Seven: Terkuak

66 9 12
                                    

Annyeong!

Welcome back to this story. I hope you like this guys. And please support me dengan tombol bintang di kiri bawah;)

Jangan lupa comment jika berkenan♡

...Happy Reading...

***

Wanita paruh baya sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Setelah mendapatkan beberapa pengobatan kecil dari kecelakaan tadi, dirinya diperbolehkan pulang karena lukanya tidak parah. Dan selama pengobatan kecil itu berlangsung, pelaku yang menyebabkan kecelakaan itu menemaninya di rumah sakit—hanya sebagai bentuk dari rasa tanggung jawabnya karena sudah menabrak.

"Maaf, Tante. Saya nggak sengaja, tadi saya terlalu buru-buru dan ngebut." Begitulah yang dikatakan si pelaku.

Aina hanya tersenyum ramah sambil menatap ke arah si pelaku itu. "Iya, nggak apa-apa. Salah saya juga tadi ngelamun waktu di jalan."

"Saya antar pulang, ya, Tante. Janji deh nggak bakal ngebut."

Aina hanya tersenyum ramah sambil menggangguk untuk mengiyakan ucapan Brama. Ya, Brama-lah si pelakunya.

Brama menuntun Aina berjalan meningalkan ruangan tempat di mana tadi Aina dirawat—atas izin dari dokter tentunya.

Saat di perjalanan mereka berhenti sebentar di salah satu kursi ruang tunggu—lebih tepatnya Aina yang berhenti atas suruhan Brama.

"Tante tunggu di sini dulu, ya. Saya mau ambil obat untuk luka Tante dari dokter."

Brama tidak menunggu jawaban dari Aina, dia langsung berjalan meninggalkan Aina di kursi tunggu itu. Aina hanya tersenyum hangat ke arah Brama sambil menatap punggung remaja yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya.

He's a good boy. Begitulah yang Aina katakan dalam hatinya.

Seketika pikiran Aina berputar mengingat sang buah hati yang telah berada begitu jauh. Begitu jauh hingga tidak dapat ditemukan di muka bumi ini. Keberadaannya yang sangat jauh dari alam yang berbeda. Pikirannya tertuju kepada sosok Indira Farisha Purnama.

Indira Farisha Purnama, seorang putri semata wayang yang baik. Gadis baik yang kini kembali muncul di memori Aina. Gadis baik yang dulunya sering mendapat siksaan. Gadis yang telah tiada dan menimbulkan kerinduan sekaligus rasa sesal pada diri Aina. Pikiran Aina tidak bisa lepas dari itu. Dan mungkinkah tidak akan pernah?

Aina terus berperang dengan pikirannya, sampai banyaknya suara dari mulut orang-orang membuat pikirannya menjadi teralih ke arah orang-orang yang tampak sedang membicarakannya.

"Itu istrinya Fatur Purnama, kan? Fatur yang katanya kasar sama almarhumah putrinya itu?"

"Sumpah, ya. Nggak nyangka banget ada orang tua yang sejahat itu."

"Anaknya tertekan pasti punya orang tua kayak gitu."

Apa itu? Bagaimana orang-orang itu bisa mengetahuinya? Bagaimana bisa? Itulah yang menjadi tanda tanya Aina sekarang.

Apa yang diucapkan oleh orang-orang itu memang tidak terdengar secara keras, tetapi tetap akan menjadi kebohongan jika Aina mengatakan bahwa dia tidak mendengarnya. Meski tidak diucakpan dengan keras, tetapi suara itu masih masuk ke dalam indera pendengaran Aina. Membuat Aina bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di sini.

Tepukan pelan mendarat di bahu Aina, membuatnya sedikit kaget dan langsung menoleh ke orang yang tadi menepuk bahunya itu. Dan orang itu adalah Brama yang kini sudah memegang kantong plastik berisikan obat-obatan untuk Aina.

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang