One : Isi Diary

205 26 99
                                    

Yo, welcome back to this story♡

As always, jangan lupa vote + comment;)

...

Di sebuah kamar kosong yang sudah tak berpemilik, Aina masuk ke dalamnya. Kamar itu sama kosongnya dengan hati Aina saat ini. Hati yang hanya dipenuhi kekosongan kala ada seseorang dalam hidup Aina yang sudah pergi untuk selamanya. Aina rindu.

Aina duduk di sebuah ranjang dalam kamar tak berpemilik itu, sambil mengambil sebuah bingkai foto kecil yang diletakkan di nakas. Bulir-bulir air mata mulai mengalir dengan deras saat wajah dalam bingkai itu dilihat olehnya. Wajah itu membuat Aina memancarkan kerinduan yang semakin mendalam pada lubang kosong dalam hatinya. Betapa Aina sangat ingin melihat kembali wajah itu secara langsung. Sayangnya, itu hanya akan selalu menjadi sebuah angan yang tidak pernah terwujud.

"Indira ... Bunda rindu ..."

Indira Farisha Purnama, putri semata wayangnya yang sudah tiada semenjak dua bulan yang lalu. Gadis itu telah pergi karena kanker otak yang dideritanya. Awalnya Indira mengidap kanker otak stadium 2, tapi kanker itu mulai meningkat menjadi stadium 4 hingga membuat Indira tiada. Dokter sempat berkata bahwa penyebab utama dari naiknya kanker itu adalah stress.

"Andai saja aku tidak memperlakukan putriku dengan buruk, dia tidak akan stress hingga membuat kankernya menjadi naik stadium. Jika itu tidak terjadi, maka kemungkinan besar putriku masih bernapas sampai detik ini..." lirih Aina sembari terisak. Andai, andai dan andai yang selalu Aina katakan. Andai yang sudah terlambat.

Semasa Indira masih ada, Aina benar-benar tidak memperlakukan putrinya selayaknya seorang anak. Aina selalu memperlakukan Indira seperti sebuah sampah yang tidak berhak untuk mendapatkan kasih sayang. Makian dan tamparan selalu saja Aina berikan. Saat Aina ingin merubah perilakunya terhadap Indira, Indira justru sudah tiada. Indira pergi dengan meninggalkan penyesalan besar terhadap Aina.

Aina meletakkan foto yang tadi dia pegang di atas kasur. Dirinya kini mulai membuka-buka laci nakas untuk menemukan barang-barang Indira yang mungkin masih ada. Barangkali barang-barang itu dapat mengobati rasa rindunya terhadap Indira.

Saat Aina membuka laci pada bagian paling atas, dia menemukan sebuah buku harian yang sudah sangat usang dan beberapa obat yang Aina tidak ketahui. Rasa penasaran membuat Aina membuka buku itu. Halaman pertama yang Aina lihat adalah sebuah tulisan anak SD. Mungkinkah buku harian itu sudah Indira miliki sejak ia masih SD?

Detik berikutnya Aina langsung membaca halaman pertamanya.

Dira juga ingin

Mengapa Dira selalu menjadi saksi harmonisnya keluarga orang lain? Sedangkan saksi ini tidak pernah merasakan hal yang sama ....

Dira sering melihat teman-teman tampak dekat dengan kedua orang tuanya, bahkan sedari TK. Dira juga ingin. Mengapa? Mengapa bahkan semasa TK Dira hanya dipenuhi suara teriakan makian, dan kalimat berupa anak sampah di mana-mana?

Dira juga ingin. Ingin seperti teman-teman Dira yang hanya memikirkan waktu bermain setelah pulang sekolah, bukan menghabiskan waktu dengan memikirkan pertanyaan berupa, apakah orang tuaku menyayangiku? Dira lelah dengan kekerasan ini.

Apakah kelahiranku adalah sebuah kesalahan, sehingga aku mendapat balasan berupa tamparan dan makian dari Ayah dan Bunda? Bagian mana yang membuatnya menjadi salah? Bagian mana yang membuatnya menjadi dibenci? Dira ingin memperbaikinya agar bisa merasakan kasih di rumah.

Bunda ... datanglah ke arah Dira dan katakan bahwa Bunda menyayangi Dira. Ayah ... peluklah tubuh Dira yang selalu menginginkan itu. Untuk Ayah dan Bunda, belai pelan kepala Dira, hentikan tamparan yang selalu membuat hati Dira terluka.

Ayah ... Bunda ... bisakah Dira meminta kasih sayang itu? Atau haruskah Dira mengemis kasih sayang dari orang tua yang katanya bisa memberikannya secara gratis?


Bulir-bulir air mata semakin deras membasahi mata dan juga pipi Aina. Tangis itu semakin pecah dan semakin keras. Sungguh Aina sangat menyesal. Jika Aina bisa memutar balikan waktu, dia akan memperbaiki waktu-waktunya bersama Indira. Sayangnya dia tidak bisa melakukannya.

Halaman pertama itu sangat jelas mengingatkan Aina betapa dia sering jahat terhadap Indira. Bahkan semenjak Indira masih kecil.

Meski masih dengan perasaan sesak, Aina tetap melanjutkan membaca buku harian itu. Seandainya penyesalan itu semakin meraja-rela saat membacanya, Aina siap menanggungnya. Lagipula menurut Aina, dia memang pantas mendapatkan penyesalan itu.

Setiap halaman pada buku harian itu mengandung setiap luka yang selama ini Indira derita. Dan sepertinya sekarang derita itu sudah berpindah terhadap Aina. Aina menderita akibat penyesalan. Menyesal karena Aina sudah terlibat sebagai pendonor luka untuk almarhum putrinya itu.

Sakit semakin menyelimuti. Namun, itu tak kunjung membuat Aina berhenti membaca buku harian itu. Hingga tiba-tiba Aina terkejut akibat sebuah tulisan dalam salah satu halaman.

Aku benci karena telah menjadi monster untuk diriku sendiri. Dan aku benci karena aku tidak bisa berhenti melakukannya. Setiap malam aku habiskan untuk melakukan self-harm. Tiada hari tanpa membenturkan kepala di tembok. Dan kala aku sudah benar-benar muak dengan deritaku, aku mulai meminum obat tidur dengan dosis yang berlebih. Aku tau ini salah, tapi aku hanya menginginkan ketenangan atas segala rasa sakit yang orang tuaku berikan.

Betapa Aina sangat terkejut membacanya. Betapa Aina terkejut mengetahui fakta itu. Fakta bahwa Indira selalu menyakiti dirinya sendiri, dan itu semua karenanya.

Reflek Aina membanting buku itu ke lantai. Tangannya kini mulai ia gunakan untuk menjambak kuat rambutnya sampai dia puas. Bahkan kini setelah dirinya puas, dia berjalan ke salah satu tembok yang ada di kamar itu.

"Gara-gara aku, putriku sampai nekat untuk berbuat self-harm. Itu semua karena luka yang telah kuberikan terhadapnya."

Aina mulai bersiap untuk membenturkan kepalanya demi memberikan dirinya sendiri hukuman. Namun, tiba-tiba sebuah suara muncul entah dari mana.

"Jangan lakuin itu, Bunda. Bundanya Dira nggak boleh kayak gini."

Suara itu langsung menghentikan niat Aina. Aina tidak mungkin salah dengar bahwa itu adalah suara putrinya. Suara putrinya entah berasal dari mana. Dan kini Aina mulai mencari-cari asal dari suara itu.

"INDIRA KAMU DI MANA, NAK?"

Suara teriakan Aina memenuhi kamar. Namun, meskipun sudah berteriak sangat kencang, suara itu tidak kunjung juga kembali. Itu membuat Aina frustasi.

Apakah tadi Aina hanya sedang berhalusinasi karena terlalu rindu dengan Indira? Atau suara yang melarangnya untuk berbuat self-harm tadi memang benar nyata? Ah, Aina stress memikirkannya.

Dengan mata dan pipi yang basah, juga dengan langkah yang lesu Aina kembali menghampiri nakas milik Indira. Tangannya yang mulai gemetar kembali menarik laci yang ada di bagian paling atas. Aina mulai mengambil obat yang tadi senpat dia lihat. Aina tidak tau pasti itu obat apa, tapi dia sangat yakin bahwa itu adalah obat tidur yang selalu digunakan almarhum putrinya.

"Apa aku dapat mendengar suara putriku lagi jika aku tertidur?"

***
Nyesel nggak tuh si Aina?

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang