Goodbye Memory Ke-10!

357 69 98
                                    

BOGOR, 2015

Bisa sampai di titik ini seharusnya membuat Maura senang dan bangga dengan dirinya sendiri, bukan malah melamun memandangi interior ruangan dengan tatapan sedih. Jalan hidupnya bisa selancar ini, seharusnya membuat Maura bersyukur telah dimudahkan dalam pencapaian segala cita-citanya. Mimpinya memiliki studio pameran lukis sendiri akhirnya menjadi kenyataan tepat di usianya yang ke-24 tahun ini. Walaupun harus dengan cara meminjam uang Pras untuk membeli tempat ini, lengkap dengan isi-isinya.

Sudah merencanakan sejak dua tahun belakangan, Maura akhirnya yakin menjatuhkan pilihannya pada tempat yang punya banyak kenangan baginya bersama Dewa. Kafe tempat mereka sering minum cappuccino berdua kala hujan kebetulan dijual oleh pemiliknya, kalau Dewa masih ingat, nama kafe ini adalah De Koffie Pot.

Furnitur yang ada tidak dirubah sama sekali, tempat ini akan tetap dijadikan kafe oleh Maura, hanya saja suasananya akan sedikit dirubah menjadi pameran lukisnya. Jadi pengunjung bisa duduk menyeruput kopi dengan pemandangan lukisan-lukisan atau foto-foto yang dibuat dan dipotret oleh Maura.

"Ra, yang ini gak dipindahin aja?"

Maura masih belum sadar jika Finda sedang mengajaknya bicara.

"Ra?"

Baru ketika bahunya ditepuk, Maura tersadar dan menoleh cepat.

"Kenapa, Ma?"

"Kamu yang kenapa? Malah bengong."

"Gapapa. Kenapa? Tadi mama nanya apa?"

Finda pun hanya bisa membuang napas. "Ini... sofa yang ini kenapa gak dipindahin aja? Kalo sofa sebesar ini terlalu ada di tengah gini kayaknya agak kurang cantik."

"Terus bagusnya dipindah ke mana?"

"Pojok situ aja, ya?" tunjuk Finda ke sudut tempat yang langsung membuat Maura melebarkan matanya.

"Jangan! Jangan di situ! Dua kursi itu pokoknya gak boleh dipindah-pindahin, ya!" ucap Maura panik, sebab dua kursi besi itu adalah tempat yang selalu dirinya dan Dewa cari pertama kali ketika masuk ke kafe ini. Kursi yang dapat dengan langsung melihat pemandangan luar kafe; jalanan dan hujan.

Curiga, Finda menatap Maura penuh tuntutan. Sambil bertolak pinggang, Finda menelisik tatapan Maura penasaran.

"Ada apa dengan kafe ini? Jujur!" kata Finda.

Maura pura-pura tertawa. "Gak ada apa-apa, aku cuma suka aja sama kursi itu. Cantik aja gitu kalo ada di pojokan. Ya, kan?"

"Jujur," tekan Finda.

"Beneran, Ma."

"Maura... jujur sekarang atau kita akan berdiri di sini sampai sore, sampai kamu mau jujur."

Pasrah dengan kegigihan mamanya, Maura pun akhirnya mendesah panjang lalu menceritakan dengan jujur alasan mengapa dia begitu ingin membeli tempat ini. Sambil mendengarkan, untungnya Finda tidak memasang ekspresi macam-macam seolah mencoba mengerti dari sudut pandang putrinya. Usai diceritakan, Finda justru tersenyum.

"Mama kira kamu udah move on ke Nando," kata Finda.

"Hah? Aku gak pernah anggep Nando lebih dari sahabat, Ma," jawab Maura masih sama pendiriannya seperti tahun-tahun lalu. Belum mau –atau bahkan tidak mau memberi kesempatan untuk Nando.

"Syukurlah."

"Kenapa, Ma?" Maura seperti melihat makna lain di ucapan syukur mamanya.

"Yaudah lah, gak usah dipikirin. Cuma perasaan Mama aja." Finda menurunkan tangannya lalu kembali mengatur furnitur lain yang dirasa perlu dipindah posisi. "Kamu urus sofa ini aja, terserah mau dipindahin atau tetep ditaruh situ. Jangan bengong terus!"

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang