9 Pillowtalk
Salvia mencium Sean yang telah tertidur lelap usai puas bermain seharian dengan ayah barunya. Keduanya tidak mengenal lelah sama sekali. Setelah pulang dari playground, Gavin menemaninya bermain bola di dekat danau buatan milik keluarga Emilio.
"Sayang, semoga mimpi indah." Salvia mencium kening putranya. "Sean senang ya, punya Papa?"
Salvia memeluk Sean sebentar sebelum bangkit dari sana. Sejujurnya ia juga sangat bahagia memiliki Gavin. Memang ia belum mencintai pria itu. Tapi semenjak bersamanya, Salvia merasa aman dan memiliki tempat untuk berlindung.
Terlebih lagi Gavin sangat menyayangi Sean. Kedua orangtuanya juga menerima Sean meski bukan cucu kandung mereka. Salvia bersyukur segala kepedihan dalam hidupnya seolah diangkat dalam waktu singkat.
"Mama juga senang memiliki Papa. Mama berharap, dia akan menjadi pelindung kita untuk selamanya." Salvia berkata pelan, lalu memeluk Sean erat-erat.
"Semoga Gavin selalu menyayangi Sean. Semoga dia tidak membedakan kasih sayangnya, disaat dia telah memiliki anak kandung." Salvia menyelimuti putranya hingga ke dada, lalu beranjak bangkit. Ia mematikan lampu kamar putranya, dan menggantikannya dengan lampu tidur karakter hiu yang lucu tersebut.
Sebelum benar-benar keluar melalui connecting door yang menghubungkan kamar Sean dengan kamarnya bersama Gavin, Salvia memperhatikan ruangan bernuansa biru itu terlebih dulu.
Salvia kagum dengan dekorasi dan banyaknya mainan yang ada di dalam sana. Jadi Gavin menyiapkan ini semua untuk Sean?
Bahkan Gavin juga membuatkan walk in closet yang berisi baju-baju baru untuk putranya, sesuai janji. Perhatiannya kepada Sean membuat Salvia terpana.
Sebagai ibu satu anak, Salvia tidak pernah ingin mencari suami yang mencintainya. Salvia mencari suami yang bisa menerima anaknya, menyayangi anaknya, dan tidak membedakan kasih sayangnya.
"Kamu suka dekornya?" Suara bisikan Gavin membuat Salvia tersentak kaget. Pria itu masuk kedalam kamar sebentar, lalu mencium pipi Sean yang sudah tertidur pulas.
"Makasih Gavin." Salvia tersenyum canggung.
"Aku ayahnya, ini tidak seberapa. Aku sempat takut jika Sean tidak menyukai kamar ini."
"Sean memang memimpikan kamar seperti ini, aku yang belum bisa mewujudkannya."
Gavin berjalan menghampiri Salvia, lalu memeluknya. "Katakan saja padaku apa keinginannya yang belum terwujud. Biar aku yang memenuhinya."
"Kasih sayangmu itu, sudah lebih dari cukup."
Tak mau mengganggu Sean, keduanya menutup pintu dan beralih kekamar mereka. Gavin menggandeng istrinya ke arah ranjang, lalu beranjak untuk merebah.
"Ayo istirahat." Ujar Gavin seraya membawa Salvia kepelukannya.
"Iya." Jawab Salvia gugup. Jemarinya terasa kelu untuk sekedar membalas pelukan pria yang telah menjadi suaminya tersebut.
"Aku tidak akan melakukannya sekarang. Aku tahu kamu butuh waktu." Ujar Gavin yang seolah paham isi pikiran Salvia saat ini.
Salvia yang gugup hanya diam seraya mengusapkan jarinya ke dada Gavin dengan gerakan abstrak. Ia memanyunkan bibir karena tak tahu harus berbuat apa.
Ia dan Gavin baru mengenal dan menikah dalam waktu yang sangat singkat. Bukankah aneh jika ia tiba-tiba menjadi agresif? Lagipula Salvia takut salah dalam bersikap, dan malah membuat Gavin tidak nyaman.
"Kamu kenapa kaku begitu?"
"Aku gugup." Jawab Salvia dengan wajah memerahnya.
"Oke kita mulai mengobrol saja supaya kamu tidak terlalu gugup." Gavin mengusap puncak kepala Salvia seraya berpikir topik apa yang menarik untuk mereka bahas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Married The CEO
RomanceSetelah diceraikan istrinya secara tiba-tiba, Gavin memilih menikahi Salvia. Seorang wanita muda dengan satu anak balita yang baru saja ia temui dan ia kenal. Gavin melawan arus kali ini. Ia tidak ingin lagi mengemis cinta pada mantan istrinya, yan...