Bab 24: Gugurnya Ibu Peri Penolong

311 12 1
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Mas Pram membawaku ke sebuah hotel yang sudah tidak lagi asing bagiku --salah satu hotel terbaik pilihan para kelas atas untuk menghabiskan malam dengan wanita panggilan. Mas Pram tak banyak bicara selama menggandeng tanganku dalam perjalanan menuju kamar yang sudah ia pesan. Aku pun sendiri bingung bagaimana harus bersikap, aku tidak pandai mengusir kesedihan seseorang.

Di kamar suite, pikiranku bercabang antara menunggu aksi mas Pram atau aku berinisatif mengambil alih suasana dan mengusir sendu di wajah rupawan mas Pram dengan desisan tajam saat tubuhnya aku manjakan.

"Lisa lapar?" tanya mas Pram, duduk di sofa dekat kaca yang memamerkan titik-titik cahaya dari gedung yang mengitari.

Aku ikut duduk di sampingnya, "Lisa gak lapar mas."

"Minum?"

Aku mengangguk setuju. "Boleh."

Suasana selama menunggu pesanan terasa canggung. Mas Pram yang murung dan tak bergairah membuat nyaliku ciut. Ingin aku merobek kemejanya yang kusut, namun aku takut malah menyakiti mas Pram karena bagaimana pun juga aku terlibat atas kemuraman yang melanda mas Pram.

Wine yang ditunggu datang. Mas Pram masih tetap membisu selagi ia menuang segelas wine untuk aku cicipi.

"Temenin mas ya Lisa."

"Iya, Lisa disini mas." Aku menenangkannya sambil mengusap pahanya. Benar-benar mencoba menenangkan ya, bukan bertujuan menggoda.

Kami minum seteguk demi seteguk wine dengan pikiran berkelana. Aku belum pernah menghadapi mas Pram yang pendiam. Aku merindukan kata-kata joroknya saat menggauliku di ranjang. Aku ingin tangan besar itu meremas payudaraku dan bukannya meremas kasar rambutnya sendiri. Keheningan yang mendera serta wine yang memabukan membuat kepala berat.

Mas Pram melempar pandangan ke luar jendela besar, menatap jauh pada kegelapan seperti tengah mencari sesuatu. Sesekali ia teguk wine-nya perlahan. Helaan nafasnya tak terhitung seolah-olah ia mencoba mengeluarkan segala beban yang mengendap. Dalam keadaan ini, aku tidak tahan untuk tidak mengusap tangan kokoh mas Pram untuk menyalurkan kekuatan.

"Lisa menyesal mas."

Mas Pram melirik ke arahku lalu menggeleng tak setuju, ia letakan gelas wine yang tandas lalu mengambil tanganku dan menyimpan di pangkuan. "Ini jelas salah mas. Jangan merasa begitu."

"Lisa gak suka melihat mas bersedih kayak gini." tuturku lembut mencoba menarik kesadaran.

"Mas baik-baik saja selama ada kamu."

"Kalau bisa Lisa mau mengusir rasa sedih itu dari mas, apapun itu." Pernyataanku mulai menjuru pada sesuatu yang lebih panas daripada jejak yang ditinggalkan wine di kerongkongan.

Mas Pram sepertinya menangkap sinyal yang aku lontarkan. Tangan besarnya mulai merayap menyapu halus pipiku yang dingin. Sengatan listrik itu membuat aku bergidik pelan --dan antusias menunggu kelanjutannya. Rasa berat di kepala mendadak surut.

"Mas jadi ingat pertemuan pertama kita."

Aku tertarik dengan topik baru ini. Syukurlah mas Pram mau bicara lagi. Maka aku memancingnya untuk tetap berbicara. "Ada apa dengan pertemuan pertama kita?"

Tangan mas Pram menjauh --dan aku merasakan kecewaan yang nyata. Namun sebagai gantinya, mas Pram merangkul bahu-ku dan aku berkesempatan bersandar nyaman di dada bidangnya. Mencuri kesempatan menutup mata lebih lama dari sekedar kedipan.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang