Goodbye Memory Ke-12!

386 78 80
                                    

Dokter yang semula hanya memantau amukan Dewa, kini langsung memblokir jalan Dewa. Omahnya pun menahan tangan Dewa erat-erat. Sambil menangis, nenek tua itu memohon pada Dewa agar tidak pergi.

"Omah minta maaf... jangan pergi sekarang, ya, Dewa," lirih Omahnya.

Dewa mencoba melepas tangan Omahnya, "Jangan halangin aku lagi!" ulangnya lebih tegas.

"Dewa... Omah selalu mengupayakan segala yang terbaik buat kamu."

"Terbaik? Terbaik menurut siapa?" sinis Dewa.

"Terbaik buat kamu. Tujuan Omah bawa kamu ke sini supaya kamu bisa ngelanjutin masa depan kamu yang seharusnya sempurna. Omah justru membantu kamu pergi dari kesakitan yang kamu dapet dari Mami Papi kamu. Omah cuma mau yang terbaik buat kamu, Nak."

Dewa belum menoleh. Deru nafasnya yang berantakan kini mulai diatur perlahan. Dia mencoba menelan baik-baik apa yang selanjutnya disampaikan Omahnya.

"Coba kamu bayangin, siapa yang mau peduli sama kamu kalau kamu masih tinggal di Bogor? Orangtua kamu udah nggak peduli. Setelah kamu lulus, mereka pergi sendiri-sendiri, mereka nikah sama pasangan masing-masing. Kalau Omah nggak bawa kamu pergi ke sini, apa kamu masih bisa kuat hidup sendirian ngeliat keeogisan orangtua kamu yang udah mencari kebahagiaan mereka sendiri? Omah justru menyelamatkan kamu, Nak."

Dewa memejamkan matanya saat tangan Omahnya menggenggam lebih lembut. Emosinya perlahan mulai mereda.

"Dan kalau soal gadis itu, Omah minta maaf sudah memisahkan kalian. Tapi coba kamu bayangkan lagi, andai waktu itu kamu nggak pergi, kamu mungkin akan jadi penghalang masa depan dia. Atau mungkin masa depan kamu yang jadi terhalang."

Dengan kening berkerut, Dewa membalikkan badan. "Maksud Omah?"

Omahnya menghela napas. "Dia kuliah di Singapore. Kalau kamu masih di Bogor, mungkin kamu nggak akan membiarkan dia pergi ke Singapore, dan itu menghalangi cita-cita dia. Atau bisa jadi, mungkin kamu yang malah ikut dia ke Singapore, dan itu menghalangi cita-cita kamu yang selama ini pengin kuliah di Jerman. Iya, kan?"

"Dia jadi kuliah di Singapore?"

Omahnya mengangguk.

"Omah tau dari mana?"

"Selama ini Omah selalu memantau dia, lewat orang lain. Omah cuma pengin memastikan kalau dia baik-baik aja dan tetep bisa melanjutkan hidupnya tanpa kamu. Karna Omah juga merasa bersalah sama dia karna udah bawa kamu pergi."

"Kenapa Omah nggak jujur dari dulu?"

"Diceritakan sejelas apapun, kamu nggak akan bisa inget. Malah bisa memperburuk keadaan kamu. Keputusan Omah membawa kamu pergi, dan keputusan Maura melepas kamu pergi adalah semata-mata demi kebaikan kamu."

"Bukan Maura yang ngelepas aku pergi. Tapi aku yang pergi dari dia."

"Ya." Omahnya menekan kedua bahu Dewa, kuat namun juga lembut. "Dan keputusan kamu untuk pergi adalah keputusan akhir yang kamu pilih sendiri, kan? Kamu yang tau jelas alasan kenapa kamu akhirnya memilih untuk pergi. Kamu sendiri yang memilih merancang hidup baru di sini. Sekarang, jangan disesali. Karna itu memang sudah keputusan yang paling benar. Jangan terlalu menyalahkan Omah, Nak."

Dewa langsung luluh. Air matanya jatuh kembali. Kepalanya tertunduk sambil mengambil tangan Omah di bahunya lalu dikecupnya tangan renta itu penuh sayang.

"Maafin aku, Omah," lirih Dewa.

Dewa seharusnya berterima kasih pada Omahnya, telah menyusun hidupnya supaya terhindar dari sakit hati dan menyakiti oranglain. Namun tetap saja, Dewa masih berat jika harus ikhlas. Masih ada rasa penyesalan di hatinya telah meninggalkan Maura.

Gadis itu pasti patah hati luar biasa.

Apa yang dirasakannya saat itu pasti sama dengan apa yang dirasakan Dewa saat ini.

"Omah janji, setelah dokter bilang kamu sudah boleh pulang, kamu boleh kembali lagi ke Bogor. Kamu boleh kejar dia lagi. Tapi sekarang, kamu harus tetep di sini, ya."

Dewa tidak menjawab. Dia hanya menangis dan menguatkan diri. Berusaha melawan dirinya yang ingin sekali berontak dan pergi menemui Maura lagi.

Dewa takut, jika dia tidak kembali, Maura juga tak bisa kembali menjadi miliknya.

Arrrghhh! geramnya dalam hati.

"Percaya, deh, kalau kalian memang ditakdirkan bersama, sejauh apapun dipisahkan kalian akan bisa kembali bersama. Kamu nggak usah takut sama ketentuan takdir. Andai kamu nggak pergi ke Jerman pun, kalau dia memang bukan ditakdirkan buat kamu, kalian tetep akan pisah juga," kata Omahnya lagi.

"Oke, kalo gitu periksa aku sekarang dan kasih hasil pemeriksaannya sekarang juga." Dewa kembali berbaring di ranjang menunggu dokter dan suster memeriksanya.

"Luna..."

Akhirnya namanya disebut juga. Kehadirannya dianggap juga. Buru-buru Luna pun menghapus air matanya dan berjalan mendekati Dewa yang saat ini sedang diperiksa tekanan darahnya.

"Iya, Wa?"

"Kamu gak jadi terbang?"

"Mana mungkin aku bisa terbang dengan tenang."

"Aku udah di sini berapa hari?"

"Empat hari," jawab Luna.

"Kamu masih mau di sini apa pulang ke Indo?"

"Ha?" Luna sedikit bingung.

Setelah menahan sakit dari suntikan pengambil darah, Dewa berkata lagi, "Mau pulang ke Indo gak? Kalo mau, bareng."

"K-kita kan belum tau hasilnya, Wa."

Dalam hati, Luna membenarkan firasatnya sendiri waktu itu, waktu Dewa bilang tidak akan mungkin kembali ke Indonesia lagi. Lihat sekarang, dunia semudah itu berbalik. Lezat sekali menelan ludah sendiri.

"Kamu juga gak yakin kalo aku udah baik-baik aja?"

"Bukan gitu."

Dewa menatap Luna sambil tersenyum kecil. "Walaupun udah inget, buktinya aku masih punya waktu untuk mau memandang kamu, kan? Kamu salah."

Menahan tangis, Luna mencoba untuk balas tersenyum. Bukan ini maksudnya, dan Dewa pun pasti tahu kalau bukan ini makna ucapannya.

"Makasi, Lun, untuk selalu ada di samping aku selama hampir enam tahun," ujar Dewa lagi.

Sebutir air bening akhirnya berhasil lolos dari ujung mata Luna. Gadis itu meremas roknya sendiri untuk menahan lututnya yang sudah melemas. Dia paham, waktunya sudah tiba....

"Berarti ini saatnya kamu menarik lagi ucapan kamu waktu itu ya, Wa?"

"Lun...."

"Dan berarti ini saatnya aku udah harus menyiapkan hati untuk bisa ikhlas melepas kamu..., lagi."

"Aku minta ma–"

"Gak perlu minta maaf dua kali, Wa. Cukup tolong mengerti aja kalo suatu saat nanti aku masih berharap sama kamu."

"Silakan benci aku, Lun."

"Aku benci sama diriku sendiri, yang gak pernah bisa membenci kamu."

***
NOTES:
Aku yakin semua pembaca bahagia Dewa udah inget lagi, tapi aku justru miris sama Luna yang cuma jadi tempat singgah Dewa doang, jahat bgt :(

Gais, bantu ramein ceritaku di aplikasi FIZZO yuk! Judulnya: Kontrak Nikah 1 Miliar. Makasiiiiii

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang