Bab 25: Yang Pertama Baginya

434 17 2
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.


Aku dibawa lagi mas Pram ke kamar hotel kami agar aku bisa leluasa menuntaskan kesedihan sepuas hati. Baru saja semalam suasana muram menyelimuti kamar suite ini, sekarang aura suram itu menyelimuti lagi karena giliranku yang terseguk-seguk menahan sakit saat mengingat kembali raut kecewa Gibran.

Mas Pram mendengarkan ceritaku dengan seksama tanpa banyak komentar. Kata-kata penenang kerap terlontar saat aku terlalu emosional menceritakan kebersamaan dengan Gibran. Tak lupa, usapan halus di kepala membuat aku merasa lebih lega dan tenang. Mas Pram pandai menghibur orang yang bersedih --yang mana itu seharusnya tugasku yang sudah dibayar mahal ini.

Namun aku tidak merengkuh perasaan nyaman itu selamanya. Mas Pram tiba-tiba mendapat kabar dari pengacaranya kalau sang isteri --calon mantan isteri ingin menggugat harta gono-gini dan meminta mas Pram untuk segera pulang dan menyelesaikannya.

Jelas aku sebagai dalang di balik perceraian ini tidak bisa menghalanginya dan merelakan mas Pram pergi sementara aku masih terisak dalam kesedihan ditinggal Gibran.

"Mas akan kembali." janjinya yang menghangatkan hati.

"Pergi aja mas. Aku nggak papa."

"Kamu tahu, mas akan selalu ada untuk kamu."

"Aku tahu mas."

Dan berkat janji penuh kesungguhan itu, aku merasa dunia belum jatuh sepenuhnya. Padahal aku tidak seharusnya merasa dicintai begini, tapi setiap janji mas Pram membuat anganku melambung --berharap tinggi dan ingin lebih. Serakah.

.
.
.

Setelah puas meraung dan mengasihani diri di kamar hotel, aku merasa enggan untuk pulang ataupun kembali bekerja ke bar. Tahu-tahu langkahku membawa ke bar lain --salah satu saingan berat bar ayah dan aku nyelonong saja merasa membutuhkan dua-tiga botol minuman keras.

Keadaan penuh sesak dengan orang menari liar mengikuti entakan lagu di bawah lampu disko warna-warni, membuat kepalaku pusing seketika. Aku mengambil tempat di pojokan untuk menghindari pria hidung belang yang siapa tahu akan menggodaku. Disini, aku dengan leluasa menenggak minuman yang langsung membakar saraf-sarafku, mengaburkan sosok Gibran dan membuat sesak di dada menjadi plong. Aku bukan peminum andal, namun kali ini aku tidak bisa berhenti minum meski pandangan mulai buram.

Dua-tiga pria mengendap-endap ke arahku. Namun, aku pasang pagar berduri di depan hingga mereka mundur perlahan lagi. Meski diambang kesadaran, aku benar-benar tidak bernafsu meladeni mereka. Tapi, masih ada saja yang berani menerobos dan ini pertanda bagiku untuk mengakhiri acara mabuk-mabukan ini.

Di luar bar, aku menghirup udara banyak-banyak dengan tubuh sempoyongan. Keadaan di luar pun tak kalah ramai, banyak tamu yang keluar masuk. Diantara ramainya tamu yang datang, aku menangkap siluet hijau yang habis menurunkan penumpang. Langsung saja aku menghampiri dengan kepala berputar.

"Anterin saya pulang." kataku seraya menepuk driver ojek online ini.

Tanpa menunggu persetujuan, aku langsung naik motor mengangkang meski akibatnya sengatan udara dingin langsung menerpa pahaku yang terekspos berkat rok mini ketat yang aku kenakan. Sulit menghilangkan kebiasaan berpakaian seksi. Bahkan sejujurnya aku lebih leluasa dalam keadaan telanjang.

Samar-samar di kesadaranku yang tipis, driver itu memasangkan helm di kepalaku yang mana itu makin membuat kepalaku terasa pecah karena tambahan beban --aku merengek karena serangan rasa sakit, juga yang aku tahu ada aroma maskulin yang menguar saat si driver mengibaskan jaket lalu menyelimuti pahaku yang terbuka.

Setitik Temu di Ujung Sendu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang