Ten: Jemput Aku

32 6 10
                                    

Annyeong!

Kiw kiw, aku tetap update meski sedikit pembaca. Gwenchana. By the way, happy reading buat yang lagi baca^^

~~~

Di kamar yang bernuansa abu-abu, seorang pria remaja tengah menangis. Air matanya jatuh, tetapi suaranya redup. Remaja itu menangis tanpa suara.

"Papa ... maafin Anzah." Entah sudah keberapa kalinya dia mengucapkan kata itu.

Vianzah Albrama-remaja yang sedari tadi menangis di kamarnya. Tangan kiri Brama mengepal dengan kuat, sedangkan salah satu tangannya lagi sedang meremas sebuah kertas.

Kertas yang sudah tidak rapi lagi itu merupakan surat permohonan maaf dari papanya, sekaligus keinginan untuk bertemu dengan putra semata wayangnya. Ada rasa ingin bagi Brama untuk menerima permintaan itu, tetapi untuk saat ini kebencian yang lebih dominan membuatnya menjadi enggan untuk menerimanya.

Brama sendiri benci dengan perasaannya terhadap papanya. Dia memang benci dengan Endro-papanya, tetapi dia jauh lebih membenci dirinya sendiri yang tidak bisa menghilangkan kebencian itu. Brama ingin kembali dekat dengan sosok Endro, tetapi mengingat perlakuan Endro terhadap almarhumah sang mama membuat dia menjadi urung menghilangkan rasa benci itu.

"Maaf Anzah benci sama Papa ...." Satu isakan akhirnya lepas dari mulut Brama. Sesak rasanya ketika secara raga dekat dengan orang tua kandung, tetapi secara emosional tidak sedekat itu, bahkan benar-benar jauh dari kata dekat.

"Papa jahat banget sama Mama ...."

Brama kecil yang akan tidur sedang menatap ke arahnya mamanya yang sedang membelai pucuk kepalanya dengan penuh sayang. Senyuman sang mama yang menjadi pusat perhatian Brama, tetapi yang lebih tepat sebenarnya adalah luka yang ada di sudut bibir sang mama menjadi objek perhatian dari Brama.

"Mama."

Merasa terpanggil, Kalika langsung menatap sayang ke arah putranya. "Kenapa, Sayang?"

"Di bibir Mama ada luka. Memangnya kalau lagi luka gitu nggak sakit, ya, senyum-senyum?"

Pertanyaan yang keluar dari Brama membuat Kalika memasang ekspresi terkejut bercampur bingung mau menjawab apa pertanyaan putranya. Tetapi dengan segera dia kembali menetralkan ekpresinya.

"Nggak sakit, kok. Biasa aja. Udah, ya, Anzah bobo aja. Jangan liatin Mama terus, pejemin matanya."

Brama merasa ada kebohongan yang diucapkan mamanya. Tapi saat melihat senyuman tulus dari Kalika, Brama menjadi menghilangkan rasa ragunya. Brama memejamkan matanya berusaha untuk tidur, ditemani dengan tangan sang mama yang masih setia membelai kepalanya.

Melihat Brama yang sudah memejamkan matanya, Kalika langsung membuang pandangannya ke arah lain untuk menjatuhkan sejenak air mata yang sedari tadi ditahannya. Dadanya sedikit sesak karena menahan sebuah emosi.

Maaf, Mama bohongin Anzah. Ini memang sakit, batin Kalika.

Kalika mengusap kasar pipinya yang sedikit basah dengan salah satu tangannya, lalu dia kembali menatap ke arah putra tersayangnya. Wajah Anzah terlihat begitu menggemaskan jika sedang tidur, tampak lucu dan damai.

Tiba-tiba sebuah dengkuran halus lolos dari mulut Brama, membuat Kalika terkekeh. Kalika merasa terhibur dibuatnya. Meski luka fisik dan batin sering menyiksanya, setidaknya dia memiliki sosok buah hati sebagai pemenang dari obatnya.

"Kalika! Di mana kamu?" tanya Endro diiringi dengan teriakkan.

Suara teriakan dari arah ruang tamu membuat raut wajah Kalika berubah menjadi takut. Buru-buru dia keluar dari kamar sang anak, dan langsung menghampiri seseorang yang sedang berteriak. Orang yang tidak lain adalah suaminya, Endro.

"Mas, jangan teriak, tolong. Anzah udah tidur."

Seusai mengatakan itu, Kalika merasakan panas pada pipinya. Dia baru saja mendapati sebuah tamparan yang keras. Luka pada sudut bibir itu kembali mengeluarkan beberapa tetes darah karenanya. Perih.

"Jangan ngatur-ngatur saya, kamu!" sarkas Endro.

Diam-diam dari balik pintu kamar, Anzah kecil yang telah terbangun akibat suara teriakkan menyaksikan semuanya di ruang tamu. Anzah telah menyaksikan bagaimana kejamnya Endro memperlakukan Kalika. Sialnya Anzah tidak bisa melakukan apapun selain berdiam diri di ambang pintu dengan tangisan yang tertahan. Hari itu, betapa Anzah menyadari bahwa senyum yang selalu mamanya keluarkan hanyalah sebatas topeng.

Kilasan memori masa lalu itu kembali muncul menunjukkan rasa benci semakin nyata, bukan hanya pada papanya, tetapi juga pada dirinya sendiri. Anzah yang tidak bisa menahan diri langsung menggunakan kedua tangannya untuk memukuli kepalanya. Betapa bodohnya dia karena hanya bisa diam saja saat dia menjadi saksi kekerasan yang diderita oleh sang mama, itulah yang sedang ia pikirkan.

Pukulan itu semakin menjadi bersamaan dengan memori lain yang muncul dalam benaknya. Tentang memori saat Papanya selalu menyuruhnya untuk main ke luar rumah, dan berakhir Brama menurut. Tetapi pada saat itu, setiap kali Brama pulang bermain, Brama selalu mendapati sang mama yang telah dipenuhi memar pada wajahnya. Hal itu membuat Brama kecil curiga apalagi setelah kejadian malam itu. Hingga pada akhirnya Brama tidak lagi menurut setiap kali papanya menyuruhnya untuk main ke luar rumah, diam-diam Brama mengintip apa yang telah dilakukan papanya kepada sang mama, dan di situ Brama kembali menjadi saksi atas kekerasan yang telah Endro lakukan untuk Kalika. Ya, hanya sebatas saksi.

Hati Brama yang memang masih sangat terluka, kini luka itu seolah mengeluarkan darah yang tak kasat mata. Sakit. Brama butuh sesuatu untuk melampiaskan rasa sakitnya.

Brama telah berhenti memukuli kepalanya, dan kini dia sedang beranjak dari posisi duduknya untuk berjalan menuju sebuah nakas. Ditariknya salah satu laci yang ada di nakas itu hingga memperlihatkan sebuah cutter dan beberapa pecahan kaca di dalam sana. Sungguh Brama butuh pelampiasan. "Tuhan ... tolong jemput aku untuk menemui mama."

***

Di tempat lain, tepatnya di kamar milik Fatur dan Aina, sepasang pasutri tengah dilanda situasi canggung. Aina yang memang tidak memiliki niatan untuk mengobrol dengan Fatur, dan Fatur yang tidak tau bagaimana cara mencari topik untuk saat ini. Sangat canggung. Apakah ini memang sudah menjadi pertanda bahwa pernikahan mereka sudah tidak dapat diselamatkan? Membayangkannya membuat hati Fatur meringis.

Dalam kecanggungan, Aina tiba-tiba berkata tentang sesuatu yang membuat Fatur terkejut. "Aku mau tidur di kamar Dira."

"Aku temani," ujar Fatur.

"Alasan kenapa aku mau tidur di kamar Dira itu karena aku mau tidur pisah ranjang dari kamu. Jadi jangan ikut." Aina pergi begitu saja setelah mengucapkan kalimat itu. Jika sudah seperti itu, Fatur tidak punya pilihan lain selain menuruti Aina.

Dalam kesendirian di kamar itu, Fatur semakin kusut akan pikirannya. Betapa banyaknya kehilangan yang telah dia dapatkan. Kehilangan putri semata wayangnya, kehilangan reputasinya, dan sekarang apakah dia juga akan kehilangan pernikahannya setelah melihat sikap istrinya yang seperti itu?

Fatur mengepalkan kedua tangannya, dan ditatapnya kedua kepalan tangan itu. Ingin rasanya Fatur menggunakan kepalan tangan itu untuk memukuli kepalanya, tetapi apakah itu hal yang salah jika dilakukan? Fatur masih ragu akan hal itu.

Dari banyaknya kehilangan, Fatur ingin setidaknya ada satu yang masih bisa ia pertahankan. Pernikahannya. Tetapi jika pernikahan itu tak lagi bisa ia pertahankan, dan berujung menambah kehilangan yang baru hingga tak menyisakan apapun untuk dipertahankan, lantas untuk apa juga Fatur bertahan?

"Tolong jemput ..." lirihnya sambil membayangkan wajah Indira.

***
Gimana perasaan kalian waktu habis baca cerita ini, guys?

Mau ngomong apa sama:

-Brama

-Fatur

-Aina

-Me

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang