Seventeen: I Hate My dad (?)

22 7 15
                                    

Hai, cuman mau bilang enjoy this chapter.

-Happy Reading-

"Tante, I hate my dad."

Aina sudah tidak terkejut lagi dengan perkataan Brama. Aina sudah tau bahwa Brama memang membenci papanya sendiri, alasannya pun sudah Aina ketahui. Hanya saja Aina sedikit penasaran kenapa Brama kembali membahasnya? Apakah ada sesuatu yang terjadi?

"Ayo kita cari tempat yang lebih nyaman untuk bercerita."

Brama hanya menuruti saja ucapan Aina. Tak cukup tenaganya untuk menolak permintaan itu. Emosinya terkuras banyak setelah pertemuan dengan Endro tadi.

Brama dan Aina keluar dari area pemakaman. Tempat yang menjadi tujuan mereka adalah rumah Aina. Brama membawa motornya untuk sampai ke sana, dengan Aina yang sedang diboncengnya.

Begitu motor telah tiba di halaman rumah Aina, Brama memarkirkannya. Keduanya turun dari motor dan duduk di halaman depan rumah Aina pada sebuah kursi.

"Apa sesuatu terjadi saat di pemakaman?" tanya Aina dengan kekhawatirannya.

"Saya telah menemui papa saya. Saya mendengarkan penjelasannya, tetapi berujung dengan kemarahan yang saya berikan untuknya. Sebenarnya, dari awal saya sudah memulainya dengan emosi."

Aina merasakan napas Brama tak beraturan saat menjelaskannya. Emosi kesedihan Brama terkontaminasi dengan kemarahan.

"Tunggu sebentar, ya. Saya buatkan teh dulu, nanti lagi ceritanya."

Belum sempat Brama memberikan penolakan, Aina sudah lebih dulu masuk ke dalam. Brama menunggu hingga sampainya dia melihat Aina datang kembali dengan dua teh hangat di tangannya.

Brama meminum seteguk teh itu sebelum mulai melanjutkan kembali ceritanya. Diceritakannya pada Brama tentang kesedihannya yang masih berkuasa setelah kepergian Kalika. Brama menceritakan tentang dirinya yang masih menyalahkan Endro soal kepergian itu. Tak lupa pula Brama ceritakan tentang makian yang dia berikan kepada orang yang bergelar sebagai papanya, serta tentang Endro yang minta dihajar olehnya.

Aina mendengarkan tanpa sedikit pun memotong ucapan Brama. Aina mendengarkan tanpa berniat menghakimi. Bukanlah mudah menurut Aina untuk berada di posisi Brama. Bahkan, Aina bisa melihat Brama masih bernapas sampai detik ini merupakan pencapaian hebat di saat mentalnya sudah terkoyak di sana-sini.

Apresiasi tak selamanya perihal akademik. Apresiasi tak selamanya perihal piala ataupun sertifikat penghargaan. Tapi apresiasi juga perihal pencapaian hebat dalam hidup, dan pencapaian memiliki banyak sekali jenis. Mencapai melewati hari berat dengan mental babak-belur juga layak disebut apresiasi.

Mungkin kebanyakan orang masih beranggapan bertahan sampai sekarang adalah hal biasa yang sebenarnya sepele. Tapi hal yang dianggap sepele itu merupakan hal paling hebat yang dilakukan. Terutama untuk orang yang sudah tidak baik-baik saja secara mental, dan kerap kali memikirkan menyerah pada hidup, tapi berhasil menahan diri dan tetap bernapas itu adalah hal yang lebih luar biasa daripada piala. Apresiasi terhebat adalah untuk orang-orang yang seperti itu.

"Jadi apakah kamu memukul papamu saat dia memintanya?" Aina bertanya saat dirasa Brama sudah cukup tenang. Entah benar-benar tenang, atau hanya topeng kembali yang dipasang.

"Tidak. Saya tidak ingin mengotori tangan saya dengan menyentuh bajingan."

Aina tersenyum kecil saat mendengar perkataan Brama. Pikirannya kembali berotasi pada seseorang. Sembari memikirkan Aina berkata, "Kamu mengingatkan saya pada Indira."

Reflek Brama menoleh kepada Aina dengan tatapan terkejutnya. Tatapan terkejut Brama seolah menuntut Aina untuk menjelaskan lebih.

Aina yang mengerti akan maksud dari tatapan itu menceritakan sesuatu kepada Brama. Tentang Aina yang dulu pernah membaca buku diary Indira. Tentang Aina yang menemukan fakta bahwa almarhumah putrinya sering self-harm akibat ulahnya. Aina juga menceritakan tentang dirinya yang ingin membenturkan kepala ke tembok sebagai hukuman untuk dirinya sendiri, tapi terurungkan karena dia mendengar suara Indira yang mencegahnya. Entah itu sebatas halusinasi karena terlalu merindukan Indira atau tidak, yang jelas Aina merasakan kepedulian itu.

"Kamu mengingatkan saya pada putri yang sudah saya sakiti. Indira tidak pernah membalas setiap hal jahat yang sudah saya perbuat. Jangankan membalas memukul, bahkan membiarkan saya menyakiti diri sendiri pun dia tidak ingin. Sekali pun saya hanya sedang berhalusinasi, tapi saya masih merasakan kepedulian hebat itu."

Brama membuang pandangannya dari Aina. Bukan bermaksud tidak sopan, hanya saja Brama takut akan meluruhkan kembali tangisan yang dianggapnya menyebalkan untuk diketahui orang lain, meskipun Brama ragu apakah dirinya masih bisa menangis saat ini. Air matanya terasa habis.

"Beda, Tante. Indira tidak balas menyakiti karena memang masih sayang kepada Tante. Sedangkan saya hanya karena tidak sudi menyentuhnya." Brama membantah ucapan Aina.

"Benarkah karena enggan menyentuh, atau karena rasa sayang yang kamu sanggah karena amarah yang masih kamu miliki untuknya?" Aina menjejali Brama dengan pertanyaan yang membuat kepala Brama sedikit ribut di dalamnya.

Sebenarnya saat di pemakaman tadi, Brama sedikit merasakan hangat pada hatinya saat Endro masih menanyai kabarnya. Tapi Brama menepis perasaan itu karena masih belum berdamai dengan kepergian Kalika yang dianggapnya karena ulah Endro. Itulah yang menyebabkan makian Brama lontarkan.

Perihal pukulan yang tidak Brama berikan, sebenarnya karena perasaan Brama sedang bercampur aduk. Dulu Brama tidak pernah merasakan peran orang tua dari Endro karena sikap Endro terlalu dingin, dan bohong jika Brama tidak menginginkan peran itu. Di saat Brama tidak mendapatkan peran orang tua dari Endro, ada Kalika yang masih menunjukkannya. Brama begitu menyayangi Kalika, itu sebabnya hebat kemarahan Brama untuk Endro yang sudah kasar terhadap Kalika.

Saat Brama berniat mendengarkan penjelasan dari Endro sekaligus memakinya, Endro datang dengan menunjukkan kepedulian kecil terhadapnya. Ada rasa haru untuk Brama, tapi sialnya rasa itu bercampur dengan kebencian besar. Namun, kebencian besar itu tidak cukup untuk Brama jadikan alasan memukul Endro. Hati kecil Brama masih berkata, Jangan pukul. Dia masih papa yang peduli kepadamu.

"Kamu benar-benar membencinya atau masih menorehkan sedikit kasih sayang untuknya, Brama?" Aina kembali mempertanyai Brama.

"Selama ini saya sangat membencinya, tapi saya jauh lebih membenci diri saya sendiri yang tidak bisa memaafkannya. Ketika dia datang dengan menanyai keadaan saya, saya merasa tidak layak memukul orang yang akhirnya mulai menunjukkan kepedulian itu. Akhirnya saya melihat gelar papa itu dijalankannya meski hanya secuil."

Aina menepuk-nepuk pelan bahu Brama untuk memberikan sedikit ketenangan, sembari menunggu Brama yang tampak akan melanjutkan cerita.

"Tapi saya masih tidak bisa menghilangkan kekesalan dan benci akibat yang dia perbuat pada mama. Di saat dia tidak menunjukkan kasih sayang itu, saya masih memiliki mama dengan segudang kepeduliannya. Pada akhirnya yang mampu saya lakukan hanyalah memakinya tanpa memukulnya."

Hening melanda setelah Brama menjelaskan itu. Aina yang tidak dapat berkata selain menjadi pendengar yang baik, dan Brama yang sudah cukup dengan ceritanya.

Dalam keheningan, pikiran Brama kembali bising. Kini pikiran itu mempertanyakan sesuatu.

I hate my dad?

















***
Guys, gimana pendapat kalian tentang chapter ini?

See you next chapter!

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang