamaan dengan Damian. Sungguh aneh. Sekalipun aku bukan ibu kandungnya, tetapi diriku telah jatuh hati terhadap Damian. Andai saja Violet bisa melihat betapa manis dan menggemaskan Damian, pastilah dia tidak akan mengalami krisis kepercayaan diri terhadap cinta. Hei cinta, kan, tidak selalu mengenai perasaan lelaki dan perempuan. Ada jenis cinta lain. Amat banyak. Seperti kata Dee Lestari, “Terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan.”

Akan tetapi, cintaku kepada Damian tidak bisa diukur oleh apa pun. Ibarat penggemar, aku masuk golongan garis keras. ALL HAIL DAMIAN!

“Damian, kamu mau tambah?”

Damian lekas menggeleng. Untuk ukuran anak kecil, cara makan Damian sangat rapi. Tidak ada saos maupun kecap yang menempel di pipi. “Nggak, Ma. Kenyang.”

“Yakin? Apa kamu nggak ingin tambah es krim?”

“Perut Damian bulat, Ma.” Kemudian dia meletakkan tangan di sekitar area pinggang. “Lihat. Nanti mirip balon.”

“Oh, ya? Mana? Mama nggak lihat tuh.”

“Maaaa.”

Sekarang pahamlah aku respons ibu-ibu kenalanku yang gemar memberi makan putra putrinya dengan porsi luar biasa. Sebab sepertinya aku terjangkit hobi serupa.

“Baiklah,” akhirnya aku menyetujui keinginan Damian, “kita bisa langsung pulang. Pasti kamu lelah, ‘kan?”

“Mama mau melukis lagi?”

“Sekarang Mama belum punya ide bagus,” ucapku menjawab pertanyaan Damian. “Nanti andai Mama dapat ide bagus, Damian boleh ikut melukis.”

“OKE!”

Kami meninggalkan restoran dengan perasaan riang dan perut kenyang. Namun, pemandangan yang berhasil tertangkap olehku justru membuatku hampir terkena serangan jantung.

Ada Tristan! Bukan hanya dia seorang, malainkan dengan sesosok wanita. Berdasarkan ingatan Violet tanpa bertanya pun aku tahu siapa gerangan yang saat ini tengah menggandeng mesra lengan Tristan tanpa malu-malu: Vivian Gordavid. Sesuai dengan memori Violet, Vivian bagai bidadari dari kayangan. Cantik, tinggi semampai, memiliki lekuk tubuh sempurna, berkulit bersih, dan berambut pirang emas. Di lihat dari sisi mana pun pastilah Vivian tipikal wanita yang diharapkan semua pria ada di ranjang. Aku bisa sedikit memahami kecintaan Tristan terhadap Vivian.

Iiiih padahal tinggal cerai doang,’ gerutuku dalam hati, ‘beres. Nggak ada drama.’

Tristan dan Vivian masuk ke dalam butik. Pelayan langsung menyambut dan sepertinya siap melayani apa pun yang Vivian inginkan. Di saat seperti itu aku bisa saja masuk dan mulai melakukan aksi reog. Minimal mengamuk. Lalu, aku akan menuduh Tristan tidak setia di hadapan khlayak agar mendapatkan tambahan saksi mata di pengadilan nanti. Namun, itu tidak bisa kulakukan karena ada Damian. Bertengkar di hadapan anak-anak tidak baik bagi perkembangan mental.

“Ma,” Damian memanggil, mengayunkan tanganku, “jangan temui Papa.”

Sungguh aneh. Aku sempat mengira Damian akan bertanya mengenai sosok yang tengah bersama Tristan. Sekali lagi perkiraanku salah.

“Damian, kamu nggak penasaran dengan tante yang sedang bersama Papa?”

“Ma, ayo pulang,” Damian membujuk. “Mama, kan, nggak pernah nyaman kalau sedang bersama Papa. Aku nggak ingin lihat Mama sedih. Pulang, ya?”

Sebenarnya siapa yang bocah cilik di sini? Aku?

Tentu saja aku tidak peduli dengan kehidupan cinta Tristan. Dia boleh bercumbu dan memadu kasih dengan Vivian, bebas. Namun, lain cerita bila aku masih saja terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Bisa-bisa jodoh sejatiku diembat orang lain dong? Aih amit-amit.

Lekas kuraih ponsel, membuka menu kamera, dan memprogram zoom agar bisa merekam sekaligus mengambil beberapa potret. Dulu Violet tidak mau memanfaatkan celah hubungan antara Tristan dan Vivian sebagai bahan pengajuan perceraian. Nah sekarang aku akan dengan senang hati menyimpan semua bukti agar lekas bebas dari penjara Tristan.

“Ma!”

“Tunggu sebentar, Nak. Mama sedang mengumpulkan senjata.”

Begitu yakin telah berhasil memperoleh data dan bukti perselingkuhan, lekas kumasukkan ponsel ke tas. Sekarang aku bisa pulang dengan hati amat riang. Syalalala.

***

Aku terharu. Sungguh luar biasa. Hasil bidikanku menangkap semua momen romantis antara Tristan dan Vivian. Mulai dari senyum, tukar kecupan pipi, Vivian yang menempelkan dadanya ke lengan Tristan, bahkan sampai tangan Tristan yang melingkar di pinggang Vivian.

Astaga. Aku hebat. Dengan begini tinggal mencari dukungan dari Liam. Kemarin aku sempat meminta tolong, tapi belum sempat menyebutkan permintaanku. Sekarang aku hanya perlu meminta janji temu di suatu tempat dan memaksa Liam mendukung keputusanku. Bisa saja aku langsung lari kepada Zack. Sayangnya itu sulit. Zack merupakan ayah kandung Vivian, sudah jelas insting seorang ayah akan berusaha menyelamatkan dan melindungi putrinya sekalipun tindakan anaknya amat tidak manusiawi. Satu-satunya tempat teraman hanyalah dalam naungan Liam.

“Hahahaha rasakan!” seruku sembari mematikan laptop. Beberapa data telah kupindah ke ponsel dan falshdisk, adapula yang kuamankan dalam keping CD. Pokoknya semua jenis pengamanan telah kulakukan demi menyukseskan rencana memerdekakan diri.

Damian sudah jatuh terlelap dalam dunia mimpi. Dia memeluk guling dan terlihat sangat manis. Tanpa sadar senyum pun terbit di wajahku. Makin cerah pula suasana hatiku ketika membayangkan bahwa aku dan Damian bisa merdeka dari cengkeraman ibu kandung Tristan yang gemar mengolok Damian karena terlahir dari rahim seorang perempuan yang hanya lulus SMA.

Perlahan aku bangkit, berjongkok di dekat Damian, dan membelainya.

“Lain kali akan Mama jadikan pecel siapa pun yang berani menyakitimu, Nak.”

Suara ketukan membuyarkan lanjutan sumpah serapah yang hendak aku utarakan terkait mertuaku.

Dengan enggan aku mendekat, membuka pintu, dan berkata, “Tristan, aku tidak tertarik tidur bersamamu sampai kapan pun!”

Kerutan di kening Tristan makin dalam. “Aku hanya ingin mengecek keadaanmu.”

“Terima kasih. Aku sehat dan tidak butuh diperhatikan. Bagaimana kalau kamu kembali ke kebiasaan lama? Tahu dong? Seperti tidak memedulikanku. Nah, lebih baik hubungan kita kembali ke mode awal saja.”

Kedua tanganku masih mencengkeram gagang pintu, jaga-jaga andai Tristan kehilangan kewarasan dan hendak menyeretku.

“Aku tidak suka idemu.”

“Tristan, aku nggak peduli!”

Kali ini tanpa ragu kututup pintu, rapat, dan menguncinya.

Siapa pula yang ingin mendengar omongan lelaki yang ketahuan bermesraan dengan cinta lamanya?

HOWEK.

Selesai ditulis pada 5 Desember 2022.

Maaf ya baru sempat lanjut. Demam bulan ini yang terburuk dan terberat. Panasnya sampai tulang kerasa sakit. Dua hari pertama berat banget. Tiga harian nggak nafsu makan. Makan nasi aja susah nelannya. Wkwkwkw sampai harus dibuat bubur baru bisa ketelan. Sekarang sudah mendingan. :”) Tapi, Fantastic Love dan Only for Villainess saya cicil pelan-pelan ya?

I love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Violet is BLUE (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang