Bab 29: Melarikan Diri

172 6 1
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

"Lo percaya sama gue?"

"Gak ada orang waras yang mempercayai pelaku kriminal." Aku menghardik, harusnya kak Ronal tidak usah melarikan diri. Ini hanya menambah masa tahanan.

Aku menepis tangan kak Ronal, mencoba kembali ke jalanan terang yang menjanjikan keamanan. Namun Ronal mencekalku lagi, kali ini bahkan lebih kuat. "Gue yakin lo butuh bantuan gue."

"Gimana bisa kakak bantuin aku? Pikirankan cara kak Ronal bantu diri kakak sendiri." Tolong, ijinkan aku keluar menuju kubangan cahaya beberapa meter di depanku itu.

"Gue bisa nolong lo."

Kali ini aku beranikan diri memelototi kak Ronal. Dalam jarak dekat aku bisa melihat bahwa penjara telah menyedot seluruh gairah hidupnya. Meski kondisi temaram pun aku bisa melihat kejamnya hidup dalam jeruji besi lewat sorot mata hitamnya. Matanya cekung, pipinya tirus dengan tulang yang terlalu menonjol.

"Hentikan omong kosong kakak sebelum aku telepon kantor polisi."

Sepertinya kak Ronal menangkap sinyal kegelisahanku. Atau ia takut aku benar-benar melakukannya. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu di jaket jeans belel-nya dan menyusupkannya di saku blouse-ku. "Gue tunggu keputusan lo."

Lalu kak Ronal pergi dengan lincah melompati dinding di ujung gang dan menghilang begitu saja di balik asap.

Aku yang masih bingung dan kaget mencoba merogoh sesuatu yang dia masukan ke saku baju. Sebuah kertas yang ketika aku membawanya ke bagian jalan yang ramai dan lebih terang ialah sebuah alamat menuju pinggir pelabuhan, aku tahu tempatnya namun hanya sesekali pernah datang ke daerah tersebut.

Jadi selama ini kak Ronal bersembunyi disana. Mungkin persiapan untuk pelarian diri jika polisi melakukan pencarian. Ronal pasti akan memilih jalur laut untuk berpindah tempat sebagai imigran gelap. Aku menyobek kertas lecek itu dan membuangnya begitu saja tak mempedulikannya. Aku tidak mau berurusan dengan buronan. Tidak perlu memperkeruh keadaan dengan menambah masalah.

Aku pulang ke rumah dengan pikiran penuh. Kesehatan bayi yang makin aktif serta pertemuan dengan kak Ronal menyedot seluruh atensiku sampai aku tidak sadar di depanku ada mobil polisi. Pintu rumah terbuka dan amukan ayah menggelegar terdengar sampai dua rumah jauhnya. Pantas para tetangga mencuri dengar di depan pintu masing-masing. Aku menghampiri kiranya ada apa.

"Selamat malam mbak." sapa pak polisi yang berdiri di luar pintu rumah.

Dengan wajah masam aku menjawab, "Malam pak, cari Ronal lagi?"

"Iya mbak. Kami mendapat laporan dari warga sekitar yang melihat tahanan berkeliaran di sekitar sini."

Aku menengok keadaan di dalam. Tampak polisi yang sudah agak tua bersama pak RT dan RW dan beberapa tetangga yang sedang beradu mulut dengan ayah yang mencak-mencak. Ayah jelas murka karena terus didatangi polisi yang mencari keberadaan kak Ronal, mungkin tak cukup dengan mendatangi bisa saja para polisi memantau dan mengawasi rumah kami.

"Mohon kerja samanya mbak." ucap pak polisi yang di depanku.

Apa aku harus memberitahu keberadaan Ronal agar kehebohan ini bisa berhenti? Ayah juga pasti tidak mau menumbalkan bisnis haramnya jika terus-terusan di datangi polisi begini, ia pasti takut bisnisnya terendus para intel negara elit ini.

"Tentu." Aku membalasanya singkat, masih menduga apa mungkin tadi kak Ronal sempat datang ke rumah untuk menemuiku. Entahlah, aku terlalu pusing untuk memikirkannya.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang