Two : Larut Malam

133 15 19
                                    

Yoo, welcome back to this story^^

Tarik napas sebelum membaca, ya. Dan jangan lupa dikeluarin lagi^^

Happy Reading!

00.30, jam yang tertera pada arloji Fatur. Pada jam itu Fatur masih berada pada sebuah jalanan sepi di malam hari. Tujuannya hanyalah satu. Pergi ke suatu tempat.

Dengan sebuah kendaraan mobil alphard berwarna putih, dia membelah jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya tampak lelah, rasanya ingin beristirahat di rumah. Namun, dia ingin ke tempat itu terlebih dahulu. Tempat pemakaman umum, tempat tujuan Fatur.

Saat sudah hampir tiba dengan tempat pemakaman, Fatur memakirkan mobilnya sebelum dia masuk ke dalam sana. Lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Hanya satu hal yang ingin dilakukannya, berziarah ke makam Indira.

"Halo, anak gadis kesayangan, Ayah," ujar Fatur lemah saat dia baru tiba di makam itu. Matanya mulai berair, selalu saja begitu saat dia tiba di sana. Selalu sulit untuk menahan keinginan agar tidak menangis.

Bibir Fatur bergetar. Mata berair itu mulai meneteskan cairan. Tangan dingin itu pun ikut bergetar saat mengusap batu nisan yang terdapat nama, Indira Farisha Purnama. Ada begitu banyak kesedihan yang sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kesedihan yang hanya bisa digambarkan dengan mata.

"Anak Ayah apa kabar? Anak Ayah pasti udah nggak sakit lagi, kan?" Fatur terus melontarkan pertanyaan meskipun dia tau bahwa semua pertanyaannya tidak akan ada yang menjawab.

Semakin deras air mata Fatur. Dia semakin tidak kuat untuk berada di sana. Tujuan awalnya datang berkunjung ke makam Indira adalah untuk mengobati rasa rindu. Tapi nyatanya rindu itu semakin terbuka dengan lebarnya. Rindu, seperti sebuah lubang besar yang tidak akan pernah bisa tertutup layaknya sebuah jurang.

Fatur ingin pergi dari tempat pemakan itu. Tapi sebelum itu, dia memberikan doa terlebih dahulu untuk almarhum anak tercinta. "Semoga tenang di alam sana, Dira. Maaf Ayah bukan Ayah yang baik. Dan maaf Ayah belum bisa mengikhlaskan kepergian Dira."

Kaki itu kini mulai melangkah meninggalkan tempat pemakaman dengan segala rasa sedih yang bercampur bersamaan dengan rasa penyesalan.

***

Aina terbangun dan mendapati dirinya masih berada di kamar yang dulunya milik Indira. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Benar-benar sakit.

"Aww!" Aina meringis sanking kesakitannya dia.

Detik berikutnya, pandangan Aina tidak sengaja tertuju pada bungkus obat tidur yang sudah terbuka banyak. Bungkus obat yang menjelaskan rasa sakit yang Aina rasakan sekarang ini.

"Sekarang aku mengerti kenapa saat ini kepalaku rasanya benar-benar sakit."

Overdose obat tidur, itulah yang membuat Aina kesakitan. Sekarang Aina mulai bertanya-tanya dalam pikirannya, apakah anakku selalu melakukan ini setiap kali dia merasa tertekan? Apakah anakku selalu kesakitan seperti ini setiap kali melakukannya?

Pikiran-pikiran itu mulai menghantui Aina. Pikiran yang tertuju pada orang yang raganya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Pikiran yang membuatnya semamin frustasi dengan keadaan yang sedang dia rasakan.

"Aaargh!" Aina semakin menjerit. Kali ini bukan karena rasa sakit di kepalanya, melainkan karena rasa sakit saat memikirkan Indira.

Aina terlalu larut dengan pikiran dan rasa sakitnya, sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa ada orang yang sudah memasuki rumahnya. Orang yang saat ini sedang berjalan menuju ke arahnya.

"Aina, ada apa?!" tanya Fatur dengan panik saat dia mendapati Aina sedang berteriak seperti itu. Ya, Fatur adalah orang yang tadi baru saja masuk.

Saat Fatur masuk ke dalam rumah tadi, pintunya terkunci. Untungnya Fatur membawa kunci cadangan yang dipersiapkan untuk berjaga-jaga seperti ini. Hal itu sengaja dia lakukan agar tidak perlu membangunkan Aina saat dia pulang larut malam. Saat baru masuk, Fatur lalu berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat. Tapi satu hal yang membuat Fatur merasa aneh saat dia tiba di kamar adalah dia tidak menemukan keberadaan Aina. Dan begitu Fatur mencari di kamar Indira, dia malah menemukan Aina sedang kacau keadaannya.

"Aina, ada apa?" tanya Fatur lebih lembut kali ini.

Aina tidak kunjung memberikan jawaban. Hal itu jelas membuat Fatur semakin mengerti bahwa Aina benar-benar kacau sekarang. Lebih kacau dari biasanya.

Fatur yang tidak tega melihat Aina seperti itu langsung berjalan untuk mendekatinya, dan memberikan Aina sebuah pelukan dengan harapan itu dapat memberikan ketenangan meskipun mungkin itu hanya sedikit.

"Ada apa, hm?"

"Indira ..." lirih Aina saat dia baru saja sedikit merasa lebih tenang di dalam dekapan sang suami.

"Tidak apa-apa, Aina. Dia sudah tenang di alam sana. Di sana dia sudah tidak menderita kanker lagi atau pun penyakit yang lainnya. Dia sudah baik-baik saja. Kita harus bisa mengikhlaskan dirinya." Fatur berusaha menenangkan Aina, meskipun yang sebenarnya dalam hatinya, dia juga merasa sangat kacau.

"Tapi aku tidak bisa mengikhlaskan dirinya, Mas. Aku tidak bisa ..."

"Bukan tidak bisa, tetapi hanya belum bisa saja. Tidak apa-apa, aku juga masih belum bisa melakukannya. Kita masih sama-sama berusaha, Aina. Kita berusaha bareng, ya?"

Aina hanya mengangguk lemah sebagai sebuah jawaban.

Malam yang dipenuhi kekacauan ini menjadi sedikit tenang, meskipun itu hanya sementara karena masih ada hari berat yang selanjutnya.

"Malam ini aku ingin tidur di sini. Di kamar Indira," kata Aina.

"Iya. Aku akan temani kamu," ujar Fatur yang terdengar sangat tulus. Rasanya sudah sangat lama mereka tidak seperti ini.

Larut malam pada hari ini adalah waktu yang penuh kekacauan seperti waktu-waktu sebelumnya. Waktu-waktu semenjak kepergian gadis itu. Gadis yang selalu terluka, kini kepergiannya meninggalkan penyesalan yang mendalam bagi orang yang melukainya. Pada detik ini mereka mungkin sudah bisa sedikit tenang, tetapi bagaimana pada hari selanjutnya?

Membuat seseorang terluka itu sangatlah mudah. Namun untuk memperbaiki itu bukanlah hal yang gampang. Kala kepergian telah datang sebelum semuanya diperbaiki, maka penyesalan akan tiba. Maka berhati-hati lah dalam bertindak, sebelum luka yang diberikan itu berbalik terhadap diri sendiri.

"Hah ..." Fatur menghela panjang napasnya. Banyak pikiran yang memenuhi ruang kepalanya.

"Ada apa?" kini giliran Aina yang bertanya.

"Hanya lelah, itu saja." Ini tidak sepenuhnya bohong karena Fatur memang sedang lelah. Lelah hati dan juga lelah pikiran.

"Istirahat. Tidur biar nggak lelah."

"Oke."

Fatur membaringkan tubuhnya, tetapi dia tidak benar-benar tidur. Diam-diam dia berbaring ke arah yang berlawanan dengan Aina. Fatur membuka ponselnya dan melihat sebuah foto. Itu adalah foto saat Indira masih bayi. Foto yang membuat Fatur semakin merindukan sosok itu.

Saat sedang melihat Foto, tiba-tiba ponselnya ditarik. Fatur langsung menoleh, dan ternyata itu adalah perlakuan dari istrinya.

"Tidur dulu, Mas. Merindukan seseorang juga butuh istirahat. Berharap saja dia akan muncul di mimpi kita."

Sederet Penyesalan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang