[Slow-Up]
Kim Taehyung, CEO terkenal dengan berkecimpung di dunia perindustrian musik harus bisa menghadapi bagaimana anak tengah dan bungsunya yang lebih memilih bersama CEO Jeon pemilik Golden Games Studio yang notabenenya orang asing baru dikenal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jungkook telah kembali ke daratan dimana segala hal menjadi rumit termasuk percintaan. Sejak saat Yeonjun meneleponnya bahwa ia akan menjemput adik-adiknya Jungkook segera pulang. Memesan tiket lebih awal dari jadwal sebelumnya dan membiarkan salah satu pegawainya yang memberesi barang-barang miliknya.
Mendesah lelah. Ia pikir hal-hal akan menjadi lebih mudah setelah ia pergi beberapa waktu, namun tampaknya kepergian Jungkook membuat permasalahan menjadi kian rumitnya. Menenteng satu-satunya tas yang ia bawa dan segera keluar dari pintu bandara.
Jam yang terlewati di dalam pesawat memberikannya waktu sekedar untuk berpikir langkah selanjutnya untuk menghadapi musuh bebuyutan dan juga hal-hal yang berkemungkinan akan terjadi. Mungkin dalam waktu dekat maupun lama hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Contohnya, masalah keluarga yang banyaknya Jungkook benci.
Sebuah notifkasi ia terima, pesan yang memberikannya sedikit kelegaan disaat bernafas. Memang anak buahku ini sangat perhatian, batin Jungkook bangga. Mungkin tidak sepatutnya ia sekarang mengkhawatirkan perasaan anak sulung keluarga Kim, yang harusnya ia khawatirkan sekarang adalah Taehyung dan orang tuanya. Jika ditafsir percakapannya dengan Jiwoo, sepertinya orang tua Teahyun adalah tipe orang tua kuno yang teguh akan keinginan mereka tanpa mau kalah dari orang lain.
Jungkook kembali menghembuskan nafas frustasi. Masuk ke dalam mobil yang sejak tadi menunggu, mendudukan dirinya di kursi penumpang dan membiarkan dirinya di bawa ke tempat tujuan oleh sang supir.
Mungkin ia perlu istirahat sejenak sebelum mendapatkan beberapa wejangan dari keluarganya. Maka Jungkook putuskan untuk memejamkan matanya sepanjang perjalanan.
"Tuan Jungkook"
"Tuan Jungkook"
Pemuda yang dipanggil namanya tidak ingin membuka mata, malah ia makin merapatkan tubuhnya dengan kursi penumpang yang empuk itu.
Suara lain terdengar dari telinganya, menyuruh sang sopir minggir agar orang itu bisa membangunkannya.
"Bangun kau pemalas!" Satu jeweran menggantung indah di telinga Jungkook. Telinga yang awalnya berwarna normal menjadi merah seketika. Mau tak mau dan demi menyelematkan telinga indahnya Jungkook membuka matanya begitu saja. Dan memohon ampun kepada orang di depannya.
"Begini saja kau sudah memohon ampun, apa jadinya kau berhadapan dengan ayah dan kakek?" wanita di depannya berteriak kesal. Melepaskan tangannya dari telinga yang lebih muda dan mengambil sikap bersedekap.
Sedangkan Jungkook hanya bisa memberikan cengiran khas-nya. Merangkul wanita itu untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah yang sudah dipastikan bahwa ada yang menyambutnya di ruang keluarga yang dari jauhpun dapat Jungkook rasakan aura hitam menguar.
"Selamat sore ayah, ibu, dan kakek?" Jungkook menunduk hormat, memberikan salam yang dipastikan hanya awalan sopan sebelum mendapatkan ceramahan.
"Baru ingat rumah kau Jungkook?" suara dalam dari sang ayah terdengar. Sarat akan sindiran. Selama ini Jungkook lebih sering tinggal di apartemen maupun di kantornya sendiri dibandingkan pulang ke rumah besar.
"Ya ayah, aku baru ingat punya rumah"
Pluk
"Dasar kau--" lemparan koran melayang kearahnya. Dimana Jungkook yang sudah tahu akan langkah selanjutnya dari sang ayah sudah siap memposisikan dirinya untuk menghindar dari lemparan ayah.
"home run!" sahut Jungkook ceria. Sedangkan sang kepala keluarga memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut dengan keberanian anak bungsunya.
"Astaga aku bisa gila" gerutu kepala keluarganya didukung oleh elusan sabar dari sang ibu.
Jungkook pastinya tidak memperdulikan omongan sang ayah, yang ia ketahui bahwa ayahnya itu sudah gila akibat permasalahan politik. Dengan santainya ia menempatkan diri di sebelah noonanya tanpa memperdulikan tatapan tajam dari orang yang jauh lebih tua diantara mereka yang berada di ruangan ini.
Mengambil cemilan diatas meja tanpa ada rasa takut maupun bersalah. Menikmati waktunya sebelum diakhiri oleh percakapan serius kedepannya. Dan pastinya semua pergerakan Jungkook diperhatikan oleh sang tetua di rumah.
"Ada yang ingin kakek sampaikan ke Jungkook? Lebih baik kakek bicarakan sekarang sebelum aku pergi" ucap Jungkook memandang kakeknya yang sejak tadi mengawasi gerak geriknya.
"Kau berhubungan dengan tuan Kim Taehyung?" langsung keintinya, Jungkook sudah menduga. Sang kakek memang tidak suka repot-repot berbasa basi. Jungkook suka gayanya.
"Tentu. Bukankah kakek mendengar beritanya?"
Kakek Jeon mengangguk mengerti, "Bagaimana kalau kakek tidak setuju?"
Tangan yang akan menyuapi cemilan ke mulutnya terhenti, menatap sang kakek terkejut. Ia pikir rintangannya hanya orang tua Taehyung tapi keluarganya juga?.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
Jungkook mengelap tangannya yang kotor sebelum memposisikan dirinya dengan posisi serius yang ia miliki. Tegap dan menghadap langsung sang lawan bicara.
"Kenapa kakek tidak setuju"
"Itu rumit"
"Jawab saja kakek. Aku tidak suka gaya kakek yang menyimpan rahasia"
Tetua yang dihardik oleh cucunya sendiripun lantas menyunggingkan senyumannya, "Tentu karena aku ingin cucuku bahagia, Jungkook. Sedangkan jika kau bersama dia maka banyak rintangan yang akan kau hadapi. Bukan cuma kami, tapi pihak mereka yang sangat menentang kehadiranmu"
"Tapi kakek ak---" ucapan Jungkook terputus dengan apa yang kakeknya berikan sebagai jawaban hingga membuatnya termenung kecewa.
"Ingat Jungkook. Lawanmu bukan hanya kami, maupun mereka. Tapi dia juga akan menjadi lawanmu dan entah apa yang akan dia perbuat untuk membuatmu kalah dalam pertarungan merebut hati seorang duda seperti Taehyung"
To be continued...
note:
hm hm hmm sepertinya beberapa chap kedepan akan susah mencari romatisasinya.