9| Gus Hamam?

219 19 6
                                    

Assalamu'alaikum

Alo bestie!

Terimakasih buat kalian yang udah baca cerita ini.
Jangan lupa vote dan komen setiap paragrafnya biar aku semangat nulisnya.

Semoga kalian suka.

—Happy reading—

Gusti Allah pun ngerti nopo sing sampean karepi, tapi Gusti Allah pengen ngerti sepiro usahane sampean riyen.
—Muhammad Yusuf Maulana Al-abshor—

Beberapa bulan berlalu semenjak kejadian di kedai kopi yang menyesakkan itu. Hari ini adalah hari yang cukup cerah, Ning Hawa mengayunkan langkah dengan begitu ceria. Meski matahari tak terlalu terik, cuaca diluar sana agak membuatnya gerah. Ia berjalan mencari-cari tempat yang teduh, merasa ada yang aneh seperti ada yang membuntutinya dari belakang, ia kemudian menoleh ke belakang untuk memastikan, tapi menurutnya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya hingga sampai di Gasebo taman, sekali lagi ia menoleh ke belakang guna memastikan jika benar-benar tidak ada yang membuntutinya. Saat Ning Hawa menoleh ke belakang, ia bertatapan dengan sepasang mata coklat milik Gus Hamam. Aneh, kenapa hati Ning Hawa tidak berdebar seperti sebelumnya? Mungkin ini yang dinamakan move on dengan ikhlas! Yang jelas sekarang ia telah mengikhlaskan atas apa yang terjadi di masa lalu. Ning Hawa sudah tidak memiliki perasaan apa-apa lagi kepada Gus Hamam, lebih tepatnya ia sudah menemukan pengganti yang lebih baik dari Gus Hamam. Kemudian Ning Hawa mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia ingin segera menghindar dari hadapan Gus Hamam, sekarang juga. Tapi, belum sempat menghindar Gus Hamam mendekat ke arahnya, Dia berhenti tepat di hadapan Ning Hawa. "Assalamu'alaikum." Salam Gus Hamam.

"Wa'alaikumsalam, Gus Hamam? Ada keperluan apa njenengan datang ke sini siang-siang begini, Gus?" tanya Ning Hawa to the point.

"Nggih Ning, ini tadi saya kebetulan lewat daerah sini, terus Uma menitipkan bingkisan ini untuk diberikan ke njenengan!" ucap Gus Hamam sambil menyerahkan paper bag besar itu.

Ning Hawa ragu antara menolak atau menerima pemberian itu, tapi saat melihat senyum tulus dari Gus Hamam pun membuatnya menerima bingkisan itu. "Jazakallah khairan, Gus. Tolong sampaikan ke Uma Ami, saya sangat berterimakasih." ucap Ning Hawa sambil menerima paper bag itu.

"Nggih Ning, ngendikone Uma kalo njenengan ada waktu senggang, Uma nyuwun njenengan untuk mengunjungi beliau di rumah." ucap Gus Hamam.

"Insya Allah, Gus." hanya itu yang bisa diucapkan oleh Ning Hawa, ia tak tahu harus menjawab bagaimana lagi.

"Oh iya, Ning. Saya juga mau meminta maaf ke njenengan atas apa yang saya perbuat di masa lalu, saya dulu nggak memikirkan bagaimana perasaan njenengan. Dulu saya terlalu kuekeh pengen kuliah dan nggak mau nikah sebelum lulus, saya menyesali perbuatan, saya, Ning. Kita harus menyelesaikan permasalah ini, agar tidak menghilangkan silahturahim yang telah dijalin oleh keluarga kita sebelumnya." ucap Gus Hamam tulus meminta maaf kepada Ning Hawa.

"Gus, sebelum njenengan meminta maaf ke saya, saya sudah memaafkan njenengan jauh-jauh hari. Bagaimanapun juga kita harus melanjutkan hidup, kan? Kita harus menentukan kehidupan kita masing-masing, biar Allah yang menentukan jalan kita. Lagi pula, njenengan mau nikah, kan? Masya Allah, semoga di lancarkan ya. Dan semoga saya bisa menyusul secepatnya." tanya Ning Hawa.

Gus Hamam menatap langit, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Ning Hawa, "Nggih Ning, aamiin. Semoga njenengan mendapatkan pengganti yang lebih baik dari saya." ucap Gus Hamam sambil tersenyum.

Ku Tunggu Qolbitu mu, Gus!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang