"Iya, ibu, Anta udah sampai ini, nanti Anta cari." Antariksa turun dari mobilnya, dan melangkah ke toko bahan kue untuk membeli beberapa titipan ibunya. Meski sudah beberapa kali mengantar ibunya ke toko ini, dan diberitahu jenis bahan kue yang sering ibunya pakai, saat datang sendiri seperti ini tetap saja dia bingung.
Ingin meminta tolong salah satu pelayan toko, tetapi semuanya sedang sibuk melayani pelanggan. Antariksa pun berdiri di depan rak tepung, mencoba mencari tepung yang ibunya inginkan. Di depannya banyak sekali jenis tepung, tetapi ibunya tidak menuliskan dengan spesifik tepung apa yang diinginkan.
"Kalau bikin kue biasanya tepung yang mana, Mbak?" Antariksa menanyakan hal itu pada orang yang baru saja datang ke sampingnya. Antariksa pikir itu adalah salah satu pelayan toko yang akan membantunya memilih bahan, siapa yang menyangka jika kini yang berdiri di sampingnya adalah Marisha. Dari cara wanita itu yang terkejut saat melihatnya, sepertinya Marisha juga tidak menyadari keberadaannya kini.
"Terigu mungkin," jawab wanita itu canggung, lalu mengambil satu terigu yang mungkin sedang Antariksa cari. "Ini."
Antariksa tersenyum tipis, lalu mengucapkan terima kasih. "Tunggu, Ris," ujar laki-laki itu saat Marisha sudah ingin pergi. "Bisa, bantu sebentar?" tanya laki-laki itu ragu.
Awalnya Marisha hanya tertegun, tetapi selanjutnya menganggukkan kepalanya. Dan meminta daftar barang yang akan Antariksa beli. Dengan seperti ini, mungkin dia bisa menghapus sedikit demi sedikit perasaannya terhadap laki-laki ini. Menghindar bukan cara yang benar karena tempat usaha yang mereka sedang geluti pun berdampingan. Jadi, alih-alih menghindar lebih baik memperbanyak interaksi seperti ini, anggap saja sebagai latihan untuk membiasakan perasaan dan menganggap laki-laki ini sebagai teman lama.
Antariksa yang mendapati Marihsa mau membantunya diam-diam tersenyum senang. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan sebenarnya saat meminta bantuan pada Marisha. Dan sebenarnya Antariksa juga bingung kenapa wanita yang tengah berjalan di depannya ini mau membantunya.
"Ini yang terakhir," ujar Marisha sembari meletakkan mentega sebagai bahan terakhir yang tertulis di pesan.
Antariksa yang diam-diam mencuri pandang ke wajah Marisha sedikit tersentak saat wanita itu tiba-tiba berbalik dan meletakkan bahan terakhir ke keranjang yang dibawanya kini.
"Ada lagi?" tanya Marisha untuk sekadar memastikan jika pertolongannya sudah tidak dibutuhkan. Kesempatan itu dia gunakan untuk menatap wajah Antariksa yang kini mengarah padanya. Namun, saat perasaannya mulai berulah wanita itu memilih untuk membuang pandang.
"Udah semua, terima kasih banyak." Antariksa segera memutar langkah saat Marisha memberikan anggukan. Wanita itu tidak mau menatapnya, hal yang membuat hati Antariksa merasa kecewa. Namun, laki-laki itu mencoba mengabaikannya dan berjalan terus menuju kasir.
Sementara Marisha yang sejak tadi tanpa sadar selalu menahan napas setiap kali aroma Antariksa terhidu di indera penciumannya, akhirnya bisa bernapas lega saat laki-laki itu menjauh. Rasanya sungguh sulit untuk bersikap biasa saja pada seseorang yang kini masih merajai hatinya.
*
Antariksa kembali tertegun saat melihat sosok Marisha masuk ke dalam kedai kopi tempatnya menghilangkan penat sejenak. Secangkir kopi hitam kini ada di hadapannya. Namun, sepertinya minuman pahit itu tidak bisa mengalihkan, atau membantu dirinya menenangkan diri. Setiap kali sosok Marisha terlihat, jantungnya masih saja terus berulah. Memilih untuk pura-pura tidak melihat, laki-laki itu memutuskan melempar pandang ke luar jendela kedai yang langsung mengarah ke jalan.
Bukan hanya Antariksa yang terkejut, Marisha pun tampak syok saat kembali melihat sosok Antariksa kini duduk di salah satu meja kedai kopi. Dan yang membuat wanita itu tidak bisa untuk tenang adalah posisi duduk mereka yang berhadapan. Meski terhalang beberapa meja, tetapi jika Antariksa menatap ke depan, maka mereka akan saling berhadapan. Maka sebelum laki-laki itu menyadari keberadaannya, Marisha memutuskan untuk berpindah posisi menjadi membelakangi Antariksa.
Antariksa yang melihat Marisha berpindah posisi duduk diam-diam menunjukkan senyuman. Hanya melihat punggung wanita itu saja hatinya sudah mampu bergetar. Mendesah lelah, dia memilih untuk kembali melempar pandang ke luar jendela, meski sesekali matanya terus saja terseret untuk menatap punggung wanita yang juga tengah menatap jendela kedai itu.
Mata keduanya beralih fokus saat seseorang masuk ke pintu kedai, menyebabkan gemerincing lonceng yang sengaja dipasang di atas pintu berbunyi. Awalnya dua pasang mata itu tidak peduli, mencoba mengalihkan pandang kembali pada jalanan yang terlihat di samping kedai, tetapi saat merasa sosok dengan hijab itu sangat familier, maka mata keduanya melebar saat itu juga.
*
"Viona!" Marisha yang bereaksi saat menyadari wanita dengan hijab warna cokelat itu ternyata adalah sahabat yang selama ini tidak dia dengar kabarnya.
Viona yang berniat untuk pergi pun urung saat mendengar panggilan sahabatnya itu. Mata wanita itu menatap Marisha yang tengah melangkah mendekatinya, juga laki-laki yang berada jauh di belakang sahabatnya itu bergantian. Mengapa kedua manusia ini duduk begitu jauh? Dan bersikap seperti orang asing.
"Vi, kamu ke mana aja?" Marisha memegang lengan Viona yang saat ini berpenampilan jauh lebih tertutup. Bahkan wanita ini mengenakan hijab untuk menutupi kepalanya. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Semenjak hubungan mereka merenggang, satu sama lain putus hubungan begitu saja.
Viona menunjukkan senyuman tipis, kembali menatap sosok Antariksa yang kini tampak melempar pandang ke arah lain. "Aku nggak ke mana-mana, hanya pindah rumah."
Marisha ikut menatap sosok yang sejak tadi terus diawasi oleh Viona. "Kita cari tempat ngobrol lain?" Berada di tempat ini tidak akan menyenangkan, mereka tidak mungkin bisa mengabaikan sosok Antariksa.
Viona yang sebenarnya bingung memilih mengangguk dan mengikuti langkah Marisha yang kini menarik lengannya.
*
"Bukannya kamu sama Regi ...." Viona tidak bisa melanjutkan kalimatnya, ada kecewa yang hadir setiap kali mengingat berita yang didengarnya itu. Namun, rasa kecewa itu bukan dirinya tujukan untuk Marisha, melainkan untuknya sendiri atas kesalahan di masa lalu yang menyebabkannya kehilangan sosok spesial seperti Antariksa.
Marisha menunjukkan senyuman sendu, lalu menjawab, "Perjodohan kami batal." Menghela napas, wanita itu melanjutkan, "Dia udah bertekad nggak akan pernah mau deket sama salah satu di antara kita lagi."
Viona tentu saja terkejut, rasa bersalah yang menggerogoti hatinya kian parah. Ini semua akibat kesalahan yang diperbuatnya, hingga menyeret Marisha untuk ikut menanggung akibatnya. "Maaf, Ca, ini semua salahku."
Marisha menggeleng cepat, tidak mau Viona kembali menyalahkan diri sendiri. Dia tidak tahu kehidupan seperti apa yang kini Viona jalani, tetapi melihat pandangan matanya yang sayu, Marisha tahu jika hidup Viona tidaklah mudah. Sorot angkuh dan percaya diri yang dulu sering terlihat itu tidak lagi ada. Viona seperti bukan sosok Viona yang dia kenal.
"Bukan cuman kamu, aku sama Marsya juga salah. Jadi lebih baik kita nggak lagi nyalahin diri sendiri." Marisha menggenggam jemari Viona yang kini bertautan resah di atas meja.
"Kalau hubungan kalian berakhir, lalu yang tadi itu?" Viona penasaran dengan apa yang terjadi tadi antara Marisha dan Antariksa. Kenapa keduanya bisa duduk di kedai kopi yang sama, tetapi menempati meja yang berjauhan?
Marisha menunjukkan senyuman masam. "Kami selalu dipertemukan secara nggak terduga kayak gitu."
"Apa udah nggak ada harapan untuk kamu perjuangin dia?" Marisha terlihat jatuh cinta pada Antariksa, begitupun sebaliknya. Sorot yang tadi Antariksa beri untuk Marisha juga tidak biasa.
Marisha menggeleng lemah. "Dia udah ada gadis lain, dan aku pun udah ada laki-laki lain. Jadi lebih baik begini, daripada bersama tapi dia selalu tersakiti."
Viona bisa merasakan kesedihan itu, dan sebagai sahabat dia hanya bisa mendukung keputusan yang Marisha ambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)
RomanceAntariksa merasa terjebak dalam perjodohan yang ibunya buat. Hal klise yang tidak bisa dihindarinya karena belum juga bisa membawa calon istri sampai pada waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, dirinya harus menghadapi calon istri yang tidak dii...