22 (buat ulah lagi!)

3.9K 258 4
                                        

Fano sedang duduk di kantin bersama Raditya, berbicara santai. Meskipun identitasnya sebagai anak bungsu keluarga Jovetic belum sepenuhnya terungkap di sekolah, beberapa guru bimbingan konseling dan jajaran pengajar sudah mengetahui latar belakangnya. Namun, banyak siswa yang masih suka meledek Fano secara terang-terangan. Dan, seperti biasa, Fano membalas dengan pukulan telak ke wajah mereka.

"Anak yatim piatu!" teriak salah satu siswa dengan suara keras.

Fano berdiri dengan cepat, wajahnya langsung berubah serius. Ia tidak pernah membiarkan penghinaan seperti itu berlalu begitu saja. Dalam sekejap, ia sudah menghajar siswa tersebut.

Beberapa kali dalam sehari, Fano terpaksa mengunjungi ruangan bimbingan konseling. Namun, ia tidak merasa takut. Baginya, selama ia merasa tidak salah, tidak ada alasan untuk takut.

"Gua ngomong kenyataan, kan? Lu anak yatim piatu!" teriak siswa itu lagi.

Fano tidak menghiraukan ucapan itu. "Mau gua datangi bokap gua, hah?!" tantangnya dengan suara lantang.

Siswa itu menantang balik, "Silahkan saja!"

Fano pun berbalik menghadap kamera CCTV yang ada di kantin dan berteriak, "Oi, Stevan Kabar Jovetic, ke sekolah gua cepetan! Kalau nggak datang dalam lima menit, gua bakal marah sama lu sebulan!"

Di sisi lain, Aldi Wijayanto, yang sejak tadi terus mengejek Fano, tertawa sinis. "Gua nggak pernah denger nama orang itu. Jangan-jangan ayah lu cuma pegawai biasa, ya!" katanya, mengolok-olok Fano.

Fano hanya tersenyum tipis, "Hahahaha."

"Bagaimana kalau aku bilang dia pengusaha?" kata Fano, miringkan kepalanya sedikit, menggoda Aldi.

Aldi menganggap itu tidak mungkin. "Enggak mungkin dia pengusaha. Ayah gue pengusaha terkenal, dan dia nggak pernah menyinggung nama itu. Pasti dia cuma pemilik perusahaan kecil, ya?"

Fano tetap tenang, "Sayang sekali."

Aldi semakin tak sabar. "Sepertinya lu butuh kerjasama dengan perusahaan gue. Dengan syarat, lu harus menjilat sepatu gue sampai bersih," ejeknya dengan nada merendahkan.

Fano menjawab dengan tegas, "Setiap manusia punya harga diri. Gue nggak suka harga diri gue diinjak-injak sama manusia sampah kayak lu," desisnya, marah.

Aldi tidak berhenti menggoda. "Gue beli harga diri lu, deh. Lu kan cuma pengamen jalanan di lampu merah, pasti susah buat beli barang-barang mahal, ya!" ejeknya.

Fano sudah tidak tahan lagi. "Dia kayaknya jadi gigolo, bos. Gue pernah lihat dia jalan sama cowok yang lebih tua," kata salah satu teman Aldi.

"Hahahaha!" mereka semua tertawa.

Fano sudah hampir kehilangan kesabaran. "Ternyata lu sering ngangkang sama cowok tajir, ya? Sini, biar gue bayarin tuh lubang lu!" Aldi terus menggoda.

Fano meledak, "KAU!" Teriaknya, langsung menghajar Aldi dengan kekuatan penuh.

Raditya duduk santai, tidak berusaha untuk melerai pertengkaran itu. Ia malah menikmati momen tersebut sambil merekamnya dengan ponsel. Semua orang yang mencoba memisahkan Fano dari Aldi tidak bisa berbuat banyak.

"Mereka semua bodoh," kata Raditya dengan tenang. "Gua enggak peduli mereka ribut, yang penting gue dapat video."

Beberapa saat kemudian, salah satu guru muncul dengan suara keras, "Stefano Mahardika Jovetic, hentikan!" tegasnya.

Namun, Raditya hanya menundukkan kepala, memberi hormat dengan santai. Fano yang sedang menghajar Aldi masih tidak berhenti, sampai tiba-tiba ada yang memeluknya dengan sangat erat. Fano mencoba melepaskan diri dari pelukan tersebut, tetapi orang itu terlalu kuat.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang