Bab 28: Merengkuh Masalah

162 6 1
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

Syukuran 500 followers, semoga bisa jadi 500k. Amin🙏🫶

.

Takdir yang sudah buruk, alangkah baiknya tidak diperlu lagi diperparah. Mungkin aku juga akan menyesali keputusan ini suatu hari nanti. Namun aku tak peduli lagi. Toh hidupku memang akan terus penuh dengan ujian, jadi kenapa tidak ambil resiko besar saja sekalian.

Berkat kunjungan ke nek Asih, aku sadari ternyata seiring dengan tumbuhnya janin dalam perut berbarengan dengan mulai timbul benih-benih perasaan ingin melindungi. Aku tahu, tangan lemah dan tak berdayanya diriku tidak akan sanggup untuk melindungi bayi ini seutuhnya. Tapi aku bisa menjaminka kalau bayi ini tidak akan bernasib sama sepertiku meski terlahir dari rahimku.

Aku tidak mencintai bayi tak jelas asal-usulnya ini --belum. Tapi nek Asih banyak menyadarkan aku bahwa setiap nyawa di dunia ini berharga, entah itu kau menyukainya atau tidak. Tekad yang timbul untuk memutus kesialan turun-temurun ini begitu kuat sehingga aku berkeinginan menunjukannya pada dunia. Jika aku tidak diberi pilihan, maka bayi ini berhak mendapat pilihan.

Terlebih, aku membayangkan jika Gibran lah ayah biologis bayi ini. Setidaknya, jika aku tidak bisa memilikinya aku berhak atas sebagian dari dirinya yang ada dalam bayiku. Semoga.

Berbekal keyakinan tersebut, aku meninggalkan rumah nek Asih dengan sekantung pelajaran hidup yang berarti. Tekad besar dikalahkan dengan sentuhan ringan yang membuatnya luluh lantak dalam seketika.

Aku tak lantas kembali ke Jakarta, aku memutuskan untuk menginap dahulu di hotel pusat kota dikarena hari makin larut dan aku tidak mau menerima resiko mual-mual sepanjang jalan. Aku makan malam dengan lahap, selera makanku meningkat setelah melewatkan makan sepanjang hari dan muntah-muntah. Aku mulai bicara sendiri seperti orang gila dengan berkata dengan nada ejekan apa kau menikmati makanan mahal ini pada perutku. Di tengah acara makanku, mbak Yun menelepon --setelah sekian lamanya.

"Alesa! Apa yang kamu lakukan? Cepat pulang, mbak tahu semuanya!" pekik mbak Yun panik.

Pasti mbak Yun mendesak Sera untuk angkat suara. Aku menghela nafas. "Aku cuma berlibur mbak." Aku tidak bohong. Lihatlah hotel bintang lima dan kamar terbaik yang aku pilih.

"Bohong. Sera sudah kasih tahu mbak kalau kamu mau aborsi. Jangan lakukan hal bodoh dan pulang sekarang, kita bisa cari jalan keluar bersama." pinta mbak Yun dengan nada memelas.

"Aku gak bohong mbak. Biar nanti aku jelasin langsung. Sekarang aku mau sendiri dulu." pintaku.

"Kalau kamu gak mau pulang, biar mbak yang nyusul kesana." Mbak Yun mengultimatum.

Suara kegaduhan di seberang sana aku duga seperti mbak Yun yang memaksa Sera memberitahu lokasi tujuanku, Sera nampak cemas dengan suara samar dari ponsel.

"Kalisa?"

Hidungku mengerut dengan panggilan tersebut. Dan bagai sebuah kebetulan --yang sangat amat kebetulan, mas Pram ada di depanku.

"Halo Lesa? Kamu disana?"

Tanpa melepas tatapan pada mas Pram, aku berbisik pada mbak Yun, "Nanti aku telepon lagi." Dan mematikan ponsel untuk memblokir telepon masuk dari mbak Yun.

"Sedang apa kamu disini?"

"Oh-- mas, Lesa lagi main aja."

Mas Pram ambil kursi kosong di depanku. "Mas kira, kamu sedang ada janji ketemu disini."

Lebih spesifiknya apa aku sedang menunggu klien --kiranya begitu. Kali ini gantian aku yang bertanya. "Mas sendiri sedang apa disini?" Jauh-jauh dari ibu kota dan sialannya harus bertemu di sekian ratusan hotel di kota ini.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang