Goodbye Memory Ke-11!

377 73 92
                                    

HAMBURG, 2015

"Panggil aja Dewa. Jangan pernah panggil Rama kalo lo bukan Shinta, ya."

"Hati-hati, ya, Ra! Kalo ada belokan, jangan lurus. Kalo ada polisi tidur, kasih selimut. Kalo jatuh jangan manggil gue, nanti malah jatuh cinta."

"Pintu rumah lo dibuka nggak, Ra?"

"Gue hampir ngebunuh selingkuhan nyokap gue, Ra."

"Jangan pernah pergi, atau pura-pura pergi tanpa sepengetahuan gue. Jangan pernah, Ra!"

"Salah nggak kalo gue jatuh cinta sama lo, Ra?"

"Makanya hati-hati, dong, Ra. Duh... coba kalo lo kenapa-kenapa, gue harus cinta sama siapa lagi?"

"Mimpi gue kan lo."

"Wishlist gue supaya bisa jadian sama lo. Mau bantuin supaya tercapai nggak, Ra?"

"Ini hadiah peresmian kalo gue udah bener-bener berhenti nunggu lo. Jadi si Bio ini adalah bukti kalo gue pernah nunggu lo lalu berhenti."

"Pipi aku itu diciptakan buat dicium, bukan dicubit, Sayanggg..."

"Nando diserang Marco. Kamu tunggu sini ya, aku mau nyamperin ke sana. Nanti aku bakal balik lagi ke sini. Kamu nggak usah khawatir, ya. Percaya sama aku, sayang."

"Lo siapa sih sebenernya? Kenapa gue ngerasa aneh? Setiap kali ngeliat lo, gue ngerasa kayak lagi... hancur, sedih dan rindu campur-campur jadi satu. Dan rasanya setiap kali liat lo, gue selalu pengin meluk lo."

"Gue nggak bisa maksa buat lanjutin hubungan sama lo lagi. Gue nggak nyaman. Lo tetep terasa kayak orang asing. Gue minta maaf banget ya, Ra, tapi gue emang harus jujur sekarang daripada nanti malah jadi nggak beres semuanya."

"Jadi gue mau minta sama lo, anggep aja kita nggak pernah punya hubungan apa-apa. Toh kita juga pacaran baru cuma seminggu, kan?"

"Besok gue berangkat ke Jerman, dan nggak bakal balik lagi. Jadi, mulai besok kita bakal bener-bener jadi orang asing yang nggak akan pernah ketemu atau kontak-kontakan lagi."

"Goodbye, Maura!"

Semua percakapan mereka Dewa ingat lagi. Semuanya. Dari awal pertemuan hingga akhir perpisahan. Sampai membuatnya merasa seperti sudah tidak berada di masa ini lagi.

Seperti masuk ke mesin waktu, Dewa dibawa kembali pada masa di mana ingatannya hilang. Menyaksikan sendiri rekaman kejadian dalam hidupnya yang dia lalui pada masa itu. Mengembalikan ingatannya tentang semua memori dengan orang yang dikasihinya. Mendapatkan kembali jawaban dari alasan mengapa dia bisa mencintai orang itu.

Empat hari dibawa berjelajah ke masa itu, Dewa dipulangkan kembali pada masa seharusnya dia berada. Empat hari tak sadarkan diri, Dewa akhirnya bisa membuka matanya kembali.

Sayangnya, perjalanannya ke masa itu menyisakan kesakitan hatinya. Ketika dia bangun, hatinya nyeri luar biasa, tak bisa hilang.

Kesedihan dan penyesalan mengerumini hati itu.

Ratusan kali memaki diri sendiri atas apa yang telah dia tinggalkan, dan ribuan kali menginginkan bisa kembali pada masa itu dan memperbaiki segalanya.

Namun saat wajah Omahnya dan Arfin terlihat oleh matanya yang kian terbuka lebar, Dewa pun sadar bahwa dia sudah tidak bisa lagi kembali pada masa itu. Hidupnya telah sampai pada hari ini dan akan terus berjalan ke hari-hari berikutnya.

Dia tidak akan pernah bisa kembali lagi ke masa lalu.

Oleh sebab itu, Dewa pun menangis.

"Dewaaaa?" Suara Omahnya terdengar sayup-sayup. "Arfin, cepet pencet tombolnya!"

Melihat tetes-tetes air yang jatuh ke pipi Dewa, Omahnya semakin khawatir. "Dewa, kenapaaa? Apa yang sakit, Nak? Tahan sebentar, ya."

Ketika dokter dan suster datang, Dewa justru menangis kian keras. Meskipun baru sadar, Dewa masih sanggup mengepalkan dua tangannya kuat-kuat. Menahan benci pada dirinya sendiri. Jika bisa membelah diri menjadi dua, mungkin Dewa sudah akan menonjok satu dari dirinya itu atas kebodohannya lima tahun yang lalu.

Saat dokter memeriksa matanya, Dewa memalingkan wajah. "Saya sudah sadar," ucapnya dalam bahasa Jerman.

"Biarkan kami memeriksa," balas sang dokter.

Dewa langsung membuka mata lebar-lebar dan menatap dokter itu tegas. Matanya yang basah dan merah menyorot tajam. "Sepenuhnya sehat, bukan?"

"Ya, tetapi biarkan kami memeriksa lebih lanjut."

Dewa langsung menangkis tangan dokter yang hendak menyorotkan senter ke mata kirinya. Tangan satunya lagi mendorong tiang infus sampai jatuh dan menyebabkan mengalirnya darah pada selang. Dewa menggeram emosi sambil mendudukkan tubuhnya.

Dua suster pun langsung sigap maju berjaga di sisi Dewa.

"Saya sudah sepenuhnya sembuh! Saya sudah sepenuhnya ingat! Saya tidak lagi butuh berbaring di sini dan diperiksa, saya butuh kembali pada orang yang saya tinggalkan!"

"Dewa!!" seru Omahnya sambil terisak pelan.

Dewa langsung menoleh pada Omah dan tatapannya kian menajam. Selagi Dewa lengah, suster pun mendirikan kembali tiang infus dan membenarkan kembali salurannya.

"Omah.... Semuanya gara-gara Omah!" seru Dewa pada Omahnya, kali ini menggunakan bahasa Indonesia.

"Dewa, tenang, Nak..."

"Ahh! Aku udah inget semuanya! Gara-gara Omah bawa aku ke sini, aku jadi harus ninggalin dia. Iya, kan? Aku ninggalin semua yang aku punya di Bogor! Aku jadi nggak bisa lagi ketemu dia, itu gara-gara Omah!!!"

Omahnya menutup mulut sambil menangis.

Dewa masih terus mengamuk. Barang di atas nakas dilempar semuanya. Dua suster yang menahan pun tak sanggup melawan kekuatan Dewa.

Dewa seperti kerasukan. Emosinya setinggi saat dulu dia menghajar 'tamu-tamu' Maminya.

"Aku harusnya nggak pergi ke sini! Aku harusnya tetep di sana sama Maura! Harusnya Omah bantu aku buat ngembaliin ingatan aku lagi di sana, bukan malah dibawa ke sini!" Dewa mengacak rambutnya sambil teriak. "Sekarang giliran aku udah inget semuanya lagi, Omah mau tanggungjawab apa? Aku udah nggak bisa lagi balik ke masa lalu! Aku kehilangan Maura dan semua temen-temen aku! Aku sendirian di sini! Omah mau tanggungjawab apa??!"

"Dewa... please... tenang dulu, Nak..."

"Gimana bisa tenang?! Aaarrrghhhh!!!!" Dewa mencabut selang infus yang tertusuk di tangannya. Kekuatannya benar-benar bukan seperti orang yang baru saja sadarkan diri.

Salah satu suster pun sudah lari meminta pertolongan untuk menenangkan Dewa.

"Sakit banget, Omah!!! Di dalem sini sakiiiiiiit banget!" Dewa menunjuk dadanya sambil menangis, "Harusnya Omah nggak usah jauh-jauh bawa aku ke sini, nggak usah kasih pengobatan terbaik buat aku kalau akhirnya percuma, saat aku udah inget semuanya aku tetep nggak bisa lagi balik ke masa itu. Percuma, Omah!!!! Mendingan aku nggak usah sembuh sekalian!!"

Luna yang juga berada di ruangan yang sama hanya bisa menangis melihat amukan kemarahan Dewa. Dia bahkan membatalkan penerbangannya dan menunggu Dewa selama empat hari ini. Namun begitu yang ditunggu sudah sadarkan diri, Luna malah tak bisa melakukan apa-apa, tak berani mendekat. Benar seperti dugaannya, jika ingatan Dewa sudah kembali, pasti tidak akan ada lagi waktu bagi Dewa untuk mengingatnya. Luna akan kembali ditinggalkan, sama seperti lima tahun lalu.

"Sekarang, aku mau balik ke Bogor. Jangan halangin aku lagi!" seru Dewa lagi sambil melangkah menuju pintu.

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang