Bab 18: Keajaiban Tak Terduga

535 18 3
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Ini gak bener kan? Ini cuma mimpi aja kan?

Aku mencoba meyakinkan diri berkali-kali karena apa yang terlontar dari mulut Gibran sama sekali tidak masuk di akal. Seperti dongeng kebohongan yang terdengar mustahil di telingaku. Mana mungkin pria yang gemar merundungnya tiba-tiba mengaku sayang begini?

Namun jika aku tidak salah dengar, berarti ada yang salah dengan Gibran. Antara dia mabuk atau sedikit gila. Atau bisa jadi kombinasi keduanya. Yang jelas, kejadian ini diluar nalar. Tidak ada satupun manusia yang waras dapat menerima fakta ini.

Aku menggeleng masih tak mempercayai, "A-anggap gue gak denger."

Gibran mencegatku yang hendak beranjak. "Alesa."

"Gue harus cari Ratu." bisikku dengan tatapan kosong. Belum selesai urusan Ratu, sekarang Gibran tiba-tiba meledakkan bom atom hingga aku porak poranda.

Lagi-lagi Gibran menahan tanganku yang ingin meraih gagang pintu. Mukanya tidak senang karena pemberontakanku. "Dia aman."

Aku tak serta merta memercayainya. Toh perkataan sebelumnya pun sulit diurai dengan akal sehat. Jadinya aku meracau mengkhawatirkan Ratu sekaligus bingung situasi apa yang tengah terjadi ini.

Karena aku terus berontak dan tidak bisa tenang, Gibran pun menarikku dalam pelukannya. Aku berjengit kaget dan makin berontak dalam rengkuhannya. Sentuhan purba ini membuat saraf-sarafku tegang dengan hati lumer seperti mentega yang dipanaskan.

"Lepasin gue-- lepasin gue!" jeritku meronta-ronta, namun tak urung dewi batinku menyuruh untuk balas memeluk Gibran dengan erat dan bernafsu.

Gibran tak bergeming dan malah makin menyudutkan aku di diantara tembok dan tubuhnya yang panas. Aku merasa pasokan oksigen di kepala berkurang drastis hingga rasanya kepalaku berputar hebat.

Setelah aku kelelahan, dan dirasa aku tidak akan melakukan perlawanan lagi barulah Gibran melepaskan aku. Tubuhku jatuh merosot tak bertenaga seolah-olah tulang di tubuh raib.

Gibran ikut luruh di hadapanku. "Harusnya gue kecewa sama lo."

Aku diam mendengarkan, tak berani menatap langsung mata Gibran yang terasa seperti tengah melubangi ubun-ubun.

"Tapi anehnya, setelah tahu hidup lo begini gue ingin melindungi lo tanpa tahu sebab pastinya." tutur Gibran, kali ini lebih halus.

Dari bawah bulu mataku yang basah, aku melirik Gibran takut-takut. Mendengar kata selain umpatan dan hinaan dari mulut Gibran terasa disambar petir di siang bolong. Di matanya, tidak ada pancaran kedengkian seperti biasanya. Tatapannya, persis seperti dulu pernah bersama.

"Apa semua ini benar?"

Gibran nampak tersentak. Jakunnya naik turun dan matanya bergetar. "Gue-- juga gak sepenuhnya yakin, tapi disinilah gue sekarang."

"Gue gak sengaja dengar pas kalian di hotel. Lo mabuk berat saat itu."

Diingatkan begitu membuat Gibran termenung, ada semburat merah di pipi meski aku tidak yakin karena pencahayaan kurang baik. Tapi jelas aku ketahui ada gurat malu di wajah tampannya.

"Lo ngigau, manggil nama gue." Aku mencicit.

Diam membatu Gibran karena aku ingatkan. Gibran yang memanggil-manggil namaku adalah momen magis yang tak pernah aku sangka.

Gibran tertunduk dengan bahu lesu dihadapanku. "Rasa kecewa gue ternyata gak sebesar rasa sayang pada lo."

Tenggorokanku tercekat. Ingin rasanya aku menyentuh wajahnya dan berkata dari dasar hati kecil yang paling dalam bahwa aku juga mencintainya. "Gibran."

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang