Bab 26: Patah Hati Terbesar

332 12 1
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Setelah kejadian di hotel, nuraniku dengan jelas mendesakku untuk tidak berdiam diri saja dan mengabaikan Gibran. Meski pria itu menghindar dan absen dari kampus, aku tidak bisa hanya berpangku tangan berserah diri dan memilih untuk bergegas pergi ke apartemen miliknya.

Iya, selama ini Gibran tinggal di apartemen jauh dari rumah keluarganya di kawasan Pondok Indah. Alasannya? Aku tidak pernah tahu selain dugaan ia terlalu banyak uang untuk dihambur-hamburkan.  Dengan sia-sia aku menggedor pintu --karena kode akses yang aku tahu sekarang sudah berubah. Tidak ada suara sepelan apapun dari dalam meski aku menempelkan telinga rapat-rapat ke daun pintu. Gibran benar-benar menghindariku.

Di depan pintu yang tertutup itu, aku mondar-mandir bagai anak ayam kehilangan induknya --sama sekali tak punya petunjuk keberadaan Gibran. Aku bingung dan hampir putus asa kemana lagi harus mencari sosok yang membuat tidurku tak nyenyak. Tidak ada seorang pun yang bisa aku tanyai.

Namun di tengah keputusasaan itu, satu-satunya orang yang paling aku hindari malah muncul dengan sendirinya dari sekian banyak manusia di bumi ini.

Budi.

Si mesum yang kerap kali melemparkan kata-kata jorok kepadaku, teman geng Gibran --dan hampir melecehkan aku juga. Meski akhir-akhir ini mereka jarang berkumpul sejak kejadian Aron --dan aku tentunya, Gibran lebih memilih menghabiskan waktunya denganku daripada berkumpul dengan Budi atau geng lainnya.

Pria itu berjalan santai menyusuri lorong menuju unit milik Gibran dengan ponsel di telinga sembari berceloteh. Dan ketika ia menemukan keberadaanku yang berdiri di pintu dengan harap-harap tinggi, ia hentikan langkah untuk memastikan. Mengusir rasa malu, aku hampiri dia.

"Gibran kemana?" serobotku tanpa tedeng aling-aling.

Budi mengambil satu langkah ke belakang. Alisku terangkat melihat reaksinya. Ada pancaran jijik yang nyata di wajahnya. "See ya babe." ia berkata pada sesorang di telepon sebelum memutus sambungan telepon tersebut. "Ngapain lo disini?"

"Kasih tahu gue Gibran kemana." Aku mulai tak sabaran, mengulang pertanyaan yang sama. Kalau tidak menahan diri, mungkin aku sudah merengek di lantai seperti anak kecil yang dilarang membeli mainan oleh orang tuanya.

Budi berkacak pinggang dengan muka angkuh. "Terus lo mau apa? Lo mau nyakitin dia lagi?"

Aku merasa jengah karena Budi yang berbelit-belit. Aku butuh tahu dimana keberadaan Gibran saat ini. "Itu urusan gue dan Gibran."

Budi mencebik. Wajahnya sarat akan kebencian yang nyata. "Urusan? Jelas-jelas lo udah gak ada urusan lagi sama dia setelah apa yang lo perbuat sama Gibran."

Apa yang aku perbuat padanya? Satu-satunya hal yang aku perbuat pada Gibran hanya mencintainya dengan sepenuh hati. Pun Gibran, bagai gayung bersambut. Melihat aku yang membisu terlalu lama, Budi langsung angkat suara.

"Persetan! Lo masih pura-pura gak ngerti dasar jalang penyakitan!" hardik Budi dengan tangan mengepal.

Bagai dihantam palu godam di belakang kepala, semua teka-teki ini akhirnya menyatu. Seketika ketakutan mencengkramku hingga rasanya aku sesak dalam kengerian yang nyata. Jantungku mencelos dan aku kehilangan kemampuan berbicara.

"Bisa-bisanya dulu gue pengen tidur sama lo. Syukurlah tahu gini gue selamat dari penyakit menular yang lo bawa." cerca Budi sambil meludah ke arah kakiku dengan wajah berkerut menahan jijik.

"Apes Gibran, karena semua petaka yang lo bawa. Lo datang gak cuma bawa masalah, tapi nyebarin HIV."

Aku terpaku mendengarkan semua hinaan Budi yang bagai masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Otak-ku menjelma menjadi kertas putih, tidak bisa memikirkan apapun --hanya ada kekosongan yang nyata. Daun telinga yang panas dan degup jantung yang berdetak kencang yang bisa aku rasa yang saat ini bisa aku rasakan.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang