Prasangka Vivian terhadapku benar-benar tidak masuk di akal. Terlepas dari keputusan Tristan yang memilih enggan ataupun tidak menyegerakan melegalkan hubungan antara dirinya dengan Vivian, aku berani sumpah tidak ikut campur apa pun dalam kasus mereka.
Ingat moto hidup hidupku, ‘kan? Kumpulkan uang, uang, uang! Bagaimana bisa ada waktu merecoki asmara mereka? Tristan sih kaya, tapi sekadar kaya saja tidak cukup menyejahterakan mental Damian. Andai Tristan bisa lebih tegas terhadap Monica maupun Vivian, maka aku akan mempertimbangkan pernikahan kami. Namun, dia sama sekali tidak bisa mengerem moncong Monica yang selalu meletuskan kalimat jahat. Itu belum termasuk hubungan “gelap” dengan Vivian.
Sungguh berantakan.
Aku bisa menoleransi sikap dingin Tristan asal dia serius mengutamakan Damian. Sayang itu tidak terjadi.
“Apa tidak boleh aku hidup nyaman tanpa masalah?” tanyaku kepada diri sendiri, diri sendiri yang tidak bisa memberi jawaban apalagi saran membangun. Sia-sia.
Beberapa kali aku mencoba menghela dan menarik napas, sekadar menenangkan lonjakan emosi yang sempat tersulut karena panggilan dari Vivian. Untung saat menerima telepon diriku sedang duduk di depan laptop. Sedikit banyak cukup menolong mengurangi kadar keinginan menghantam sesuatu di hari yang cerah.
Sekali lagi kuabaikan Vivian yang mulai merangsek masuk ke dalam benak, menuntut ruang agar aku merasa bersalah karena Tristan mengabaikan dirinya.
“Konyol,” ucapku, ketus.
Lekas kumatikan laptop dan bergegas bersiap mencari ide untuk video lukisan selanjutnya. Tidak ada waktu marah-marah sekalipun ingin mengamuk dan menginjak seseorang hingga gepeng. Terbayang adegan King Kong menginvasi kota.
“He he,” aku terkekeh begitu menerima ide bagus, “akan kugambar monster monyet tengah mengamuk dan menginjak biawak.”
Kadang ide bagus datang dari hal-hal tidak terduga.
Contohnya, Biawak Vivian.
🌷🌷🌷
“Maaaa, biawak.”Damian langsung menunjuk lukisan yang berhasil kuselesaikan. Kedua mata Damian, anehnya, terlihat berbinar seolah baru saja menemukan sepiring cokelat.
“Iya, Sayang. Itu monster biawak yang hendak menyerang umat manusia,” jelasku seraya merapikan perlengkapan lukis. Video sudah direkam, tinggal edit, kemudian tayang. “Monster biawak ini gemar mengganggu manusia. Jadi, perlu diinjak agar tidak membuat kerusakan dan polusi lingkungan.”
“Siapa namanya?”
Setelah meletakkan seluruh kuas dalam ember, aku pun mendekati Damian. “Apa perlu Mama kasih nama?”
Damian mengangguk. “Siapa?”
Setelah berpikir dan mempertimbangkan pilihan, aku pun berkata, “Monster monyet namanya, Monster Purple. Nah biawaknya Mama namai Ratu Biawak Ve.”
Ve → Vivian.
Iya, tahu. Jauh sekali relasi keduanya. Inginnya aku namai Biawak V, tapi berhubung aku pun memiliki inisial V maka rencana itu harus ditenggelamkan ke dasar samudra. Enggak dulu.
“Bagus, ‘kan, Damian?”
“...”
Putraku sepertinya memiliki pendapat lain mengenai nama yang kupilih.
♫♫♫
Tepat pukul satu siang aku mengundang Liam agar makan siang bersamaku. Damian menyambut ide makan siang bersama Liam sebagai inovasi menyegarkan. Bahkan dia bersedia membantuku di dapur sembari berceloteh mengenai teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romance"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...