BOGOR, 2015
Jika dulu telah memutuskan untuk pergi selamanya, mengapa tiba-tiba kembali tanpa berita? Seenaknya saja datang tanpa mengetuk kepada hati yang telah susah payah mencoba dirapikan kembali. Tahu 'kan, kalau pintu hati itu seperti terbuat dari kaca hitam. Gelap tak bisa dibaca siapapun. Ringkih tak punya lapisan, bisa retak hanya dengan sekali goresan, dan hancur berkeping-keping jika dipermainkan.
Tapi, pintu hati juga punya keajaiban sendiri. Bisa kembali terbentuk walau sudah tak utuh lagi. Plester sana sini, sebagai pertahanan sementara jika nanti dihancurkan lagi. Mampu terbuka sendiri jika sosok yang dicari datang walau tak permisi. Padahal, berulang kali dicoba dobrak oleh orang yang berharap bisa memasuki, tapi tak juga mendapati kunci. Tiba-tiba saja, pintu hati jadi kokoh tak bisa dilewati.
Di tengah jalan, tiba-tiba Maura disergap dilema. Dia mencari-cari jawaban dari lubuk hati; atas dasar apa dia berlari menghampiri laki-laki yang dulu memintanya mengakhiri.
Laki-laki yang sudah menjadikan hari-harinya selama lebih daari lima tahun digerayangi mimpi akibat merindu sendiri.
Untuk usahanya mengikhlaskan dan melupakan, akan jadi sia-sia jika si pencipta luka kembali. Inginnya membenci, yang ada malah berlari menghampiri. Menyelisik kenyamanan dalam dekapan yang lebih dari lima tahun lalu dibawa pergi.
Maura takut hal itu terjadi. Dia tak ingin jadi lemah lagi jika bertemu Dewa lagi. Selama ini dia sudah lihai berpura-pura tak ada yang terjadi.
"Kang, balik lagi ke kafe tadi aja."
Maka keputusan pun akhirnya berhasil dia buat. Lebih baik kembali berpura-pura daripada menjadi lemah di hadapan Dewa. Belum tentu Dewa sudah mengingatnya. Belum tentu Dewa datang untuk kembali padanya.
"Oh, iya, Teh."
Motor yang ditumpanginya berputar saat jalanan sepi. Membawa kembali Maura dan hatinya yang belum mau diajak kompromi.
"Gak mau pake jas ujan aja, Teh? Lumayan deres ini."
"Gapapa, Kang, sekalian basah."
Sebetulnya, Maura sedang menyamarkan air matanya.
Atas janjinya tidak akan menangisi Dewa lagi hari ini telah resmi dilanggar. Kepulangan Dewa bukan malah membuatnya bahagia, justru jadi terasa menyakitkan.
Benar kata Finda, selama ini Maura tidak benar-benar ikhlas melepaskan Dewa pergi, dan sesungguhnya dia membenci Dewa karena telah meninggalkannya tanpa ingatan sedikitpun.
Mulai sekarang, Maura ingin mencoba jujur dengan dirinya sendiri. Tidak ingin menyembunyikan lagi kekesalan dan kesedihan yang selama ini dia pendam.
Maura tak mau lagi berlagak bijak. Tak mau lagi pura-pura berlapang dada.
Orang yang seenaknya seperti Dewa memang pantas untuk diabaikan dan dihindari. Red flag.
***
Elma dan Aldo segera berdiri ketika melihat Maura turun dari motor dalam keadaan basah. Mereka berlari menuju pintu kafe sampai membuat beberapa pengunjung memperhatikan.
"Ambilin handuk," perintah Elma pada Aldo yang kemudian langsung melesat masuk ke ruang staff kafe.
Di depan pintu kafe, Elma berdiri di bawah kanopi menunggu kedatangan Maura yang baru saja membayar uang untuk supir ojek. Sambil menerka-nerka apa yang terjadi.
"Ra...."
Panggilan Elma membuat Maura meneteskan air matanya kian deras. Tanpa peduli dengan pakaiannya yang basah, Maura langsung lari memeluk Elma. Isakannya pun mulai terdengar di telinga Elma.
"Ma, gue gak sanggup ketemu dia," ujar Maura di balik tubuh Elma.
Aldo datang menyelimuti handuk ke punggung Maura sambil meremas bahu cewek yang menangis kian dalam itu.
"Ngobrol di dalem aja, yuk? Ganti baju lo dulu, Ra," kata Aldo.
"Yuk? Gue temenin, Ra," imbuh Elma sambil mengusap-usap punggung Maura yang bergetar.
Sambil menghapus air mata, Maura pun menurut mengikuti arahan dua sahabatnya. Dalam rangkulan Elma, dia berjalan melewati meja pesan yang mengundang perhatian karyawannya. Dengan sekali kedipan, Aldo memberi kode pada karyawan Maura untuk tidak bertanya apapun tentang yang terjadi malam ini.
Di ruangan dalam kafe, Elma menuntun Maura menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian yang untungnya selalu ada di ruang kerja sekaligus studio lukis milik Maura. Setelah keluar dengan pakaian yang berbeda, Maura menghampiri Elma yang duduk di sofa panjang dekat meja komputer. Sementara Aldo berdiri di samping sofa, menyandar pada tembok.
Sebelum Maura sendiri yang membuka mulut, Elma dan Aldo sama-sama bungkam. Mereka cukup mengerti untuk tidak banyak bertanya dalam situasi seperti ini.
"Maaf, ya, kalian pasti kaget liat gue kayak tadi," ucap Maura akhirnya.
"Gue khawatir, bukan kaget," jawab Elma.
"Dan nangis itu manusiawi, Ra," timpal Aldo. "Jujur, lo lebih keliatan normal. Bukan maksud apa-apa, maksud gue, lo lebih keliatan ekspresif barusan. Bukan kayak Maura yang selama ini pake topeng."
"Sssttt, ih!" tegur Elma menepuk paha Aldo.
"Bener, kok. Gue ngerasa lebih lega setelah nangis. Gue mengakui kalo selama ini sebenernya gue gak baik-baik aja," kata Maura.
"Nah, ya, kan, bener?" Aldo mencari pembelaan.
Maura mengangguk. "Gue emang kangen banget sama dia, tapi gue gak sanggup ketemu dia. Gue takut hilang kontrol di depan dia."
"Emang sewajarnya lo naik pitam depan dia, Ra," kata Elma. "Wajar banget atas apa yang dia lakuin ke lo dan sekarang tiba-tiba balik lagi segampang itu."
"Rasanya gue mau maki-maki dia, Ma. Rasanya gue benciiiii banget sama dia."
"Jangankan lo, gue aja benci banget sama dia."
"Tapi kan Dewa kayak gitu juga bukan karna keinginan dia. Kita semua tau Dewa hilang ingatan." Aldo seperti sedang membela Dewa di tengah dua gadis yang mulai panas.
"Tapi gak bisa jadi alasan buat dia ninggalin Maura! Oke, lah, kalo emang dia harus pergi ke Jerman, tapi kan gak perlu secepat itu! Masih bisa, kan, ngasih kesempatan buat Maura bantuin dia inget lagi? Walaupun masih belom inget, tapi seenggaknya ada rasa puas buat Maura karna udah dikasih kesempatan. Bukan malah kabur kayak pengecut!!!" geram Elma menatap kekasihnya garang.
"Ditambah lagi, dia balikan sama Luna." Maura ikut menatap Aldo, "Waktu itu lo bilang ke gue kalo dia udah memutuskan buat gak milih gue dan Luna. Lo bilang dia pengin menyusun hidupnya yang baru. Tapi kenapa dia balikan sama Luna?!"
"Y-ya gue gak tau apa yang terjadi di Jerman," jawab Aldo mulai merasa tersudut.
"Nah, kalo gak tau ya gak usah sok belain dia! Mentang-mentang sahabat lo!" seru Elma yang kemudian membuat Aldo bungkam kalah.
"Kira-kira tujuan dia pulang buat apa, ya?" tutur Maura dengan pandangan mengawang.
"Jujur, penasaran juga ya, Ra?"
Maura mengangguk tipis. "Mau ngasih undangan kali, ya, Ma?"
"Secepat itu? Ya..., maybe."
"Kalo ternyata dia pulang karna udah inget gue lagi gimana, Ma?"
"Itu harapan lo dari dulu, kan?"
"Tapi kenapa rasanya gue malah bingung, ya? Seneng tapi kesel juga."
Elma membelai lengan Maura, "Menurut gue, lo emang harus ketemu lagi sama dia. Satu-satunya orang yang bisa jawab semua pertanyaan lo ya cuma Dewa. Dan satu-satunya cara menghilangkan perasaan gak keruan lo ini ya cuma dengan ketemu Dewa."
"Gak sekarang, gue belom sanggup kalo sekarang."
"Iya, nanti kalo lo udah settle. Tunjukin ke dia kalo lo bisa sehebat sekarang tanpa dia."
***
NOTES:
Nggak semudah itu ya gaissss mereka ketemu lagi. Kalo ogut jadi Maura pun kayaknya bakalan ogah deh ketemu Dewa lagi wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]
RomanceKetika kisah mereka telah menjadi masa lalu bagi orang lain, tapi baginya hanya seperti kemarin. Banyak hal berubah, tapi ia masih tetap di perasaan yang sama. Kedatangannya kembali ingin mengulang kisah yang dulu ia tinggalkan. Mengejar lagi seseor...