24. Ampun!

10.3K 1.5K 18
                                    

Usai menjemput Damian dari TK, kami pun langsung menuju ke salah satu restoran keluarga. Bukan sembarang restoran, melainkan restoran yang memberikan pelayanan ekstra berupa pojok khusus bagi anak-anak. Istilahnya ketika si orangtua hendak melakukan percakapan ataupun pertemuan penting dengan anggota geng, maka anak-anak yang tidak bisa dititipkan kepada siapa pun (barangkali karena alasan terlalu mudah berburuk sangka) akan merasa lega menyaksikan anak-anak berkumpul dengan sesamanya dan saling bermain.

Aku sih tidak memiliki alasan khusus selain ingin berbicara empat mata dengan Liam. Apalagi kalau bukan perkara perceraian? Iya dong. Harus. Sekali menghendaki sesuatu baiknya segera direalisasikan agar tidak jamuran.

Begitulah. Ketika Damian sibuk bermain dengan anak-anak lain, aku pun memanfaatkan momen tersebut.

“Liam, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”

“Apa ini ada sangkut pautnya dengan suamimu?” tebaknya, jitu!

Luar biasa. Aku bahkan belum sempat menjelaskan mengenai kata pengantar perceraian dengan lelaki sosiopat, tetapi Liam sudah mampu menyimpulkan dengan tepat.

Cih,’ gerutuku dalam hati, ‘andai kamu yang jadi suamiku, maka pasti akan kubangunkan seribu candi lengkap dengan bonus patung-patung mungil.’

Kami, aku dan Liam, duduk sembari saling menatap. Ya tentu saja dong saling tatap! Mustahil kami main ular tangga sambil menghitung sepuluh dosa besar milik Tristan, ‘kan?

Aku meraih amplop yang berisi semua bukti perselingkuhan Tristan dari dalam tas. Kusodorkan benda tersebut kepada Liam yang kini mengerutkan kening. Herannya kalau Liam yang tengah menampilkan ekspresi semacam itu, berkerut kening, tetap kelihatan ganteng. Barangkali cintaku kepada Liam sampai pada level gila. TERGILA-GILA! Pokoknya apa pun pasti oke ... selama itu Liam.

“Di sini tersimpan semua bukti mengenai hubungan Tristan dan Vivian,” aku menjelaskan tanpa menunggu Liam mempersilakan. “Tolong bantu aku. Pernikahan kami terasa seperti di neraka saja. Mertua membenciku, Vivian menyalahkanku, dan sisanya kamu tahu sendiri.”

Liam tak kunjung menyentuh amplop yang kini tergeletak di meja.

“Apa kamu yakin?” tanyanya kepadaku. “Perceraian?”

Aku mengangguk. “Sebaiknya lekas berpisah saja daripada makan hati. Dia tidak bisa melepaskan masa lalu, sementara aku menghendaki kehidupan baru. Sebenarnya, Liam. Ada hal lain yang ingin kusampaikan kepadamu. Tolong carikan hunian bagi kami, aku dan Damian. Ada bagusnya aku lekas pergi dari sana.”

“Oke,” Liam menyanggupi, “aku akan membantumu mencari hunian baru. Namun, apa benar kamu menghendaki ini? Apa yang kamu inginkan dariku?”

“Aku ingin kamu membantuku bercerai,” jawabku, tegas. “Hanya kamu yang bisa menolongku. Liam, aku ini nggak paham dan nggak mengenal satu pun pengacara profesional. Kamu bisa membantuku menyusun rencana agar aku bisa memenangkan hak asuh. Aku tidak peduli perkara harta. Satu-satunya yang kuinginkan hanya Damian.”

“Violet, aku bersedia menyanggupi permintaanmu. Namun, ada satu syarat.”

Astaga! Jangan bilang Liam akan memberiku petuah panjang lebar ala jin dalam poci?

“Aku boleh menceritakan permasalahanmu kepada Papa,” katanya sembari menampilkan senyum. “Kamu butuh dukungan Papa dan mamamu. Perceraian atau hak asuh? Tenang saja, aku bisa mengurus semuanya. Kamu ingin keluar dari kediaman Tristan? Tidak masalah. Kamu bisa bernapas dengan lega karena aku akan memastikan Tristan nggak bisa menyakitimu. Kamu boleh pegang omonganku.”

Zack Gordavid?

Ayah tiri Violet sekaligus orangtua asuh Liam?

Wow! Ide itu bahkan tidak melintas satu kali pun dalam benak. Aku tidak yakin Zack, yang notabene merupakan ayah kandung Vivian, akan senang mendengar berita mengenai skandal putrinya. Andai perceraian berhasil diseret ke meja hijau, maka berita ini—perselingkuhan—akan mengudara dan menarik perhatian wartawan dari berbagai media massa.

Masa bodoh dengan nasib Tristan. Aku tidak peduli. Namun, lain cerita dengan Zack!

“Liam, aku nggak yakin berterus terang kepada Papa merupakan pilihan bijak.”

“Justru itu!” Liam menyerukkan idenya. “Kamu akan mendapat perlindungan tambahan. Violet, Papa nggak seburuk itu. Sekalipun Vivian merupakan anak kandungnya, satu-satunya, tapi Papa bukan orang yang picik. Papa bisa membedakan baik dan buruk. Kamu nggak harus merasa sungkan.”

Kali ini aku menggeleng. “Entahlah, Liam. Aku nggak yakin.”

“Oke, kamu boleh memikirkannya. Sekarang aku akan berusaha mencarikan tempat tinggal bagimu dan Damian.”

“Terima kasih.”

Aku tidak berani mengunkit omongan  Vivian mengenai perasaan Liam terhadap Violet. Lagi pula, pasti ada alasan khusus bagi Liam memilih menyembunyikan perasaan sekaligus merelakan cintanya menikah dengan pria lain.

Kupikir cinta pasti selalu berhubungan dengan kebahagiaan. Oh diriku yang hijau dan naif. Ternyata cinta pun menyeret perasaan tidak menyenangkan seperti iri dan kecemburuan. Sungguh hebat Liam sanggup bersabar. Tidak seperti Vivian yang menuduh Violet main kotor.

Ah biarlah.

Sekarang aku hanya ingin fokus kepada kebahagiaanku dan Damian.

Andai saja ketika pulang kami tidak disambut dengan tatapan sinis.

***

Pulang dari pertemuan dengan Liam, aku dan Damian dikejutkan oleh kehadiran sesosok wanita.

Tenang, bukan Vivian.

Oh tapi juga bukan orang menyenangkan.

“Kamu benar-benar mengecewakan.”

Yup siapa lagi kalau bukan mertua Violet?

Monica Albertus.

Bagai ratu kerajaan kegelapan, Monica duduk di kursi dan mulai memandang kami dengan tatapan sengit. Damian langsung ciut dan bersembunyi di belakang kakiku. Padahal bocah yang satu itu tadinya ceria dan riang seperti matahari penguasa tanah Teletubis. Namun, begitu melihat Nyonya Besar, Nyonya Monica, Damian pun mengerut dan memilih mengundurkan diri sebagai anak pemberani.

“Sedari dulu aku tidak setuju Tristan menikahimu,” katanya, tajam dan menusuk. Ouch! Andai kata-kata bisa berubah menjadi anak panah, maka sekarang pastilah aku tergeletak dengan ribuan anak panah menembus tubuh. “Kamu memalukan, tidak terpelajar, dan paling buruk: Hanya tahu cara menghabiskan uang.”

Satu lagi alasan cerai: Melindungi diri dari amukan Tante Monica yang sepertinya lebih berbahaya dari raungan macan gunung.

“Apa Tristan nggak pernah mengajarimu sopan santun?” serangnya, bengis.

Oh mengapa si Tante Monica yang dari luar terlihat seperti ibu-ibu penyayang ternyata mengandung bawang dan cabai plus garam?

Oh apa ini alasan jangan menilai sesuatu dari tampilan luar?

Oh huwoooo apakah aku harus mulai menyanyikan lagu semacam ini ibu tiri hanya cinta kepada....

“Jawab!”

Damian pun memeluk erat kakiku seakan teriakan Monica bisa mencabut roh dari persemayamannya.

“Maaf, Ma.”

Susah payah kutampilkan senyum profesional ala resepsionis.

“Maaf?” Monica mencibir. “Kamu hanya tahu cara mempermalukan keluarga suamimu. Seharusnya dulu kamu sadar diri. Pasti bocah itu bukan anak putraku! Kamu perempuan licik dan culas.”

Oh Baginda Ratu, hamba tak mengerti perihal cara menjebak Tristan. Kalaupun ada yang ingin saya jebak itu adalah jin dan tuyul. Berhubung saya tidak suka bekerja dan inginnya jadi kaya raya serta makmur, Baginda Ratu.

Belum lepas rasa lelah eeeeeh hei aku justru bertemu Mama Mertua.

Ahahahahahaha.

Halo, rumah sakit.

Selesai ditulis pada 18 Desember 2022.

Halo, teman-teman.

:”) Maaf saya jadi jarang update. Ehehehehe. Sakit bulan ini menyisakan remah-remah pusing dan kadang nyeri. Ini mungkin karena beban pikiran. Hmmm. Semoga kalian dijauhkan dari penyakit, orang jahat, orang nyinyir, teman mau untungnya saja, orang sok tahu, orang egois, dan segala bentuk kejahatan di muka bumi ini. I love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Violet is BLUE (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang