LIX. Kekhawatiran Sebenarnya

72 8 4
                                    

Melirik arloji di pergelangan tangan kanannya, jarum pendek sudah tepat di angka sebelas. Emlyn mengendap-endap memasuki pekarangan rumah yang tidak begitu luas dan berjalan lewat samping rumah dengan tujuan masuk dari pintu belakang. Ia melihat lampu di ruang tamu masih menyala, pertanda mamanya belum tidur.

Sebelumya ia sudah menghubungi Aqmar untuk menanyakan kondisi rumah, tapi adik kesayangannya itu tidak mengangkat panggilannya. Begitu pula dengan Harry yang sepertinya sedang bertugas di rumah sakit. Baiklah, mungkin ia memang ditakdirkan menghadapi Danita seorang diri malam ini.

Begitu ia memutar kunci pintu, langsung saja orang ditakutinya bersuara. "Asik ya, kabur malam-malam, baliknya juga malam-malam." Danita terlihat duduk di sofa sembari menikmati tontonan di layar televisi. Entah sinema apa yang sedang ditontonnya, karena channel terus berganti dari yang satu ke yang lainnya. Sepertinya mama Emlyn tidak tahu harus menonton apa selarut ini.

Emlyn tidak menyahut, tapi tidak pula melarikan diri. Ia melangkah menuju sofa dan duduk terpisah dua dudukan dari Danita.

"Senang punya papa yang dukung kamu kabur? Bangga bisa have fun dengan laki-laki dari negara asing itu? Hilang lelah kamu setelah ketemu mereka, sampai kamu mengabaikan telepon mama? Itu baru sebatas penggemar, gimana kalau jadi," sindir Danita tanpa melihat ke arah putrinya yang masih membisu.

Untuk apa Emlyn menyahut? Memang benar begitu faktanya. Ia senang karena Harry membantunya kabur malam itu. Ia memiliki kebanggaan tersendiri bisa satu panggung dengan para idolanya. Dan semua penat benar-benar hilang ketika ia bersama mereka, apalagi mendapat pengakuan dari Chanyeol. Patut digarisbawahi, ia sedang terbang di awan sekarang ini. Tapi, jika ia menjawab seperti itu, bukankah perang dunia akan meledak? Tidak. Emlyn tidak segila itu untuk memulai perang.

Situasi mulai hening karena Danita juga tidak kembali bersuara, sepertinya segala emosi yang tertahan tak tahu lagi bagaimana harus disampaikan. Danita agak-agaknya telah kehabisan kata-kata menghadapi putri sulungnya yang keras kepala ini.

"Ma," Emlyn merapatkan diri ke arah Danita. "maaf, aku udah bikin Mama marah-marah terus belakangan ini. Wajar kok Mama marah karena anaknya membangkang. Wajar kalau Mama kesal karena akunya sampai kabur dari rumah. Tapi, itu bukan demi mereka, Ma, melainkan demi aku. Aku punya tanggungjawab di situ. Aku harus menyelesaikan apa yang udah aku mulai, termasuk konser itu.

"Mama dulu selalu mendidik aku untuk bertanggungjawab dalam hal apa pun. Terlebih aku anak pertama dan perempuan. Aku akan punya peran besar dalam hidup untuk bertanggungjawab. Beban di pundakku akan banyak dan aku harus menanggung itu. Aku mengungkit itu bukan untuk pembelaan diri, tapi memang karena itulah aku menyelesaikan semuanya. Memang aku bukan orang penting dalam konser itu, bahkan mungkin penggemar pun nggak minat melihatku di sana. Tapi, aku dan para member telah berkolaborasi, Ma. Kami terikat kerjasama. Ini bukan tentang idola dan penggemarnya.

"Kalau aku jadi Mama dan memiliki anak yang nakal seperti aku ini, aku juga pasti akan geram dan nggak mau terima apa pun alasannya. Tapi lagi, bukankah nggak semua orang punya pendapat yang sama? Dan nggak semua orang juga berhak memaksakan pendapat mereka? Sedekat apa pun hubungannya, seperti aku dan Mama. Kita punya cara pandang sendiri tentang apa yang kita jalani. Nggak bermaksud membantah, apa yang aku lihat tentang mereka dan apa yang Mama lihat itu berbeda, Ma. Mama melihat dari sisi negatif yang berdampak untuk aku, sementara aku melihat sisi positif yang bisa aku dapatkan ketika aku bersama mereka. Salah? Nggak, Ma. Kita benar dari cara berpikir kita."

Emlyn layaknya orang tua yang sedang menasehati anaknya. Tidak berniat mendahului, hanya saja dalam keluarga mereka memang tidak pernah mempermasalahkan usia jika dalam urusan memberi masukan. Siapa saja bisa mengeluarkan isi kepalanya dan siapa pun bisa menentangnya.

Siapa sangka kalimat panjang lebar yang disampaikan Emlyn menumpahkan air mata Danita. "Mama peduli sama kamu. Mama sayang sama kamu dan nggak mau kamu sampai salah langkah. Dulu, Mama nggak pernah permasalahkan kamu menonton mereka sampai larut malam. Mama anggap itu hiburan. Tapi, ini udah beda, Em. Kamu udah bertemu mereka, pasti harapan itu semakin tumbuh di dalam hati kamu untuk laki-laki itu. Mama nggak mau kamu semakin sakit ketika menyadari takdir kalian nggak bisa bersama. Terlalu banyak perbedaan yang nggak bisa kalian samakan. Siapa yang harus berkorban jika itu menyangkut agama? Relakah dia masuk Islam demi kamu? Atau kalian akan bersama dengan dua agama yang berbeda? Itu gila, Em."

Emlyn tertegun. Kini ia baru mendengar Mamanya berkata tanpa amarah padanya tentang dirinya dan Chanyeol. Selama ini kekhawatiranlah sebenarnya yang menyelimuti Danita, bukan kebencian.

Emlyn segera merengkuh Danita dalam pelukannya, ia pun turun meneteskan air mata. Seorang ibu memang tidak hentinya mengkhawatirkan buah hati mereka, seberapa pun matangnya usia sang anak. Bagi orang tua, anak tetaplah anak yang harus selalu diwanti-wanti, selalu dilindungi, selalu dikhawatiri.

"Maafin Em karena nggak pernah tahu apa yang Mama cemaskan. Maafkan Em yang lebih mementingkan ego sendiri. Mama nggak perlu khawatirkan apa yang akan terjadi di depan, Ma. Mengkhawatirkan masa depan sama aja meragukan rencana Tuhan. Tuhan udah merencanakan hal-hal baik untuk kita semua. Aku percaya itu."

Danita tidak menyahut apa pun. Ia sudah cukup lelah dengan semua ini. Ia hanya ingin menyelamatkan anaknya dari rasa sakit yang belum dirasa. Ia tidak ingin putri kesayangannya harus mengalami penderitaan berlarut karena terjebak dalam rasa yang tak seharusnya. Melewati hari-hari seperti itu tidak akan mudah.

"Kita lupakan mereka dulu. Aku ada info penting yang harus Mama tahu. Ini lebih penting daripada memikirkan aku dan Chanyeol satu agama atau beda nantinya," ujar Emlyn seraya menyeka air mata di pipinya juga di pipi Danita.

Danita mengernyitkan kening. Apa yang lebih penting dari hal itu?

Emlyn pun mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan hasil potretnya di hotel tadi. Tepat seperti dugaan, mata Danita melebar dan umpatan pun keluar dari mulutnya. "Dia pelangi? Nggak mungkin!"

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang