Bab 1: Adakah Engkau Disana?

4.9K 55 5
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Pagi itu --ah tidak tepatnya dini hari itu ayah pulang dengan keadaan mabuk-mabukan lagi. Kupikir suasana hatinya sedang baik karena ia tak memecahkan perabotan lagi, mungkin taruhannya kali ini mendapatkan hasil yang baik. Ayah juga tidak mengomel lagi ketika melihat pendapatan hari ini kurang dari hari-hari sebelumnya. Dan yang paling membuatku mengernyit keheranan saat ia bilang agar aku beristirahat. Kombinasi kemenangan judi dan alkohol memang begitu menakjubkan.

Setelah satu hari terlewati tanpa badai, dengan langkah ringan aku menunggu angkutan kota untuk sampai ke tempat dimana aku bisa hidup normal. Tempat ini sedikitnya membuatku merasa aman dan lepas dari cengkraman ayah untuk sesaat. Meski hanya kampus swasta yang baru merintis, tempat ini bagai pelarian terbaik dalam hidup yang menyedihkan ini.

Sebelum tiba di undakan tangga gedung fakultas manajemen, aku merasa ada seseorang di kejauhan sana yang mengawasiku. Mataku menelusuri hingga tak perlu waktu lama ketika aku menemukan sebuah tatapan yang penuh luka. Kesedihan tercetak jelas di matanya yang hangat hingga gurat kekecewaan mengambil alih seluruh kerupawanan wajahnya.

Hatiku merasa ciut. Ingin hati berlari menghampirinya demi menghapus segala kesakitan di wajahnya, namun apa daya sosok itu enggan tersentuh dengan tangan kotor dan menjijikan ini. Betapa banyaknya kesakitan yang telah aku berikan hingga menggores hati rapuhnya. Kata maaf seakan hanya angin lalu yang tak akan benar-benar membuatnya memaafkanku. Wajah hina ini amat malu menatapnya hingga kuputuskan untuk segera enyah dari hadapannya, kalau perlu dari muka bumi sekalian.

Suasana di kelas tak membuat perasaan membaik. Hari ini kami harus membuat kelompok untuk mempresentasikan sebuah laporan. Bagaimanapun juga tak akan ada satupun orang yang sudi sekelompok denganku, si anak buangan.

Mereka memilih untuk menghindariku seolah-olah aku ini sebuah virus mematikan. Di mata mereka, seorang anak yang lahir tak diharapkan hanyalah sampah yang patut dienyahkan. Apalagi baru-baru ini kakak-ku yang buron dan kembali ke selnya setelah merenggut harta berharga seorang wanita beserta nyawanya pula tak ayal menjadi alasan kenapa keberadaan diriku patut dihindari. Terserah apabila tak ada satu pun yang mau sekelompok denganku. Aku lebih dari mampu untuk menyelesaikannya sendiri.

"Sst.. Alesa!"

Seseorang memanggilku dengan benar. Bukan panggilan seperti ‘hei’ atau ‘lo’.

"Kita satu kelompok aja yah."

Aku menunjuk wajahku sendiri dengan tatapan tak percaya. "Aku?" 

"Tentu, Alesa kan pintar."

Sorotan mata itu nampak jujur. Meski kami sudah berada dalam kelas yang sama hampir tiga tahun ini namun aku tak pernah benar-benar memperhatikannya. Benarkah masih ada yang peduli dengan diriku yang hina ini? Apa dia salah satunya?

"Oke." Terserah saja, yang penting aku mendapat nilai baik di kelas ini.

Dia menunjukan senyuman lima sentinya yang menawan. Lalu ia mengkat tangan tinggi. "Pak, Ratu sekelompok sama Alesa." ujarnya dengan penuh semangat.

"Kamu yakin, Ratu?" Lihat. Bahkan dosen pun memandangku skeptis.

"Iya pak!"

"Ya, terserah kamu saja." jawabnya sambil lalu.

"Jadi, kita mau bahas apa?" Apa yang membuat ia begitu penuh semangat begini?

Aku mencerna baik-baik pertanyaannya. Namun, pada akhirnya aku memutuskan biar dia saja yang menentukan apa maunya, biar aku yang mengikutinya saja.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang