"Dewa?!"
"Den Dewa?!"
Dewa terkejut melihat sosok wanita yang muncul di balik pintu mobil itu, dan sama terkejutnya saat mendengar suara satpam yang membuka pagar. Bolak-balik dia melihat dua wajah itu, sangat heran.
"Mami? Pak Minto?"
Langkah lari Maminya mendekat ke arahnya refleks membuat Dewa mundur. Saking masih terkejutnya.
"Dewa...." Maminya berhenti dalam jarak satu meter, menatap dengan mata berkaca-kaca. "Mami kangen kamu," lanjut wanita itu sambil memberanikan diri menyentuh tangan Dewa.
Kalimat yang diucap dengan terbata-bata itu bagai mengirimkan aliran listrik sampai ke hati Dewa. Tatapan, suara, sentuhan dan kalimat yang Maminya lontarkan membuat Dewa terenyuh. Kedua matanya langsung dialihkan pada objek lain selain mata Maminya. Di dalam dadanya ada getaran yang ikut disambarkan dari tangan Maminya.
Entah kalimat itu fakta atau hanya bualan.
"Mami kangen sama kamu, Dewa."
Maminya kembali mengucapkan kalimat itu, kini jauh lebih lancar dan lirih. Dan yang lebih membuat Dewa terkejut lagi, saat tubuh Maminya sedikit terangkat dan mengunci tubuh Dewa dengan pelukan ringkihnya. Menangis diam-diam di balik punggung Dewa. Mengirimkan desiran ngilu lagi ke dalam hati Dewa.
Yang bisa dilakukan Dewa hanyalah memejamkan matanya, menahan tangis. Merapatkan rahangnya, menahan isak.
Seburuk apapun Maminya dulu, sebenci apapun Dewa padanya, tetap saja kerinduan yang dirasakan Maminya turut pula dirasakan oleh Dewa.
Tidak munafik. Dia tetap ibunya.
Sesering apapun Dewa berucap bahwa hidupnya akan baik-baik saja tanpa orangtua, tetap saja selalu ada secuil rindu yang terselip di hatinya untuk mereka. Sepuluh tahun berpisah dengan orangtua dan berlagak bahwa semua baik-baik saja, tetap saja selalu ada bayangan wajah mereka di tiap malam-malamnya.
Tetapi bukan berarti Dewa bisa melupakan semua kelakuan orangtuanya dulu. Dewa mungkin memang telah memaafkan, tapi tidak bisa melupakan.
"Kamu sehat-sehat aja, kan?" tanya Maminya lagi.
"Seperti yang Mami lihat," jawab Dewa dingin.
"Kamu kapan pulang dari Jerman? Sendirian?"
"But wait, wait, sebelum ngomong panjang lebar, ini rumah gak jadi dijual??!" tanya Dewa kemudian, berusaha menjauhkan tubuh dari pelukan Maminya.
"Kasih waktu buat Mami peluk kamu dulu, Wa," jawab Maminya.
"Jawab dulu! Jelasin, maksudnya ini apa? Pak Minto juga kenapa bisa masih ada di sini?"
"Den Dewa, masuk dulu, yuk, Den," kata satpam rumah Dewa yang semakin tua.
"Gak! Jelasin dulu!"
Maminya menghela napas, menghapus bulir bening dari pelupuk, menjauhkan tubuhnya dari Dewa lagi. "Ya. Iya!" ujar Maminya kemudian. "Rumah ini memang dijual sebagai harta gana-gini, tapi Mami beli lagi."
"Ngapain segala dijual kalo mau dibeli lagi? Ngapain dulu repot-repot beresin barang-barang segala?"
"Karna Mami berubah pikiran. Mami inget kamu, Mami mikirin kamu yang pasti suatu saat akan kembali lagi ke Indonesia, dan Mami pengin kamu masih punya rumah yang bisa dituju; di sini, rumah kita. Dan ternyata Mami bener, kan? Kamu pasti kembali ke sini."
"Aku kembali bukan buat ke rumah ini."
"Fine, terserah, tapi kamu bakal stay di sini lagi, kan? Tinggal sama Mami aja, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]
RomanceKetika kisah mereka telah menjadi masa lalu bagi orang lain, tapi baginya hanya seperti kemarin. Banyak hal berubah, tapi ia masih tetap di perasaan yang sama. Kedatangannya kembali ingin mengulang kisah yang dulu ia tinggalkan. Mengejar lagi seseor...