Bab 23: Antara Iba Melawan Cinta

379 12 3
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Aku sempat membuat argumen kalau seks tidak bisa menyelesaikan masalah. Ternyata itu sebuah kekeliluran besar. Dengan seks selain kita terbuka secara fisik, mental kita pun ikut terbuka dan saling jujur seterbuka tubuh yang sedang bergumul. Selain memperkuat hubungan, seks bisa menyembuhkan stres yang seharian bercokol di pikiran. Aku merasa lebih fresh dan ringan setelah berkali-kali pelepasan yang mengesankan.

Soal ancaman ayah, aku membeberkan semuanya pada Gibran tentang alasanku yang tidak bisa semudah itu berhenti serta kemungkinan bahaya yang mengintai jika aku tetap bersikukuh bersama Gibran. Pria itu sangat dewasa dan menenangkan. Aku terpesona pada sisi yang dimilikinya itu. Gibran tak henti meyakinkan aku kalau dia akan baik-baik saja. Ia cukup tangguh untuk melindungi diri sendiri. Lagi-lagi aku jatuh cinta padanya tanpa perlawanan.

Mendebat pun tak ada gunanya, meski aku tahu betapa mengerikannya orang-orang suruhan ayah. Tapi tetap saja ketika Gibran berkata akan baik-baik saja, aku tak punya daya untuk mendebat. Rasa aman itu mengalir dari mulutnya langsung ke pikiranku. Niat awal mencoba melindunginya, malah kebalikannya --akulah yang tetap berlindung di bawah ketiaknya.

"Semua ketakutanmu itu tidak perlu." simpul Gibran saat kami selesai dengan peraduan yang entah keberapa kali. Kami mengatur nafas berlomba-lomba meraup udara.

Aku yang berlenjeh-lenjeh manja di dada bidangnya menjawab, "Sesayang itu Lesa sama Gibran jadi Lesa takut terjadi apa-apa sama Gibran."

Tawa ringannya berdenting --salah satu suara favoritku di dunia, selain suara uang keluar dari mesin ATM. Aku menengadah menatap wajahnya yang segar meski waktu menunjukan pukul satu dini hari.

"Jadi, siapa yang tadi bilang seks gak bisa nyelesaiin masalah?" Ia mengolok-olok dengan wajah meledek --namun tampak menggemaskan.

Aku memukul pelan dadanya, dan saking gemasnya sampai menggigit puting mungil yang menyembul di dadanya.

"Ouch, Lesa. Enak."

Mataku tak sengaja menangkap penisnya yang bangkit lagi setelah beberapa waktu memuntahkan banyak isinya ke rahimku, --beruntung ini hari amanku.

Dengan sengaja gantian aku menggigit puting yang satunya. Kali ini menyertakan lumatan serta jilatan sensual yang menghasilkan rintihan pelan dari Gibran. Aku lanjut menduduki tubuhnya dan terus menjilati puting Gibran. Sundulan penis itu menyenggol vagina-ku. Gibran membenahi posisi dan dengan kedua tangan ia menumpu kepalanya.

"Jadi, seks adalah solusi semua masalah."

Kami tertawa saling bersahutan mengingat tidak pernah sekalipun kebersamaan kami berakhir tanpa seks. Entah itu seks cepat di dalam mobil menuju jam pertama mata kuliah, atau seks panjang di hari minggu dimana baju tak dibutuhkan selama seharian. Aku menyukai seks, apalagi dengan Gibran. Rasanya tak cukup sekali, rasanya ingin punya kekuatan stamina prima yang tak pernah letih hanya dengan beberapa permainan.

Semua peraduan dan tumpahan cairan cinta yang tertampung ini makin membuatku sulit untuk melepaskan diri dari Gibran. Kami memiliki kebutuhan yang hanya bisa dipuaskan dengan sebuah hubungan intim yang intimate. Rasa cemas, lelah dan ketakutan seketika melebur diantara keringat saat kami hanya fokus saling membagi cinta dalam seks yang panjang.

"Gibran." bisikku menyapa penisnya yang sudah tegang.

"Mm..hmm?" Gibran bergumam nikmat.

"Lesa janji bakal kurangi kerjaan, karena Lesa belum bisa jika harus berhenti mendadak."

Desisan nikmat Gibran yang menyahut, aku lanjut mengulum benda kebanggaan pria itu dan memberikan kocokan berirama. Tak lupa aku mengendus dan menjilat dua bijinya yang menggemaskan. Dalam permainanku, aku berhati-hari menjaga gigiku ketikw menyedot kuat penis tegang dan kokohnya itu. Gibran menyukainya.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang