Bab 28. Fakta tentang Yasmin

286 12 0
                                    

Antariksa mampu mengembus napas lega saat sayatan di nadi Yasmin tidak dalam, dan tidak memberi gadis itu cedera yang serius. Yasmin ternyata memang benar-benar sakit, sering melakukan banyak hal konyol bahkan menjurus ke berbahaya jika merasa terancam. Juga saat ketakutan akan ditinggalkan oleh orang yang disayanginya.

"Dulu dia nggak seperti itu," lirih Winda sembari menatap prihatin tubuh anaknya yang kini terbaring lemah di klinik terdekat. Yasmin memang selalu akan seperti itu jika merasa orang yang disayanginya akan meninggalkannya.

Antariksa yang mendengar ucapan lirih ibu Yasmin segera menoleh. Dan saat melihat wanita itu terlihat begitu terpukul untuk kejadian ini, laki-laki berkaus hitam itu segera mengajak ibu Yasmin untuk mencari tempat duduk.

"Apa yang nyebabin Yasmin bisa kayak gini, Tante?" tanya Antariksa hati-hati. Sengaja duduk menghadap ke arah pintu tempat Yasmin terbaring agar tahu saat gadis itu sadar.

"Satu setengah tahun yang lalu, dia dengan ayah dan juga teman dekatnya mengalami kecelakaan," jelas Winda sembari menghela napas. Mengingat hari itu sama saja membuka kembali luka yang sudah berhasil sembuh meski belum seutuhnya. Namun, demi Antariksa bisa mengerti kondisi Yasmin saat ini, maka dia harus menceritakan apa yang pernah menjadi tragedy hari itu.

"Teman dekatnya meninggal di tempat, sementara ayahnya sempat dilarikan ke rumah sakit. Tapi sayangnya hanya bisa bertahan dua hari, beliau juga meninggal." Winda menitikkan air matanya, tetapi langsung dihapus.

"Beberapa bulan Yasmin mengurung diri di kamar. Nggak mau berinteraksi dengan siapa pun. Hari itu seharusnya dia mendaftar di sebuah universitas untuk melanjutkan pendidikannya, tapi Tuhan ternyata memiliki kehendak lain." Winda mengucurkan air matanya. Tidak hanya Yasmin yang terguncang hari itu, tetapi sebagai seorang ibu dia harus bisa lebih tegar. Apalagi Yasmin kehilangan dua orang penting dalam hidupnya sekaligus.

Antariksa yang mendengar cerita itu mulai mengerti apa yang terjadi pada Yasmin. Ditatapnya gadis yang kini masih terbaring dengan mata tertutup di kejauhan sana.

"Tante hanya ibu rumah tangga biasa. Setelah ayah Yasmin meninggal perekonomian kami hancur. Hidup kami yang berkecukupan harus lenyap saat itu juga," lanjut Winda lagi. "Semenjak pindah ke rumah yang sekarang, Yasmin memang tidak lagi mengurung diri. Bahkan dia selalu bekerja keras untuk mencari uang. Dia juga menyuruh adiknya untuk kuliah. Tapi ternyata di balik ketenangannya itu dia masih menyimpan luka yang begitu dalam."

"Maaf sebelumnya. Apa dia pernah dibawa ke psikiater?"

"Sudah, saat sadar dia punya keanehan banyak teman ayahnya yang bantu Tante untuk bawa Yasmin ke psikiater, dan Tante kira dia benar-benar udah sembuh. Tapi saat mulai menceritakan Nak Anta, Tante merasa kalau dia belum benar-benar sembuh." Winda saat itu hanya curiga, karena Yasmin sering terluka dan bahkan kemarin tidak pulang dengan alasan menginap di rumah temannya. Namun, akhirnya Winda tahu jika kondisi anaknya masih sama, dia masih begitu sakit dan kini melampiaskannya pada Antariksa.

"Saya ikut sedih untuk kondisi Yasmin. Tapi saya benar-benar tidak bisa bantu apa-apa Tante." Antariksa tidak mau ikut campur lebih setelah ini. Dia yakin ibu Yasmin memiliki cara untuk mengatasi penyakit anaknya ini. Terdengar egois memang, tetapi dia tidak paham apa pun tentang ilmu psikologis, dan membantu Yasmin dengan ketidaktahuannya ini sama saja bunuh diri.

"Saat ini saya sedang memperjuangkan seorang wanita yang saya cintai. Dan jujur saja, kehadiran Yasmin agak menganggu saya," lanjut Antariksa berharap ibu Yasmin mau mengerti kondisinya.

Winda mengangguk paham untuk apa yang Antariksa katakan. Bukan salah laki-laki ini tidak mau membantunya. Memang seharusnya dia yang menjaga anaknya agar tidak kembali berulah. Bukan tanggung jawab siapa pun untuk menolong Yasmin.

"Tante mengerti Nak Anta. Tante minta maaf sekaligus terima kasih pada Nak Anta untuk hari ini."

Antariksa mengangguk, dan segera bangkit dari duduknya. "Saya juga minta maaf karena nggak bisa nganterin Tante dan Yasmin pulang. Tapi saya sudah memesan taksi di luar."

Winda mengangguk dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Tidak berusaha menahan saat Antariksa pamit pulang. Dia tidak boleh menahan laki-laki itu karena jelas tidak memiliki perasaan sedikit pun pada Yasmin.

"Ma!" Panggilan itu menyentak fokus Winda yang sedang menatap punggung Antariksa saat laki-laki itu bergerak menjauh. Segera didekatinya sosok sang putri yang kini sedang terduduk dengan wajah bingung di ranjang klinik.

"Kamu udah sadar, Sayang?" Winda mengatur ekspresinya agar tidak terlihat khawatir.

Yasmin tidak menjawab karena gadis itu sedang berusaha mengingat apa yang terjadi padanya. "Kak Anta mana?" tanyanya panik saat sadar seharusnya ada Antariksa di sekitarnya.

"Dia sudah pulang, katanya ada urusan." Winda tidak boleh membahas apa yang seharusnya dilakukan. Harus menunggu waktu tepat karena dengan kondisi Yasmin yang seperti sekarang ini akan sedikit sulit untuk diajak berkomunikasi. Dan jika salah berbicara, takutnya putrinya akan melakukan tindakan nekad lagi.

"Kita juga harus pulang. Di depan ada taksi nunggu, tadi Nak Anta yang pesenin." Winda mengatakan itu sembari tersenyum, tetapi langsung memudarkan senyumnya saat sadar jika kalimatnya salah. Apalagi saat melihat bibir anaknya yang tersungging lebar saat ini.

*

Antariksa mengacak rambutnya frustasi. Benar-benar merasa sial karena berkenalan dengan gadis seperti Yasmin. Ada sedikit empati yang muncul saat mendengar cerita di balik kondisi yang Yasmin alami saat ini. Namun, seperti yang dikatakannya pada ibu Yasmin tadi, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menolong gadis itu.

Antariksa memutuskan untuk pergi ke rumah makan Marisha terlebih dulu. Berharap wanita itu masih di sana dan bisa diajaknya untuk berbicara. Dan saat terlihat masih ada sedikit cahaya di dalam rumah makan itu, Antariksa pun segera turun.

"Sha!" Diketuknya pelan pintu rumah makan yang sudah tertutup. Saat tidak mendapat respon laki-laki itu mencoba menghubungi nomor Marisha. Beruntung aktif dan diangkat.

"Aku di depan," ujar laki-laki itu pada Marisha yang langsung menutup teleponnya. Tidak lama, wanita itu keluar dengan aura lelah yang nyata ditujukan untuknya.

"Ada apa?" tanya Marisha tanpa basa-basi. Bahkan saat menanyakan itu Marisha tidak menatap wajah Antariksa sama sekali. Wanita itu menyibukan diri mengunci pintu rumah makan.

Antariksa menghela napasnya, ditatapnya sosok Marisha dengan pikiran kalut saat ini. "Maaf karena Yasmin udah ganggu kamu."

"Kami cuman ngobrol." Marisha masih enggan menatap wajah Antariksa. Tangannya yang sudah selesai menggembok pintu kini mencari kunci mobil di dalam tasnya.

Antariksa yang mengerti jika kini kondisi hati Marisha tidak baik-baik saja mencoba maklum untuk sikap yang wanita ini tunjukkan. Dan lagi dia memang pantas mendapat perlakuan semacam ini. Apa kiranya yang Yasmin katakan pada Marisha? Sesuatu yang menyakitkan kah?

"Tadi—"

"Dia minta aku jauhin kamu," potong Marisha cepat. Dan merasa lega karena kunci mobilnya sudah ditemukan.

Antariksa hanya diam mendengar kalimat itu. Membiarkan Marisha melanjutkan kalimatnya yang sepertinya belum usai.

"Aku rasa dia butuh kamu dan—" Kalimat yang Marisha ucapkan tidak pernah tuntas karena dengan gerakan yang begitu cepat, Antariksa mendekat, lalu memeluk tubuhnya begitu saja. 

PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang