XLI. Harapan Baru

88 10 2
                                    

Emlyn baru kembali dari pertemuan dengan para aktor yang akan membintangi skrip yang ditulisnya. Para aktor yang terpilih adalah aktor-aktor tanah air dengan bakat mumpuni dan diyakini bisa memainkan peran mereka dengan baik. Pekerjaan Emlyn ini membawanya mengenal lebih banyak publik figur. Namun, tetap saja, itu bukan alasan ia bisa berbangga hati dan bisa tebar pesona sana-sini.

Rumahnya terlihat sepi dari luar. Entah kemana semua orang. Toko lagi ramai-ramainya, dan tidak pernah dilihat sebelumnya mamanya tidak di tempat saat kondisi sedang seperti ini.

"Mama ke mana?" tanya Emlyn pada Devi yang sedang sibuk melayani pelanggan, sementara dirinya malah mengambil sebungkus roti dan memasukkannya ke dalam mulut tanpa membantu sama sekali.

"Perang dunia ke-5 udah terjadi," jawab Devi sekenanya dengan tetap menyunggingkan senyum pada pelanggan yang sedang menyerahkan uang.

"Perang apa lagi? Seingatku semua masalah udah kelar, deh," racau Emlyn sembari menggaruk-garuk leher yang dari luar jilbab.

"Bisa aku layani pelanggan dulu sebelum aku cerita semuanya?" ketus Devi dengan senyum paksa karena kesal dengan Emlyn yang tidak membantu tapi banyak bertanya.

"Salah sendiri, aku tanya Mama ke mana, kamu malah buka pembahasan lain," balas Emlyn sambil menjulurkan lidah dan memutarbalikkan badan. Tidak lupa ia mengambil sebungkus roti lagi dan lanjut untuk masuk ke dalam rumah.

Ruang tamu kosong. Dapur bersih. Adiknya tidak ada di kamar, sepertinya sedang ikut les. Berhubung Emlyn sangat jarang berkunjung ke kamar orang tuanya, maka ia melewati hal tersebut dan memilih untuk masuk kamar sendiri. Beristirahat sepertinya lebih baik di waktu sekarang sambil menunggu Mamanya pulang, atau menunggu toko sedikit sepi untuk tahu perang apa yang dimaksud oleh Devi tadinya.

Begitu tangannya mendorong pintu kamar, ia dikagetkan sampai beristighfar karena orang yang dicari sedang duduk di atas ranjang miliknya.

"Mama di sini? Ada apa?" tanyanya dengan tangan yang masih di dada karena rasa terkejut yang belum hilang.

Danita memandangi koleksi putrinya yang dipenuhi oleh album dan photobook idola kesayangannya. Ia juga mengalihkan pandangan pada meja kerja Emlyn, yang mana di sana sudah berdiri sebuah bingkai kecil yang terdapat potret Emlyn bersama Chanyeol ketika di Korea dulu.

Emlyn yang melihat itu segera berlari ke meja dan menyembunyikan bingkai tersebut di balik punggungnya. Ia lupa untuk memindahkannya. Apa ini alasan perang dunia ke-5 yang dimaksud Devi?

"Kamu pasti sangat mencintainya," ujar Danita lemah. Tidak seperti sebelumnya yang menggebu-gebu dan melarang anaknya mengagumi lelaki berbeda agama tersebut.

"Ma." Emlyn tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Danita menyunggingkan sebuah senyum tipis. "Nggak semua keinginan kita bisa diwujudkan oleh orang lain dengan cara seperti yang kita harapkan. Mama ingin kamu menikah karena menimang usiamu yang udah melewati seperempat abad. Mama juga mengenalkanmu pada sosok yang Mama pikir akan baik untuk masa depanmu. Mama melarangmu menjalin hubungan dengan mereka yang kamu kagumi hanya sebatas sebagai idola. Mama terlalu terpaku pada keinginan Mama sendiri sampai Mama mengabaikan apa yang sebenarnya kamu cari."

Emlyn masih bergeming. Ia tidak menyahut apa pun, karena belum tahu pasti ke mana arah pembicaraan Danita. Salah sahut bisa memperumit keadaan yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.

"Mama udah membatalkan perjodohanmu dengan Anka. Mama udah bicara dengan orang tuanya. Ternyata mereka sendiri nggak tahu bahwa anaknya bermasalah. Mereka minta maaf, tapi semua nggak akan baik seperti semula, kan? Walau mereka juga nggak bersalah karena nggak tahu bahwa anaknya demikian. Anka juga minta maaf karena mempermainkan keluarga kita dan mempermalukan keluarganya sendiri," lanjut Danita masih dengan ekspresi datar. Ia benar-benar tidak punya emosi sekarang, sepertinya telah runtuh setelah mengetahui kebenaran tentang Anka.

Kini, Emlyn tahu duduk permasalahan yang dimaksud Devi. Ia mendekat ke samping Danita, dan menggenggam sebelah tangan mamanya itu.

"Maafkan Mama, Em. Mama terlalu memaksa kamu untuk mengikuti kehendak Mama sendiri dan ternyata pilihan yang Mama beri adalah pilihan yang terburuk. Mama merasa benar-benar nggak berdaya karena hal ini. Ini hal terbodoh yang Mama lakukan sebagai orang tua." Danita mengucapkan segala penyesalannya dengan mata berkaca-kaca.

Anak mana yang hatinya tak tergerak ketika melihat orang tuanya bersedih? Emlyn pun sama sekali tidak berpikiran ini salah Mamanya. Mereka tidak ada yang tahu tentang kondisi Anka. Mamanya hanya ingin anaknya menikah. Itu saja.

"Apa aku udah boleh bebas mengidolakan mereka?" tanya Emlyn sambil menunjuk pada koleksiannya.

Sedikit kesal dengan reaksi Emlyn yang bukan menghibur atau meresponsnya dengan baik, Danita mencubit lengan Emlyn. "Kamu sedang mencari kesempatan? Mama sedang berdukacita dengan kondisi kamu yang kembali sendiri."

"Ya ampun, Ma. Aku bukan istri yang ditinggal mati suami. Nggak perlu berdukacita," keluh Emlyn terhadap pilihan kata Danita yang dianggap tidak sesuai.

"Sebatas mengagumi. Nggak lebih. Nggak ada khayalan akan menikah dengan salah satu di antara mereka. Nggak ada halusinasi yang menggila itu," peringat Danita dengan jari telunjuk yang mengacung tegak di depan wajah Emlyn.

Emlyn berdeham, merapatkan tubuhnya pada Danita. Matanya bergerak ke kanan-kiri. "Kalau misal Chanyeol masuk Islam, boleh?" tanyanya hati-hati.

Di luar dugaan, Danita tertawa lebar setelah sebelumnya bersedih hati. Sepertinya ini hiburan yang tak masuk akal bagi Danita.

"Dia? Masuk Islam demi kamu? Ngaca, Em. Udah dibilang jangan halu, masih aja khayal yang nggak-nggak," sahut Danita yang masih terbahak.

Emlyn kesal. Ia menjauhkan diri dari mamanya. "Ma, kita nggak pernah tahu sejauh apa niat seseorang ketika sudah mencintai. Gimana kalau dia sampai berani melangkah sejauh itu demi aku? Gimana kalau dia akan berjuang mati-matian, meninggalkan agamanya demi bisa bersamaku? Gimana? Mama masih nolak? Masih nggak mau terima? Atas alasan apa lagi?" todong Emlyn dengan kekesalan yang masih tersisa.

Emlyn menjauh, kini saatnya Danita yang mendekat pada putrinya. "Kalian menjalin hubungan? Kamu dan idolamu itu?"

Emlyn mengibaskan tangan di depan wajahnya sendiri. Terasa begitu panas dengan pipi yang seperti tomat. "Ngaco banget Mama. Aku gali kuburan sendiri kalau misal jalin hubungan dengan dia."

"Bagus. Agama itu paling utama. Agamanya baik, maka semua akan berjalan baik. Percuma dia punya ketenaran, harta banyak, sering donasi sana-sini tapi agamanya beda dengan kita. Itu nggak ada poin apa pun bagi Mama," tukas Danita mantap.

Emlyn menyeringai. "Berarti kalau dia pindah agama, akan ada poin kan, Ma?"

Danita berdeham. "Bisa dipertimbangkan."

Anaknya sepertinya sedang bersikeras dengan perpindahan agama. Terlihat dari reaksinya yang langsung memeluk Danita dan mencium perempuan yang telah melahirkannya itu berulangkali.

Walau Emlyn tak yakin dengan apa yang sedang dipertanyakannya, ia merasa sebuah harapan baru telah ditujukan pada hubungannya. Harapan yang sebenarnya adalah tantangan terberat dalam hidupnya, dan entah Chanyeol akan bisa melakukannya atau tidak.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang