BOGOR, 2015
Menyewa sebuah kamar hotel di lantai sebelas, Dewa meletakkan koper di bawah meja rias. Sepatu kets hitam dilepas beserta kaos kakinya, jaket hitamnya digantung di sofa meja rias. Menyetel televisi untuk meramaikan suasana, Dewa lalu melempar tubuhnya ke atas kasur.
"Hahhhhh!" desahnya mencoba mengenyahkan letih.
Menatap langit-langit kamar, sekali lagi Dewa menghela napasnya. Ada begitu banyak pikiran yang mengganggu kepalanya. Beruntung, sakit kepalanya belum kambuh.
"Bete, amat," ucapnya kemudian merogoh saku celana sebelah kanan untuk mengeluarkan benda pipih berwarna hitam.
Setelah sebuah tombol ditekan, layar terang menyala di tengah gelapnya kamar. Beradu dengan cahaya TV sekitar 42 inch di dinding. Dari layar itu, Dewa melihat tidak adanya sinyal yang sanggup disedot oleh kartu SIM Jerman miliknya. Dia lupa membeli kartu SIM Indonesia yang baru untuk mengabari Omahnya ataupun membeli paket roaming.
Dengan terpaksa, Dewa pun mengangkat lagi tubuhnya untuk mengambil gagang telepon kamar hotel dan menekan tombol 0. Suara receptionist dalam bahasa Inggris menyapa panggilannya.
"Password wifi-nya apa, Mbak?" tanya Dewa yang kemudian dijawab cepat oleh receptionist.
Usai mengucap terimakasih, Dewa menutup telepon dan menjatuhkan tubuhnya lagi ke atas kasur. Jarinya lihai bermain di layar ponsel sampai sambungan akhirnya bisa didapatkan. Bunyi notifikasi langsung sahut-menyahut berbunyi. Yang dibuka pertama kali oleh Dewa adalah pesan dari Omahnya.
Sudah landing di Jakarta, tulis Dewa lalu mengirim.
Pesan-pesan lainnya dibaca satu-persatu, dan tak ada yang menarik untuknya saat ini. Termasuk pesan dari Arfin yang hanya dibaca.
Berpindah ke layar lain, kali ini jarinya berggeser-geser di aplikasi twitter kesukaannya. Rasanya ada yang kurang jika tidak menulis tweet satu hari saja. Karena tidak punya orang yang bisa diajak curhat, twitter lah yang jadi wadahnya.
"Satu lagi yang membuat gue sadar; masa lalu tidak bisa diambil kembali."
Dewa mengeja apa yang ditulisnya sebelum kemudian menekan ikon Post sehingga cuitannya bisa dibaca tiga ribu pengikutnya.
Selanjutnya, dia mengetikkan sebuah nama di kolom pencarian. Nama yang selama enam tahun ini tidak pernah terbesit di kepalanya untuk dicari tahu. Namun sudah mencoba dengan berbagai variasi pencarian nama, tidak ada akun yang pemiliknya benar-benar Maura.
"Ra, kamu masih aja anti main sosmed, ya?" ucap Dewa sambil tersenyum sendiri.
Merasa sia-sia mencari, Dewa pun mengunci layar ponselnya lagi. Tanpa mengganti pakaiannya, Dewa langsung menutup matanya hendak tidur. Sambil mencoba tidur, Dewa memikirkan rencana apa yang esok akan dia lakukan demi bisa bertemu dengan Maura.
***
Berhenti di sebuah gang kecil, Dewa turun dari ojek dan memberi uang seratus ribuan tanpa kembalian, untungnya di bandara tadi ia sempat menukar mata uang ke rupiah.
Meski ragu orang yang dicarinya masih tinggal di tempat ini, Dewa tetap menggerakkan kakinya masuk ke gang kecil yang jalanannya sekarang sudah di-cor beton. Lupa-lupa ingat, Dewa berhenti di sebuah kontrakan yang mirip seperti rumah Nando lima tahun lalu. Keraguan Dewa ini ada karena bangunan rumah-rumah di gang ini sudah banyak mengalami perbedaan. Bahkan cat tembok kontrakan Nando pun sudah berubah warna.
Mengandalkan kepercayaan diri, Dewa mengetuk pintu kontrakan yang tertutup itu sambil mengucap salam. Beberapa tetangga yang duduk di sekitaran langsung memperhatikan Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]
RomanceKetika kisah mereka telah menjadi masa lalu bagi orang lain, tapi baginya hanya seperti kemarin. Banyak hal berubah, tapi ia masih tetap di perasaan yang sama. Kedatangannya kembali ingin mengulang kisah yang dulu ia tinggalkan. Mengejar lagi seseor...