Nine: Belum

61 7 20
                                    

Annyeong!

Aku update lagi hari ini. Are you ready buat baca cerita ini, guys? Yang udah, yuk, dilanjut bacanya. Jangan lupa tekan tombol ☆.

...Happy Reading...

***

"Salahkah jika saya membenci papa saya sendiri?"

Aina terkejut dengan pertanyaan Brama. Bukannya Aina ingin menghakimi Brama, hanya saja Aina sedang bertanya-tanya ada apa dengan Brama dan papanya.

"Tante pasti kaget, kan," kata Brama yang mengerti akan keterkejutan Aina. "Actually, me too. Terkadang saya juga kaget sendiri dan bertanya-tanya mengapa saya bisa membenci papa saya sampai sebegitunya. Tapi saat saya mengingat masa lalu, saya menemukan jawabannya. Jawaban kenapa saya bisa membenci papa sendiri."

Detik berikutnya, Brama menceritakannya. Btama cerita tentang bagaimana dia sewaktu kecil dulu sering melihat mamanya mendapatkan kekerasan dari Endro—papanya Brama. Hingga sampai pada akhirnya Endro dipenjara setelah perilakunya dilaporkan kepada pihak berwajib. Brama juga menceritakan tentang mamanya yang masih menyimpan trauma akibat kekerasan itu. Hingga sampailah titik di mana Brama menceritakan mamanya yang depresi sampai mengonsumsi obat kadaluarsa dan berakhir kehilangan nyawa akibat sakit-sakitan karena hal itu. Di situlah Brama kembali meneteskan air mata.

Aina yang mendengarkan cerita Brama seolah ikut merasakan sakit yang Brama hadapi. Tanpa Aina sadari, air matanya juga ikut meneteskan sebuah cairan bening. Kedua tangan Aina beralih memeluk Brama, seolah ingin meringankan sakit yang Brama hadapi.

"Kamu anak kuat. Kamu anak hebat. Kamu pasti terluka dengan semua itu, tapi hebatnya kamu, kamu masih bernapas sampai detik ini. Kamu nggak nyerah. Saya tidak mengenal mama kamu, tetapi saya yakin jika mama kamu melihat anaknya masih kuat sampai detik ini, dia pasti sangat bangga," ujar Aina setelah melepaskan pelukannya dengan Brama.

Jujur saja, kata-kata semangat dari Aina masih tidak cukup untuk meringankan deritanya. Tetapi cukup untuk membuat hatinya sedikit merasa terhibur, dan juga ada rasa lega saat Brama membagi lukanya.

"Makasih, Tante."

"Ada satu hal lagi, Brama. Membenci papamu atau tidak itu adalah pilihan kamu. Saya tidak akan menghakimi kamu karena itu. Jika saya berada diposisimu, belum tentu saya juga akan dengan mudah tidak membencinya. Tapi mungkin ada masanya kamu menghadapi apa yang sedang kamu hindari. Hadapi papamu, dan dengarkan dia sejenak. Mungkin ada sesuatu yang ingin dia katakan."

Brama diam. Kali ini dia tidak menjawab perkataan Aina. Pikirannya hanya sedang berputar-putar tanpa mempertimbangkan perkataan Aina.

"Jika sudah berhasil untuk menghadapi hal yang sedang kamu hindari. Ada masa di mana menerima hal yang paling sulit lebih baik daripada membenci. Karena bisa saja, membenci itu hanyalah sebuah pelarian."

"Saya ... masih belum siap bertemu dengan papa." Akhirnya Brama bersuara.

"It's okay. Just take your time."

Brama hanya membalasnya dengan tersenyum. Dia merasa bersyukur karena telah bercerita. Namun, senyuman itu menjadi berbeda maksud saat dia mengingat ada satu hal yang belum dia ceritakan kepada Aina.

Satu hal yang belum diceritakan adalah tentang bagaimana saya gagal menemui mama saya di hari terakhir. Itu karena Indira mengunci saya di kamar mandi dulu. Saya tidak menyalahkan Indira, karena perlakuan Indira pada saat itu adalah pelampiasan akibat luka dari orang tuanya, batin Brama sambil memasang senyum penuh maksud dengan menatap Aina.

***

Aina baru saja tiba di rumahnya. Tadi Brama sudah mengantarkannya pulang dengan selamat.

Hal pertama yang Aina lihat saat membuka pintu rumah adalah Fatur yang masih terduduk di ruang tamu. Fatur duduk sambil menatap kosong ke arah surat cerai yang sempat Aina berikan sebelum dia pergi.

"Mas."

Panggilan dari Aina langsung membuat Fatur menoleh ke arahnya. Dengan segera Fatur langsung menuju ke arah Aina, dan berdiri di hadapannya. Fatur sedikit terkejut saat melihat beberapa lecet pada tangan Aina.

"Kamu kenapa?" tanya Fatur dengan khawatir.

"Kecelakaan dikit. Tapi nggak apa-apa, pelakunya udah tanggung jawab. Aku juga udah dirawat. Lagipula cuma luka-luka kecil," jawab Aina yang sejujurnya.

Jawaban dari Aina berhasil membuat Fatur merasa tenang. Fatur tenang karena setidaknya luka yang Aina alami bukanlah sebuah luka yang parah.

"Omong-Omong, kamu belum tanda tangani surat cerainya, Mas?"

Fatur hanya menundukkan kepalanya sambil berkata, "belum. Kita jangan gini, ya."

"Tapi-"

"Seminggu," kata Fatur cepat berusaha memotong ucapan Aina. "Tolong kasih waktu seminggu agar kamu bisa pikirin ini baik-baik lagi. Kalau dalam seminggu kamu masih belum berubah pikiran, baru aku tanda tangani surat cerai ini."

Aina mulai ragu untuk menyetujui ucapan Fatur. Tapi setelah dia berpikir kembali, mungkin memang hal ini masih membutuhkan pertimbangan. Pada akhirnya, dia menganggukan kepala untuk mengiyakan ucapan Fatur. Menunggu waktu seminggu lagi untuk mempertimbangkan baik-baik kembali tentang keputusan yang telah dia pilih ini.

Ada rasa lega pada diri Fatur saat Aina mau mengiyakan permintaannya. Fatur benar-benar berharap bahwa Aina akan membatalkan perceraian ini.

Semoga saja. Fatur membatin.

***

Brama tiba di rumahnya setelah dia mengantarkan Aina pulang.

Saat tiba di rumah, Brama benar-benar bersyukur karena tidak menemukan kehadiran sang papa lagi. Jika saja tadi Brama masih bertemu dengan papanya, maka Brama bersumpah bahwa dia akan kembali menghindarinya untuk saat ini. Sejujurnya Brama masih belum siap jika harus bertemu kembali dengan Endro yang merupakan papanya sendiri.

Brama membuka gerbang rumahnya yang sengaja tidak dia kunci. Dia masuk, dan langsung memakirkan motornya. Saat Brama turun dari motor dan hendak masuk ke dalam rumah, Brama menemukan sebuah surat. Tangan Brama yang hendak mengeluarkan kunci rumah beralih menjadi mengambil surat yang tergeletak itu.

Perlahan, Brama mulai membaca isi dari surat tersebut.

Hai, Anzah. Maaf tadi Papa datang nggak bilang-bilang. Papa cuma mau bilang seuatu sama kamu, tapi kamu malah menghindar. Papa tidak akan marah karena hal itu, karena Papa mengerti kamu pasti masih membenci Papa.

Anzah, maafin Papa atas semua yang telah terjadi di masa lalu. Papa benar-benar menyesali hal itu. Atas perlakuan buruk Papa terhadap mama kamu. Papa tau kamu pasti tidak akan dengan mudah memaafkan Papa. Tetapi izinkan Papa menjelaskan senuanya secara langsung dengan kamu. Izinkan Papa bertemu dengan kamu. Tidak harus sekarang jika kamu belum mau. Tetapi kabari Papa jika kamu sudah siap  untuk bertemu.

Ini nomor telepon Papa; 0856********
Tolong kabari ke nomor ini jika sudah siap.

Brama hanya berdecih saat membaca surat dari papanya itu. Ada rasa muak saat dia membacanya.

"Maaf katanya? Dan semudah itu dia ingin bertemu? Nggak sudi!"

Brama hendak membuang surat itu karena dia tidak mau bertemu dengan Endro. Tapi dia urungkan saat dia mengingat perkataan dari Aina.

"Tapi mungkin ada masanya kamu menghadapi apa yang sedang kamu hindari. Hadapi papamu, dan dengarkan dia sejenak."












***
See you next part!







Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang