Bab 31: Diambang Kematian

149 6 4
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Tak berselang lama, aku bisa menggerakan tanganku. Rasanya terasa ringan dan bebas saat aku bisa kembali menguasai gerak kontrol tanganku sendiri. Tubuhku ringan sehalus bulu padahal ingatan terakhir jelas mengingatkan dimana tubuhku berada dan hancur berkat perbuatan orang yang dendam padaku.

Aku berada di rumah, dalam keadaan bersih dan bernuansa hangat dengan sinar jingga menyusup di jendela yang tirai-tirainya putih jatuh menjuntai ke lantai. Belum pernah aku melihat rumah dalam keadaan normal begini, kalaupun aku bersihkan tidak mungkin suasananya pun ikut berubah drastis. Seperti bukan rumah sendiri, tapi aku merasakan kenyamanan dari sana.

Sofanya baru --ah tidak, sofanya tetap sama. Hanya wujudnya yang kembali seperti awal dibeli. Televisinya menyala menayangkan kartun animasi --senyumku tersungging melihat tingkah kucing dan tikus yang saling kejar yang selalu menemani sore-sore di masa kanak-kanakku. Diantara kesibukanku menjelajah, sebuah suara lembut berdenting di belakang mengalihkan atensi. Suara itu datangnya dari dapur. Dan ketika aku berbalik, aku melihat mbak Yun dan kak Ronal tengah duduk di atas meja makan dengan senyum lebar yang terpatri di wajah keduanya. Mendapati berdiri mematung, mereka melambaikan tangan memintaku untuk bergabung.

Aku mengangkat tangan membalas lambaian mereka dan hendak menghampiri keduanya dengan perasaan senang hingga aku merasa ada sebuah tangan kecil yang meraih tanganku yang satunya. Aku menunduk untuk melihat pelakunya, dan menemukan seorang anak kecil berlesung pipit dengan mata bundar berkilau yang tengah mengapit tanganku. Anak lelaki itu tak sungkan memamerkan deretan giginya yang putih berjejer kepadaku. Senyumku ikut mengembang sebabnya. Aku tidak mengenali anak ini, tapi aku merasakan kelegaan yang aneh dan kerinduan yang purba. Wajah tampan dan menggemaskan ini membutakan pandanganku, hingga hanya sosok itu yang menjadi pusat perhatianku.

Bahkan aku tak berdaya dalam genggaman kecilnya ketika ia menarikku untuk bergabung bersama mbak Yun dan kak Ronal yang setia menunggu dengan senyum lebar yang tak pernah luntur. Langkahku terasa ringan bagai berjalan diatas hamparan awan. Tidak peduli dengan keanehan dan rasa bingung ini, aku hanya ingin merasakan perasaan dilindungi ini lebih lama lagi.

.
.
.

Kepalaku pening, seperti habis dihantam berulang kali dengan palu godam. Kesadaran perlahan menghampiriku dengan disertai gerutuan pria dewasa. Aku membuka mata perlahan dan menemukan siluet Ronal yang tengah membungkuk membelakangiku yang tergolek lemas dengan badan linu disana-sini.

Ronal tampak sedang melumuri batako yang menewaskan Aldo dengan darah Aldo sendiri dengan tangannya langsung. Lama baru aku sadari mungkin ia sedang mencoba menghapus sidik jariku yang mungkin tertinggal disana. Benda itu adalah senjata pembunuhan.

Kemudian --meski terseok-seok dan kepayahan, kak Ronal membopong tubuh Aldo yang bonyok dan wajah membiru bekas kehabisan darah. Aku bergetar ngeri sebab dalam semalam berubah menjadi seorang pembunuh. Polisi akan memburuku sekarang. Pemikiran itu membuatku menangis meraung lagi. Bayangan meninggalkan mbak Yun, serta kondisiku yang hamil tua dan nasib bayi ini. Bahkan dalam pikiran tergelapku, jika suatu hari aku terkurung dalam jeruji besi mungkin karena kasus tindak asusila, bukannya aksi pembunuhan gila.

"Sst.. Lesa. Gue yang bunuh. Lo gak tahu apa-apa." Tiba-tiba kak Ronal meraupku dalam rangkulan yang sarat akan kecemasan.

Aku terus meracau sementara mendengarkan degupan jantung kak Ronal yang memukul-mukul rusuknya hingga bisa aku rasakan sentakannya di pipi.

Ia tak membiarkan aku berlama-lama mengutuk diri. Ia segera membimbingku keluar dari TKP dan memasukan aku ke sebuah mobil sedan butut --yang aku tebak pasti hasil curian. Aku tak peduli.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang