8| Ning Hawa, cemburu?

195 20 4
                                    

Assalamu'alaikum

Alo bestie!

Terimakasih buat yang udah baca cerita ini.
Jangan lupa vote dan komen setiap paragrafnya biar aku semangat nulisnya.

Semoga kalian suka.

Happy reading—

Banggalah menjadi ibu yang kelak akan melahirkan para ulama, penerus dakwah agama, penegak kalimat tauhid, perintis sifat-sifat mulia, pencetus akhlak-akhlak terpuji, dan penyeru kepada kebajikan.
Khalifah Siti Hawa Al-abshor—

Kemudian orang itu berdiri, ia hendak menanyakan sesuatu pada Ning Hawa, "Tunggu, itu kayak Kang Rafa." batin Ning Hawa.

"Mbak-mbak, itu Gus Rafa!" seseorang santriwati heboh saat mengetahui keberadaan Gus nya itu.

"Eh, iya itu Gus Rafa, Mbak."

"Gus Rafa, udah pulang dari pesantren!" tak sengaja Ning Hawa mendengar perkataan santri-santri di pesantren ini. Tapi Ning Hawa berusaha untuk fokus pada pertanyaan yang akan di ajukan oleh Kang Rafa.

"Jadi gini Ning, apa definisi perempuan menurut njenengan?" tanya Kang Rafa.

"Defisini perempuan ya, Gus. Nah jadi menurut pendapat saya, perempuan adalah wanita yang sejak lahir diberi Allah karunia berupa rahim, sifat asih, dan belas kasih yang mana lelaki mana pun tidak akan pernah mampu mencapai tahap itu. Dulu saya pernah mendengar perkataan  dari seorang lelaki, dia bilang apa sih enaknya jadi perempuan? Huu, cantiknya pas gadis aja. Entar kalo udah nikah, jadi ibu, punya anak, bongsor deh! Huu, kuliah tinggi-tinggi entar paling cuma jadi pembantu di rumah suami: ngasuh anak, masak, nyuci, ngurus ini, ngerjain itu. Apa hebatnya jadi perempuan? Cengeng, lemah, nggak berpotensi besar. Apa enaknya? Enakan jadi lelaki aja!! Sahabatku, saya nggak menyalahkan argumen ini. Sah-sah aja. Namun, mari kita lihat sisi hebat dari para perempuan. Agar kita turut berbangga diri menjadi bagian dari mereka. Perempuan bukanlah potongan kecil dari dunia yang mana lelaki adalah potongan terbesarnya. Tapi perempuan adalah pangkal utama dari kehidupan. Penentu nasib sebuah negara. Penentu baiknya suatu agama. Penerus lahirnya keturunan baik-baik dengan masa depan yang baik pula. Dari rahim seorang perempuan, lahir orang-orang hebat. Dengan peran semangat seorang istri, lahirnya para lelaki sukses. Siapa yang berjasa atas lahirnya Imam Syafi'i? Siapa yang berada di balik kesuksesan Bill Clinton? Siapa yang menyukseskan Barack Obama? Tentu seorang ibu, selalu ada ibu hebat dibalik lelaki sukses. Banggalah menjadi ibu yang kelak akan melahirkan para ulama, penerus dakwah agama, penegak kalimat tauhid, perintis sifat-sifat mulia, pencetus akhlak-akhlak terpuji, dan penyeru kepada kebajikan. Ibu yang kelak akan menjadi madrasatul uulaa, sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ibu yang melalui lisannya, lahir generasi yang jujur dan amanah. Ibu yang melalui ibadahnya lahir keturunan yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Ibu yang melalui sifat keibuan, asih, kasih, lembut dan tulusnya, lahir penerus agama yang sehat fisiknya, kuat batinnya, tekun ibadahnya, cerdas akalnya, semangat jihadnya, baik budinya, mulia pekertinya, memuliakan sesama, dan senantiasa memperbaiki diri menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sehingga jadilah keturunan dalam rahimnya itu panutan, teladan, dan bahan percontohan bagi orang lain. Jadilah ia penyejuk mata, penawar sakit, penyembuh luka, peredam air mata, dan sebagai bentuk perwujudan dari syukur kepada Allah. Segalanya bermula dari seorang perempuan." ucap Ning Hawa. "Demikian, tauziah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang saya sampaikan dpaat menjadi catatan amal serta pelajaran bagi kita semua. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." lanjutnya mengakhiri tauziah pada kesempatan kali ini.

* * *

"Ning Hawa!"

"Dalem, Gus." ucap Ning Hawa. "Kapan, njenengan kesininya, Gus?" tanya Ning Hawa.

"Kemarin habis subuh, Ning." jawab Kang Rafa. "Ning, mau pulang ke Ponorogo kapan?" tanyanya.

"Insya Allah besok, Gus. Saya sama Paklek Husain dan Bulek Zira mau liburan ke pantai dulu, njenengan mau ikut?" tanya Ning Hawa.

"Boleh Ning, sekalian nanti saya yang jadi pemandunya." ucap Kang Rafa.

"Wah, sekalian kasih rekomendasi tempat yang bagus buat foto boleh dong, Gus?" ucap Ning Hawa sambil terkekeh kecil.

"Nanti tak kasih tahu dimana aja tempatnya, pasti kalian pada suka sama tempatnya." jawab Kang Rafa.

"Yaudah, maturnuwun ya, Kang. Saya mau balik ke kamar dulu. Assalamu'alaikum," pamit Ning Hawa sebelum ada yang melihatnya berduaan dengan Kang Rafa disini. Kemudian ia melangkah menuju kamarnya untuk beristirahat sebentar. Setelah selesai kamar, Ning Hawa langsung merebahkan diri di kasur.

Tok tok tok!!!

"Assalamu'alaikum," ucap seseorang itu, Ning Hawa yang merasa terganggu pun langsung membukakan pintu untuk orang tersebut.

"Wa'alaikumsalam, ada apa Mbak?" tanya Ning Hawa pada seorang gadis cantik didepannya ini.

"Ning, di timbali Bu Nyai Zulaikha ke meja makan sekarang." ucap Mbak Ana, abdi ndalem di Pondok Pesantren Darul Qur'an Al-Ikhlas.

"Nggih, Mbak. Maturnuwun ya, saya sudah diberi tahu." ucap Ning Hawa. Kemudian Ning Hawa langsung bergegas ke maka makan untuk menemui Umi Zulaikha.

Sesampainya di sana Ning Hawa tak lupa mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum," ucap Ning Hawa.

"Wa'alaikumsalam, sini Nduk. Kita makan siang bersama," ucap Umi Zulaikha.

"Nggih, Umi." ucap Ning Hawa gugup. Saat ini diruang makan sudah ada, KH. Malik Iskandar, Gus Rafa, Ning Iza, Gus Husain, Ning Zira dan Gus Abid yang sudah menunggu.

"Ning, sini duduk didekat aku aja." ucap Ning Iza, kakak Gus Rafa. Ning Hawa hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu ia duduk di samping Ning Iza yang berhadapan langsung dengan Gus Rafa.

Degg.

"Ayo silahkan dimakan le-Nduk, jangan sungkan loh ya." ucap Abah Malik.

"Nggih, Abah."

* * *

Saat ini, Ning Hawa dan yang lainnya sudah berada di pantai sepanjang, pantai ini adalah salah satu objek wisata yang didatangi oleh para wisatawan saat berkunjung ke Yogyakarta. Ning Hawa berjalan kesana kemari, lalu ia mengambil gambar objek yang menurutnya indah. Tiba-tiba Ning Hawa tak sengaja melihat seorang gadis menghampiri Kang Rafa. Keganjalan mulai dirasakan oleh Ning Hawa saat melihat mereka berdua yang sedang berbincang, membuat hati Ning Hawa merasakan sesuatu. Ning Hawa menyadari bahwa ia tak semestinya merasakan perasaan ini, tapi ia juga tak bisa mencegah rasa ini keluar dari dalam hatinya. Ning Hawa, cemburu? Ntahlah, ia tak tahu tentang perasaannya ini.

Kemudian, Ning Hawa memalingkan wajahnya melihat ke arah samudera luas, langit biru dan kicauan burung membuat pikiran dan hatinya tenang. Tapi ketenangan itu hanya sesaat, Ning Hawa masih penasaran dengan sosok perempuan yang bersama Kang Rafa saat ini. Di sisi lain, Kang Rafa merasa heran dengan sikap Ning Hawa sekarang ini. Ia menjadi gadis pendiam saat berada di dekatnya. "Ning, njenengan kenapa?" tanya Kang Rafa.

"Gakpapa, Kang. Saya lagi nggak mood aja," ucap Ning Hawa masih saja menatap hamparan samudera luas.

Kang Rafa melihat raut wajah Ning Hawa yang sama sekali tidak melukiskan senyuman di bibir itu pun membuat Kang Rafa mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang suatu hal.

Bersambung...

Ku Tunggu Qolbitu mu, Gus!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang