Twelve: Useless?

17 5 10
                                    

Beberapa menit telah berlalu. Sepasang pasutri yang saling berduka mencoba menenangkan baik satu sama lain. Meski demikian, rinai nyata masih menyelimuti kalbu. Tiada harsa yang terdapat kala kehilangan menggerogoti insan. Membuat jiwa yang berduka merasakan nestapa yang mungkin abadi.

Penyesalan dan duka adalah dua hal berbeda, tapi sama menghasilkan sakit. Namun, jika keduanya dipadukan, lantas terbayangkah padamu sehebat apa sakit itu?

"Sudah lebih baik?"

"Sekali pun dalam mimpi, mengapa Indira masih sepeduli itu kepada kita ...." Aina menjawab dengan lirihan yang berupa pertanyaan akan dilema yang dirasa.

Ada sesak saat Aina mengucapakan kalimat itu. seolah ada sakit yang tidak bisa dijabarkan, sanking hebatnya sebuah luka yang dirasa. Fatur pun ikut merasakan hal demikian.

Penyesalan sudah tiada guna, karena kamu tidak bisa berbuat apa pun akan hari yang sudah terlewat. Tapi, kamu bisa melakukan sesuatu di hari selanjutnya dengan menjadi lebih baik.

"Karena dia menyayangi kita. Maka mari kita rawat diri kita sendiri, demi dia yang sudah berpulang. Dia yang sudah berpulang dan mengharapkan kita baik-baik saja."

Ragu menggerogoti Fatur saat dia mengucapkan kalimat demikian. Bagaimana bisa terlihat baik-baik saja, di saat penyesalan itu masih belum teratasi? Namun, hanya itu yang bisa Fatur lakukan, mengucapkan kalimat penenang di saat hatinya masih meragu akan ketenangan yang di dapat.

"Sudah lebih baik?" Fatur kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dengan harapan Aina sudah merasa lebih baik, setidaknya sedikit saja.

"Sedikit."

Satu kata yang keluar dari Aina sukses membuat Fatur merekahkan senyumnya. Setidaknya upaya yang dilakukan Fatur untuk menenangkan Aina berhasil, meski hanya membuahkan hasil yang sedikit.

"Kembali tidur, dan kali ini biar aku yang menemanimu. Jangan tidur sendiri dulu. Setidaknya aku ingin menjagamu, dan biarkan itu terjadi untuk malam ini."

Aina ingin menolak permintaan Fatur. Tapi begitu Aina melihat harapan yang seolah terpancar dari sorot mata Fatur, Aina jadi merasa tidak tega untuk menolaknya. Pada akhirnya, Aina mengiyakan tawaran Fatur dengan memberikan jawaban berupa sebuah anggukan kepala.

Aina tidur dengan Fatur yang menemani, dan dengan dirinya yang sudah sedikit lebih tenang. Kalau boleh jujur, Fatur sangat lelah. Emosinya benar-benar terkuras, dan itu memengaruhi kelelahannya secara fisik. Fatur lelah.

Ingin rasanya Fatur tidur dan melepas sejenak segala lelah ini. Namun, tidur pun terasa begitu sulit untuk Fatur lakukan, kala pikiran terlalu menumpuk memikirkan skenario-skenario dalam kepala.

Tuhan, aku lelah.

***

Sebuah bel pada salah satu rumah sedang ditekan oleh seorang gadis remaja. Gadis remaja yang saat ini sedang berdiri di depan pintu, dengan salah satu tangannya yang sedang menekan bel pada rumah Brama.

Viola Angelika-gadis remaja yang sedang berada di depan rumah Brama saat ini-merupakan sepupu dari Brama, sekaligus sahabat dari almarhumah Indira. Viola datang dengan membawakan bekal untuk sepupunya yang menyebalkan, tapi juga sepupunya yang dia sayang.

Entah sudah keberapa kalinya bel rumah itu ditekan Viola, tapi sang empu yang dicari tak kunjung juga muncul dari hadapan.

"Anak itu ke mana, sih," gerutu Viola yang mulai bosan menunggu.

Viola yang sudah sangat tidak sabar menunggu Brama membuka pintu, mencoba mengetuk saja pintu yang tertutup itu.

Satu hal mengejutkan terjadi. Pintu Brama tidak terkunci, sedangkan sang empu yang dicari tidak terlihat batang hidungnya begitu pintu terbuka. Bagaimana jika seseorang masuk begitu saja tanpa sepengetahuan Brama? Terkadang Viola merasa bahwa sepupunya itu sangat ceroboh.

"Bodoh. Pintu bukannya dikunci, malah dibiarin gini aja."

Viola melepaskan sandal yang bertengger pada kakinya, dan mulai memasuki rumah yang diyakini terdapat Brama di dalamnya.

"Assalamu'alaikum, Brama. Udah makan belum lo? Makan dulu sini." Viola sedikit meninggikan suaranya saat mengatakan itu.

Viola yang tidak mendapat sahutan dari Brama memilih semakin memasukkan kakinya ke dalam rumah itu. Hingga, langkah Viola terhenti saat kakinya merasa sedang menginjak sesuatu.

Terdapat kertas kusut yang terbuka lebar, dan menampilkan sebuah tulisan di sana. Viola yang melihat itu tentu saja langsung mengambil untuk membacanya.

Viola mulai membaca kalimat per kalimat yang terdapat pada kertas kusut yang ditemuinya. Semakin Viola baca, semakin keterkejutan menghampiri dirinya. Itu adalah surat dari Endro-pamannya sekaligus papanya Brama.

Hai, Anzah. Maaf tadi Papa datang enggak bilang-bilang. Papa cuman mau bilang sesuatu sama kamu, tapi kamu malah menghindar. Papa tidak akan marah karena hal itu, karena Papa mengerti kamu pasti masih membenci Papa.

Anzah, maafin Papa atas semua yang telah terjadi di masa lalu. Papa benar-benar menyesali hal itu. Atas perlakuan buruk Papa terhadap mama kamu. Papa tau kamu pasti tidak akan dengan mudah memaafkan Papa. Tetapi izinkan Papa menjelaskan senuanya secara langsung dengan kamu. Izinkan Papa bertemu dengan kamu. Tidak harus sekarang jika kamu belum mau. Tetapi kabari Papa jika kamu sudah siap untuk bertemu.

Dua paragraf dalam surat itu jelas membuat Viola terkejut. Rasa khawatir terhadap Brama mulai menghantuinya. Sekarang Viola mengerti kenapa Brama tidak kunjung membukakan pintu.

"Brama ... gue yakin lo lagi mengurung diri di kamar saat ini."

Viola pernah menjadi saksi betapa hancurnya Brama setelah ditinggalkan Kalika. Viola pernah menjadi saksi dari Brama yang pernah mengucapkan kalimat Anzah benci Papa, meski Viola tidak tau alasan Brama mengucapkan itu. Brama yang hancur, Brama yang terluka, Brama yang bersedih, Viola pernah menjadi saksi akan semua itu, meski saat itu dia adalah saksi yang tidak disengaja, karena Brama tidak pernah memperlihatkan segala macam lukanya.

Brama selalu terlihat biasa saja, jail, humoris, sedikit tengil sampai membuat Viola jengkel. Namun, itu adalah cara Brama menutupi lukanya agar tak diketahui semua orang termasuk Viola. Sampai suatu hari Viola sempat menyadari Brama yang tidak keluar dari kamar hingga memunculkan niat untuk menghampiri, tapi berujung menjadi saksi kesedihan. Dari situ Viola menyimpulkan bahwa, setiap kali Brama bersedih, mengurung diri pasti menjadi opsinya. Mungkinkah itu yang terjadi pada Brama saat ini?

"Jadi om Endro tadi sempat ke sini?"

Kertas yang sudah kusut, semakin diperkusut oleh Viola karena dia pusing sendiri membacanya. Viola membuang sembarang kertas yang sempat dipegangnya. Kini Viola semakin merasa khawatir, dan sebuah kecurigaan muncul terhadap dirinya. Curiga bahwa Brama ada masalah.

Banyak pertanyaan bersarang terhadap diri Viola seusai membaca surat itu. Apa yang terjadi antara Brama dan Endro? Mengapa Endro mengirimi surat seperti itu kepada Brama? Masalah apa yang sedang Brama tanggung saat ini? Apakah kematian Kalika ada kaitannya dengan Endro? Itu semua adalah pertanyaan yang bersarang pada Viola.

Viola memang mengetahui bahwa Kalika meninggal karena sakit. Tapi Viola tidak mengetahui bahwa Kalika sakit akibat overdose obat-obatan karena depresi usai perlakuan Endro. Viola tidak pernah tau akan masalah yang dihadapi Brama. Selama ini yang Viola tau hanyalah Brama yang masih bersedih karena kehilangan Kalika.

Rasa kecewa muncul untuk Viola. Viola kecewa karena dia tidak mengetahui akan luka itu. Terbesit pikiran bahwa dirinya tidak berguna.

"Baik untuk almarhumah Indira ataupun Brama, gue memang enggak pernah berguna."















***
Hai, masih ingatkah dengan Viola dari cerita Sederet Luka untuk Indira? She's come back, Guys!🥳🥳

See you next chapter untuk melihat Viola di scene selanjutnya^^

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang