Three: Toko Bunga

123 12 21
                                    

-Happy Reading-
.
.
.

"Jika ini hanyalah sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan aku. Aku ingin terus terlelap bersama mimpi yang indah ini."

-Fatur Purnama-

"Ayah."

Sebuah suara seorang gadis berhasil membuat Fatur terkejut. Itu adalah suara orang yang sangat dirindukannya. Suara putri kesayangannya.

"Ayah."

Di sebuah ruangan yang gelap tanpa ada cahaya sedikit pun, suara itu terdengar sangat menggema.

"Indira, apa itu kamu, Nak?" tanya Fatur.

Tidak ada balasan dari pertanyaan Fatur. Suara manis yang sempat Fatur dengar tadi seolah-olah itu sudah sirna dengan begitu cepat.

Fatur gelisah. Fatur masih ingin mendengar suara itu lagi. Suara yang terus memanggilnya dengan sebutan ayah. Fatur masih mau mendengarnya.

"Dira, jika kamu masih ada di sini, tolong kembali bersuara, Nak. Ayah mau dengar suara Dira ..." lirih Fatur. Sungguh Fatur sangat ingin suara itu kembali.

Tidak ada tanda-tanda akan kembalinya muncul suara itu. Hal itu sangat membuat Fatur frustrasi. Baru tadi dia mendengar suara anaknya, sekarang suara itu lenyap dan tidak kembali. Jika sudah seperti ini, boleh kah Fatur berharap kematian menjemputnya agar bisa menemui putri tercinta?

Hati terasa nestapa. Bagai ada Rinai yang menyelimuti kalbu. Ruang gelap tanpa cahaya membuat lara semakin nyata.

"Apa aku harus mati agar bisa bertemu denganmu, Dira ..." Fatur semakin berucap hal yang tidak karuan.

Di saat frustrasi semakin membuncah hati, seseorang yang dirindukan itu muncul tepat di hadapan Fatur. Wajahnya yang ayu semakin dibuat ayu dengan sinar pada wajah itu. Senyumnya menghias menambah kesan anggun pada rupanya. "Ayah, ini Dira."

Ayah ini Dira. Itu adalah suara yang ingin Fatur dengar sejak tadi. Nestapa yang sempat dirasakan hatinya pergi saat mendengarnya. Ditambah lagi sekarang Fatur dapat melihat sosok itu.

Jika ini adalah sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan aku. Aku ingin terus terlelap bersama mimpi yang indah ini, batin Fatur.

Fatur menatap senang ke arah putrinya. Fatur jelas sadar betul bahwa apa yang dia lihat hanyalah sebuah ilusi, karena sangat mustahil bahwa seseorang yang sudah tiada akan bangkit kembali ke dunia. Meskipun demikian, Fatur tetap merasa senang karena ilusi itu.

"Dira, Ayah rindu ...."

Sosok itu semakin tersenyum merekah ke arah Fatur. Dia tidak tau saja bahwa itu adalah senyum yang amat dirindukan orang tuanya.

"Dira, maafkan Ayah, Nak. Maaf karena semasa Indira hidup Ayah selalu menyakiti Dira. Maaf ...."

"Tidak selalu, Kok. Di malam terakhir sebelum Dira pergi, Ayah dan Bunda sempat memberikan perhatian yang hangat untuk Dira." Ilusi yang berwujud Indira itu menjeda sebentar kalimatnya. "Pada malam terakhir itu kita sempat makan malam bersama dengan hangat, dan Dira menyukainya. Dira suka saat Ayah dan Bunda tersenyum untuk Dira. Dira juga suka saat Ayah dan Bunda menyuruh Dira makan yang banyak. Sesederhana itu, tapi Dira suka. Meskipun Dira hanya dapat merasakannya sekali selama seumur hidup karena Dira sudah pergi di keesokan harinya."

Mata Fatur berkaca-kaca dibuatnya. Setelah banyak perbuatan kasar yang telah dia lakukan, Indira masih saja mengingat satu kebaikan yang dia perbuat. Padahal satu kebaikan itu hanyalah sebuah hal yang sangat sederhana, tetapi Indira menyukainya dengan begitu besar.

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang