Sixteen: I Hate My Dad

28 10 30
                                    

WARNING: MENTAL TOKOH-TOKOH SEDANG SAYA GUNCANG DI SINI!

-Happy Reading-

Me
| Ayo bertemu. Saya butuh penjelasan sekarang.

Bajingan
| Kamu di mana, Nak? Di rumah?

Me
| Di dekat makam orang yang sudah Anda bunuh.

Brama terus menatap layar ponselnya. Percakapannya dengan orang yang dia sebut bajingan sudah terjadi sekitar setengah jam lalu, tapi Brama tak kunjung juga menemui kemunculannya di makam. Apakah niat untuk bertemu itu sudah diurungkan untuk Brama?

Hampir saja Brama memilih untuk pulang ke rumah saja, sampai tiba-tiba dia melihat siluet seseorang yang seolah menuju ke arahnya. Sorot mata Brama menajam saat siluet itu semakin jelas milik siapa.

Bajingan itu telah tiba.

Endro—sosok papa untuk Brama yang nahasnya Brama anggap sebagai bajingan—sudah tiba di hadapan putra semata wayangnya. Matanya menghangat saat melihat anak kandungnya dalam fisik yang sehat. Sungguh Endro sangat merindukan Brama.

"Apa kabar, Nak?"

"Saya tidak butuh basa-basi ini, karena yang saya butuhkan adalah penjelasan dari Anda." Brama berkata dingin kepada orang yang seharusnya dia hormati.

"Setidaknya izinkan Papa mengetahui kabarmu dulu, Nak."

"Papa? Siapa yang Anda maksud Papa? Anda? Maaf, Tuan, tapi gelar Papa terlalu besar untuk seseorang yang bahkan tidak menjalankan gelar itu dengan baik. Seorang Papa bukan profesi, tapi memiliki gelar yang luar biasa, sayangnya Anda tidak pernah becus menjalankan gelar itu!"

Endro menunduk dalam kepalanya, tanpa sepengetahuan Brama, mata itu sedang berkaca-kaca. Endro selalu mengenal Brama sebagai anak kecil yang baik, tapi sekarang anak kecil yang beranjak remaja itu berujar sarkas pada dirinya. Namun, di mata Endro Brama masih putranya yang baik. Perkataan sarkas itu Brama lakukan karena kecintaannya terhadap mendiang Kalika, yang raganya sudah berpulang. Kesedihan yang tersirat pada mata Endro bukan karena kekecewaannya dengan sikap Brama, melainkan karena marahnya dia terhadap dirinya sendiri.

"Iya, saya akui saya tak layak dianggap Papa. Tapi darahku mengalir denganmu, Nak. Kamu adalah darah dagingku, putra kandungku. Perizinkanlah saya mengetahui kabarmu sekali ini saja." Ada lirihan kesedihan dalam ucapan Endro.

"Secara fisik, saya baik, Tuan." Pada akhirnya Brama mengalah untuk memberikan penjelasan, meskipun nada ucapan Brama masih terdengar dingin.

Tapi tidak secara mental.

"Syukurlah. Hanya itu yang saya butuhkan."

Brama memunggungi Endro, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku. Mulut Brama tampak bergerak untuk menyampaikan sebuah kalimat.

"Berikan penjelasan itu."

Mendengar perkataan Brama yang semakin dingin, membuat Endro menarik panjang napasnya.

"Pekerjaan saya di kantor sedang tidak baik-baik saja dulu. Pekerjaan saya yang sedang tidak baik-baik saja membuat saya stress dan melampiaskannya dengan minum alkohol. Kantor yang sedang kacau, ditambah lagi efek mabuk dari alkohol, membuat saya mudah tersulut emosi. Semakin saya emosi, semakin saya melampiaskannya pada Kalika."

Penjelasan dari Endro reflek membuat Brama kembali berbalik badan dan langsung memaki Endro.

"Sialan! Mama saya enggak salah apa-apa, Bangsat!" Brama berteriak tepat di wajah Endro. Penjelasan Endro benar-benar menyayat hatinya. Sialan sekali Endro di mata Brama.

"Saya tau. Itu memang murni kesalahan saya." Tak ada bantahan sedikit pun dari Endro terkait makian yang Brama berikan.

"Jadi ini alasan Anda ingin bertemu dan menjelaskan semuanya kepada saya? Supaya saya bisa melihat seberapa tololnya Anda dalam bersikap!"

"Saya ingin menjelaskan ini karena saya merasa harus. Saya sudah sangat siap jika kamu memaki bahkan membenci saya. Tapi satu yang harus kamu tau, saya menyayangi kamu selayaknya anak, dari dulu sampai sekarang. Itu sebabnya saya tidak pernah menyakiti kamu secara fisik."

"Semakin Anda bicara, semakin Anda keliatan tolol, Kaparat! Jika Anda menyayangi saya, maka tidak seharusnya Anda menyakiti mama saya! Saya menyayangi mama, tapi orang yang saya sayang pergi selamanya akibat overdose obat tidur. Itu semua karena dia depresi akibat kekerasan yang Anda berikan!"

Hening tercipta setelah makian yang keluar dari Brama. Tak ada perbincangan yang terdengar, selain sedikit isakan tangis dari anak dan juga orang tua itu. Rasa bersalah menyerbu Endro, sedangkan kesengsaraan menggerogoti Brama. Tidak ada titik kebahagiaan dalam situasi penuh emosional ini.

"Saya baik-baik saja secara fisik, Tuan. Tapi taukah Anda, mental saya terluka semenjak kecil! Hati saya sakit saat saya pernah tidak sengaja menjadi saksi perilaku kekerasan Anda terhadap mama saya. Belum sempat saya berpulih, mental saya kembali dirusak dengan kepergian mama. Saya terluka semenjak kecil itu semua karena Anda." Brama kembali menyalahkan Endro, membuat cairan bening itu semakin keluar dari lawan bicaranya.

Mata Endro tak dapat menyembunyikan tangis, tapi mulutnya tertutup rapat. Tangisan tanpa suara itu benar-benar nyata. Hal yang sama juga berlangsung pada Brama.

"Pukul saya. Hajar saya. Ayo lukai fisik saya dengan sungguh. Lampiaskan emosimu kepada saya, Anzah! Maafkan saya yang membuat mentalmu luka, dan maafkan saya yang membuat Kalika pergi, meski saya tau, saya lebih layak dibenci daripada dimaafkan. Maka ayo pukul saya." Secara tak sadar Endro sedikit histeris sambil tetap meluruhkan tangisannya.

Brama tidak memukul Endro, melainkan mendekati makam mamanya. Brama berjongkok sembari memeluk nisan itu. Tangisan Brama semakin pecah hingga ucapannya terdengar bergetar.

"Mama, maafin Anzah gagal jadi anak baik. Anzah gagal hormat sama orang yang lebih tua, termasuk bajingan yang katanya papanya Anzah. Anzah benci dia. Dia kurang ajar sama Mama. Mental kita udah dirusaknya, Ma. Ma, I hate my dad."

Bagaikan kesamaan perilaku, Brama juga secara tidak sadar sedikit histeris saat mengucapkan Kalimat panjang sambil memeluk nisan mamanya itu. Tindakan Brama membuat lubang penyesalan semakin besar untuk Endro.

Tangan Endro mengepal. Endro marah pada dirinya sendiri. Anak kandungnya terluka karena perbuatannya. Penyesalan Endro sekarang sudah tak ada guna karena mental Brama terlanjur luka. Merasa tersiksa kembali akibat penyesalan itu, Endro memutuskan meninggalkan area pemakaman.

Maaf, saya orang tua yang tidak layak disebut orang tua.

Kepergian Endro tak Brama sadari, karena Brama masih sibuk memeluk nisan Kalika. Cukup lama Brama berada di posisi itu, sampai-sampai sudah ada seseorang yang memeluk tubuhnya dari belakang.

"Brama anak kuat."

Brama melepaskan perlahan pelukan itu, dan berbalik untuk menatap suara lembut yang menyapu pendengarannya. Brama jelas mengenali suara milik siapa itu.

"Tante Aina ngapain di sini?" tanya Brama sambil mengelap kasar air matanya.

"Mau mengunjungi putri saya. Saya baru saja selesai mengunjunginya, jadi saya memutuskan untuk pulang. Eh, ternyata saya tidak sengaja melihat kamu di sini sedang menangis," ujar Aina sambil menahan kedua tangan yang tadi Brama gunakan untuk menghapus air mata.

"Kalau belum puas nangisnya, lepasin dulu aja. Ada masanya kita enggak harus selalu kuat. Setiap orang ada masa rapuhnya." Aina kembali berujar lembut.

Brama jatuh secara emosional. Brama yang selalu menggunakan topeng untuk menutupi wajahnya, pada akhirnya menemui masa jatuhnya topeng itu juga. Badut tengil itu bukan lagi badut untuk saat ini.

"Boleh saya memeluk Tante untuk mengobati rindu saya kepada mama saya yang sudah berpulang?"

Aina menjawab dengan anggukan kepala.

Brama yang sudah tak dapat menahan diri langsung memeluk Aina dan menumpahkan tangisannya. Kerinduan dan kekesalan berperang hebat pada diri Brama. Rindu terhadap almarhumah Kalika, serta kesal terhadap Endro.

"Tante, I hate my dad."

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang