(💌) · - 𝟏𝟒,

2.3K 512 94
                                    

|
.


Empat hari berlalu.

Dan selama empat hari itu, Aki selalu mengunjungi kantor Makima. Membujuk atasannya itu untuk bisa memulangkan Name. Tapi apa daya, usahanya sia-sia.

"Kami mengurungnya. Name Surname perlu diinterogasi lebih lanjut, Aki-kun."

Itu adalah alasan utama seorang Makima. Mengurung berarti memenjarakan Name di sebuah penjara khusus untuk iblis.

Kini pemuda itu tengah mengurung diri di kamar. Tak peduli seberapa berisiknya Denji dan Power-iblis Fiend yang baru saja tinggal di rumahnya atas perintah Makima beberapa hari yang lalu, ia tak peduli lagi.

Bagi Aki, tak ada Name, maka tak ada alasan untuknya tertawa.

"Kenapa kau harus seperti ini, Aki?"

Himeno, yang mengunjungi Aki malam itu juga, bertanya di depan pintu kamar pemuda itu. Katakanlah bahwa Aki enggan membuka pintu untuknya.

Denji menyilangkan tangan, "Padahal aku sudah masak pakai hati untuknya, tapi dia tidak mau makan."

"Kami masak bubur ayam dari pur ayam!" teriak Power dari kejauhan, ia terlihat sedang memakan camilan di depan TV.

Himeno bergidik ngeri, "Kalian sebenarnya ingin membantunya makan atau malah ingin dia tidak mau makan?"

Mendengar itu, Denji tertawa terbahak-bahak. "FUH-HAH! Tentu saja biar dia cepat sekarat agar Mbak Name jadi punyaku seorang!"

Plak

Satu pukulan mendarat di kepala Denji, membuat pria itu mengerang kesakitan. "I-iya iya. Nanti kami bereksperimen yang lebih baik(brutal) lagi."

Himeno menghela napas, "Kalau Aki beneran sekarat sampai sakaratul maut sih, aku sudah tidak heran lagi." ucapnya sambil menatap Denji dan Power secara bergiliran.

Cklek

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Aki dengan wajah kusam dan rambut tanpa di kuncir dari balik pintu. Tanpa basa-basi langsung menyilakan Himeno untuk masuk.

Aki duduk di kursi dekat jendela kamarnya, dengan baju tidur yang masih melekat di badannya, pemuda itu menatap Himeno jenuh.

"Kau mau apa?"

"Aki, harus sekali ya, kau seperti ini?"

Aki tersenyum, terkesan hampa. "Memang aku bisa apa lagi?"

Himeno menghela napas, lagi. Dia duduk di kursi kosong yang satu lagi, kemudian mulai membuka bungkusan rokoknya. "Kau pengecut. Pengecut bodoh yang terobsesi pada seorang gadis."

"Berkata buruk tentangku dan Name untuk melampiaskan kecemburuanmu takkan membuahkan hasil, Himeno."

Mematik rokoknya, Himeno tersenyum. "Aki..." wanita itu menghisap rokoknya, "berhenti menjadikan orang lain sebagai alasan untuk hidup."

Aki tersenyum simpul, kata-kata itu sudah sering ia dengar. Memang, semua orang akan mengira bahwa dia hanya menjadikan Name alasannya untuk hidup. Bukan sebagai sahabat saja, tapi lebih dari itu.

Tapi kenyataannya apa?

Aki mengusap wajahnya gusar, "Atas dasar apa kau mengatakan itu?" tanya nya, dia memijat dahi nya kasar, memaksa bibirnya untuk tersenyum.

Himeno diam, menghisap rokoknya lagi.

"Kau pikir kenapa aku bersikap berlebihan pada Name, huh?" pemuda itu tertawa, "Terlepas dari kejadian tiga belas tahun lalu, ketika Gun Devil merenggut segalanya dariku, satu-satunya orang yang berada di sisiku dan menggenggam erat tanganku hanya dia."

"Yang bahkan meyakinkanku bahwa dunia masih layak untuk ditinggali hanya dia." lanjut Aki, sekali lagi mengusap wajahnya gusar. Matanya memerah, mengingat kejadian masa lalu yang begitu menyakitkan.

Pemuda itu tertawa, terpingkal-pingkal sampai matanya berair. "Aku butuh dia untuk hidup.."

Mendengar itu, Himeno terhenyak. Kalimat demi kalimat dari perkataan Aki ikut membuatnya merasa pilu. Wanita itu merasa sesak, menggigit bibirnya, mencoba menahan air matanya agar tak jatuh.

"Mati sekarangpun takkan membuat mu bertemu kembali dengan keluargamu, Aki."

"Aku bersamamu."

"Rasanya sakit sekali, ya? Mau peluk? Sini."

Name kecil membuka tangannya lebar-lebar, menghampiri Aki dengan perlahan kemudian memeluknya. Dan disaat itulah, Aki melepaskan tangisannya yang kencang.




|
.




"Name Surname, ya." Makima mengetuk-ngetuk mejanya dengan telunjuk, sembari menopang dagu memandang Name lurus.

"Kau tau, ada banyak hal aneh yang ada padamu." jeda sebentar, "misalnya pendaftaran mu pada Biro Devil Hunter Swasta, dan kau... sama sekali tak menyertakan kemampuan kontrak mu dengan iblis manapun."

Senyap.

Name memilih diam mendengarkan ocehan Makima. Ketimbang menjawab, gadis berponi lebat itu menggerak-gerakkan tangannya yang diborgol. Risih dengan rantai besi yang membelenggunya.

Makima menatap Name lamat-lamat. "Dengan iblis apa kau berkontrak, Name Surname?"

"Tidak ada."

Sebuah senyuman mengembang, satu jawaban dari Name membuat Makima menarik alis matanya. "Karena kau sendirilah iblisnya, bukan begitu?"

Name mengernyit, memicingkan matanya. "Apa aku terlihat seperti iblis?"

Makima tersenyum, menggelengkan kepala. "Kau memang iblis. Kau hanya bersembunyi dari wujud manusiamu."

"Dan dengan wujud itu, kau pikir kau adalah manusia?" balas Name sambil meninggikan dagunya.

Hening.

Sebuah lontaran kalimat dari Name membuat Makima mengatup bibirnya rapat. Bak di bakar oleh api amarah, wanita itu mengerutkan keningnya, berusaha menahan diri agar tak dikendalikan oleh emosi. "Lancang sekali iblis sialan ini."

Name melirik Makima pelan, "Kecilkan umpatanmu, nona. Aku bisa mendengarmu."

Tersentak, Makima membulatkan matanya. "Kau..."





|
.





Alo ges :3
Finally chii nulis lebih dari 600word ngueheheh

Vote yah sayang-sayangku besok chii tambahin bonus agi dehh ;>

none ; hayakawa akiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang