Nineteen: His Trauma

11 3 0
                                    

Hai, apa kabar? Sehat-sehat, ya, pembaca Sederet Penyesalan (kalau ada yang baca, sih).

-Happy Redding-

Brama telah tiba di rumahnya dengan rasa lelah yang teramat. Lelah emosional yang tercipta memang berdampak juga pada kelelahan fisik.

Mata terasa kantuk, tapi pikiran membuat tolakan pada keinginan tidur. Tubuh terasa lelah, tapi lara yang menjadi buah pikir kembali merenggut ingin untuk terlelap. Lantas mau ke mana lagi harus mencari ketenangan?

"Full emotion," gumam Brama.

Betapa hari ini begitu beremosi dari awal pagi hingga sekarang. Di sekolah, emosi lara sudah Brama rasakan saat bersama Viola—terjadi begitu saja saat mengingat Indira dan Aya. Pulang sekolah langsung ke pemakaman dan kembali luruh emosi Brama mengingat kepergian Kalika. Lara Brama bercampur amarah saat bertemu dengan Endro. Di tengah amarah digabung kembali dengan emosi yang ambigu saat bersama Aina. Melelahkannya hari ini.

"Kalau dipikir-pikir, gue emang selalu ngerasain emosi ini semenjak mama pergi." Brama kembali bergumam.

Kehilangan memanglah menyakitkan. Bahkan itu jauh dari kata sakit. Kehilangan adalah sesuatu yang tak cukup dideskripsikan hanya dengan kata sedih. Pada kenyataannya itu bukan lagi kesedihan, tapi kesengsaraan batin.

Saat Brama bertemu dengan Aina, sempat tergambarkan betapa menderitanya kehidupan Indira dari kecil. Saat itu fokus Brama adalah Indira, sampai dia lupa mengingat bahwa dirinya sendiri tak kalah menderitanya semenjak kecil.

Seorang anak kecil harus terbiasakan menonton kekerasan secara langsung di dunia nyata. Seorang anak kecil harus menjadi saksi hidup orang tersayang menjadi korban kekerasan fisik. Seorang anak kecil harus mengetahui arti dari rumah tangga tak harmonis.

"Tapi itu bukanlah keharusan, melainkan keterpaksaan," lirih Brama yang teringat luka lama lagi dan lagi.

Brama yang pada saat itu masih berusia enam tahun secara tidak sengaja menjadi saksi Endro yang melakukan kekerasan terhadap Kalika. Brama yang pada saat itu berusia enam tahun merasa bahwa dirinya tidak berguna. Bagaimana Brama tidak merasa berguna, ketika dirinya hanya bisa terdiam saat mama tercinta disakiti?

Brama memukuli kepalanya sendiri berkali-kali saat ini. Mengingat betapa tak bergunanya Brama, membuat Brama marah pada dirinya sendiri. Bahkan kemarahan yang Brama rasakan sudah sampai ditahap benci.  

"Alur kehidupan sial," umpat Brama.

Semua alur menyakitkan itu terekam dalam benak Brama. Dari banyaknya alur menyakitkan yang ada, Brama paling ingat dengan Kalika yang self-harm.

Tindakan nekat yang dilakukan Kalika membawanya sampai pada titik merenggang nyawa. Tindakan nekat Kalika membuat Brama jatuh terpuruk. Tindakan nekat Kalika membuat Brama yang merasa buruk karena hanya bisa membisu terkait kekerasan itu, kembali dibuat buruk karena merasakan kehilangan pertama kalinya. Sangat sakit.

"Parahnya gue enggak bisa datang di hari terakhir mama."

Brama menyesali hari di mana dirinya tak bisa melihat Kalika di hari terakhir itu. Jika saja Brama tak terkunci di kamar mandi, mungkin Brama masih sempat melihat Kalika.

Brama sudah memaafkan Indira yang menjadi alasannya tak dapat menjenguk Kalika. Tapi Brama masih tidak bisa memaafkan dirinya sendiri yang tidak bisa membela diri di hari itu. Hanya sesal diiringi kata andai yang menemani Brama setiap waktu. Andai bisa seperti ini, andai bisa seperti itu, andai melakukan ini, dan banyak andai lagi. Tapi andai yang menyangkut masa lalu hanyalah sebuah andai, karena tak seorang pun bisa mengubahnya.

Hari-hari Brama setelah kepergian Kalika hanyalah perihal kesedihan dan trauma. Trauma itu mengiringi Brama bahkan di usia remajanya. Belum sembuh Brama dari trauma kehilangannya, Brama dibuat kehilangan lagi.

"Aya, Indira, mengapa kalian pergi? Mengapa kalian membuat trauma gue semakin menganga?" Brama berujar parau. Sungguh kacau Brama ini.

Di tengah kekacauan Brama, suara notifikasi pesan tiba-tiba terdengar dari ponsel Brama. Mendengar itu membuat Brama mengambil ponselnya yang berada di nakas.

Tante Aina
| Kamu tadi kehujanan, 'kan. Jangan lupa mandi, ganti baju, dan segera minum air hangat.

Pesan itu membuat Brama tersadar bahwa dirinya sedang dalam keadaan basah kuyup. Kasur yang sedang Brama duduki bahkan ikut basah spreinya.

Saat selesai urusan di pemakaman tadi, Brama memutuskan untuk mengantarkan Aina pulang. Ketika Brama hendak pulang setelah mengantarkan Aina, hujan tiba-tiba turun dengan deras.

Aina sempat menawarkan Brama untuk mampir ke rumahnya dulu, tapi Brama menolaknya.

"Dan gue berakhir dengan basah kuyup karena diri gue sendiri," ujar Brama.

Brama tidak langsung menuruti ucapan Aina, melainkan membaca ulang pesan itu. Melihat semua perhatian itu membuat Brama kembali merasakan hadirnya sosok mama.

Emosi Brama terhadap Aina begitu ambigu. Brama marah kepada Aina yang menyiksa Indira, hingga membuat Indira sempat menjadi pelaku bully saat SD, dengan Brama korbannya. Tapi ada rasa ingin menolong pada diri Brama. Brama ingin menolong Aina dari rasa penyesalan itu. Andai Brama bisa melakukan hal yang sama pada Endro.

"Tante, dirimu memang jahat di masa itu. Tapi setidaknya kamu masih berbaik hati untuk merenungi kesalahanmu. Terima kasih karena sekarang sudah seperti mama untuk saya." Brama berujar sembari matanya tak lepas dari ponsel.

Brama meletakkan kembali ponselnya di nakas, beranjak dari tempat tidur, dan melangkah menuju kamar mandi. Brama berniat menuruti ucapan Aina. Namun, sebelum melangkah ke kamar mandi, Brama masih menyempatkan diri menatap foto Kalika di nakas itu.

"Mama, meskipun Tante Aina berhasil membuatku seolah seperti memiliki mama baru, tapi tetap saja dirimu yang tidak akan pernah tergantikan. Sampai kapan pun, Mama Kalika tetaplah pemenang di hati Anzah."

Dengan mata basah seusai mengucapkan kalimat tersebut, Brama kembali melanjutkan langkahnya. Namun, di beberapa langkah kakinya bergerak, terdengar suara petir yang bergemuruh.

Tubuh Brama terasa gemetar dengan kepanikan yang menyelimuti. Brama takut dengan petir ataupun suara keras. Bukan Brama yang pengecut sebagai lelaki, tapi itu adalah bentuk traumanya. Trauma yang tak diketahui semua orang selain Brama sendiri.

Suara keras mengingatkan Brama pada kerasnya pukulan yang Endro berikan kepada Kalika. Suara keras mengingatkan Brama pada kerasanya suara kemarahan. Suara keras mengingatkan Brama pada jeritan kesakitan Kalika.

Kaki Brama lemas hingga tubuhnya jatuh ke lantai. Tangan gemetaran itu Brama gunakan untuk memegangi dadanya yang sakit. Napasnya mulai tak beraturan akibat trauma yang terpicu. Trauma Brama bukan hanya perihal kehilangan, tapi juga perihal kekerasan.

Niat Brama untuk mandi terlupakan, berganti dengan niat bagaimana caranya agar bisa tenang.

Brama mengambil posisi duduk dengan tertatih-tatih, menggunakan sisa kekuatannya yang ada. Tangannya masih memegangi dada yang sakit. Mulut Brama bergerak seolah ingin menggumamkan sesuatu. "Tuhan ... tolong, aku tak sekuat ini."

Tangan yang digunakan untuk memegangi dada beralih digunakan untuk menutupi kedua telinganya. Mulut Brama kembali bergumam untuk bersuara, "Apa aku adalah salah satu manusia pilihan-Mu yang harus belajar kuat, Tuhan?"

Tuhan, ini sakit.















***
Cung, siapa yang mau peluk Brama?☝🏻

See you next chapter!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang