Eighteen: Harus Apa?

8 3 0
                                    

Hi, I'm update again!

-Happy Reading-

"Makasih, Tante. Makasih banyak buat hari ini. Makasih karena udah mau dengerin keluhan saya." Brama berujar tulus.

"Sama-sama. Maaf juga tidak bisa membantu banyak," tutur Aina yang sedikit merasa bersalah.

"Mendengarkan tanpa menghakimi itu sudah sangat membantu, Tante. By the way, Tante kalo ada apa-apa juga cerita, ya."

"Ada, sih. Tapi lupakan sajalah. Ini hanya masalah orang dewasa."

"Hey, Tante jangan pandang umur, dong! Gini-gini saya udah punya KTP." Brama berujar tengil dengan diselipkan bercanda. Baru saja beberapa menit lalu Brama terpuruk, sekarang sudah kembali lagi sifat tengilnya. Topeng.

Aina berkekeh ringan sebelum berkata, "Saya ingin bercerai dengan suami saya."

Reflek mata Brama melotot dengan sempurna akibat terkejut. Bagaimana Brama tidak terkejut, jika yang dia dengar adalah permasalahan rumah tangga.

Bercerai? Kenapa? Dua kata itu seolah tertempel dalam otak Brama untuk dipertanyakan.

"Dulu kami memang ingin bercerai. Tapi tidak jadi karena ternyata saat itu saya sedang mengandung Indira."

Mendengar nama Indira membuat Brama lebih antusias mendengarnya. Brama yakin sekali bahwa ini akan berkaitan dengan kekerasan yang dihadapi Indira selama ini.

"Saat mengetahui fakta bahwa ternyata saya sedang mengandung Indira, kami memutuskan untuk tidak jadi bercerai. Namun, itu semua semata-mata demi reputasi." Aina kembali melanjutkan perkataannya.

"Jadi pada akhirnya kalian bertahan pada sebuah hubungan yang tak sehat." Brama berusaha menebak.

Meski Brama belum mendengarkan cerita itu secara keseluruhan, tapi Brama menduga bahwa ini benar-benar berkaitan dengan kekerasan fisik yang Indira alami. Pernikahan yang sudah tidak sehat membuat mereka terpaksa bertahan karena reputasi akibat kelahiran anak. Tapi akibat hubungan tak sehat itu membuat mereka melampiaskannya kepada Indira, atau begitulah yang Brama duga.

Jika dugaan Brama benar, sungguh dapat terbayangkan berapa banyak dan berapa lama luka yang Indira tanggung. Penyiksaan tiada henti itu pasti sangat menyiksa Indira, ditambah lagi perlakunya adalah orang yang ia sebut-sebut sebagai orang tua. Betapa tak tergambarkannya suka dalam kehidupan Indira.

Brama memang sudah mengetahui fakta bahwa Indira meruapakan korban kekerasan dari Fatur dan juga Aina. Tapi Brama tidak mengetahui alasan kenapa Fatur dan Aina melakukan itu. Maka di sinilah Brama, mendengarkan alasannya.

"Iya. Pada akhirnya kami bertahan pada hubungan yang sudah tak sehat. Namun, kami menyalahkan semua situasi ini kepada Indira. Di pikiran kami pada saat itu, jika Indira tidak lahir, maka kami tidak harus bertahan."

Tangan Brama terkepal mendengar penjelasan itu. Bagaimana bisa seorang bayi yang bahkan tidak pernah meminta lahir sudah disalahkan atas kelahirannya. Bagaimana bisa mereka menyalahkan alasan orang tuanya untuk bertahan. Kenapa mereka tidak menyalahkan diri sendiri yang terlalu mengutamakan reputasi, tapi mengesampingkan perasaan anak yang tak bersalah?

Brama memang sudah mengetahui fakta
Hubungan yang toxic bukanlah sesuatu yang diinginkan. Tapi bertahan atau melepas hubungan toxic adalah pilihan. Pilihan yang sama dengan ingin menjadi dewasa saat bertindak mengambil keputusan, atau tidak.

Fatur dan Aina memilih mengambil keputusan yang tak dewasa, menyalahkan seseorang yang tidak bersalah demi ego tinggi mereka terkait reputasi.

"Tapi bukan Indira yang meminta kelahirannya terjadi." Brama sekeras mungkin menahan suaranya agar tidak berteriak.

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang