Marisha sedang menunggu taksi online pesanannya saat mobil yang sangat familier di matanya, tiba-tiba berhenti di depannya. Sosok Restu muncul dari pintu mobil yang terbuka. Senyuman hangat seperti biasa laki-laki itu tunjukkan.
"Mau ke resto?" tanya laki-laki itu yang dibalas anggukan oleh Marisha. Meski sudah memutuskan untuk membuka hati, tetapi ada keraguan dan rasa enggan yang selalu mampir ke hati Marisha setiap kali harus berinteraksi dengan laki-laki ini.
"Mas Restu ada perlu dengan saya?" Marisha juga belum sepenuhnya bisa menghapus kesan formal pada sikapnya. Kebiasaan tidak mungkin dihapus begitu saja, bukan? Apalagi penampilan Restu yang selalu tampak rapi, membuat Marisha sering merasa sungkan.
"Tadi habis nganter Queen, terus iseng-iseng lewat sini." Restu mengamati gesture Marisha yang selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka berinteraksi. Namun, wanita ini tidak berupaya menghindarinya, maka Restu pun tidak akan memutuskan untuk mundur. Dia akan berhenti jika Marisha mengatakan untuk berhenti.
"Saya antar aja, ya?" tawar Restu untuk menghapus kecanggungan yang ada. Dan memang ini juga tujuannya melewati tempat ini, padahal bukan rutenya untuk menuju kantor tempatnya bekerja. Restu adalah seorang pengusaha muda yang bisa dibilang cukup sukses saat ini. Hanya saja kesuksesan itu terasa hampa karena di hidupnya hanya ada Queen. Dia memerlukan pendamping, dan Marisha adalah satu-satunya kandidat yang disukai anaknya. Dan Restu yakini bisa menjadi ibu sambung yang baik untuk putri semata wayangnya.
"Saya sudah pesen taksi online." Jawaban Marisha muncul bersamaan dengan sebuah mobil yang berhenti di dekat tempat mereka berdiri.
"Ini?" Restu menunjuk mobil tersebut, dan saat Marisha menganggukkan kepalanya, laki-laki itu malah menghampiri taksi online tersebut. Tampak memberikan sebuah uang dan penjelasan, lalu taksi online itu pergi begitu saja.
"Sudah saya bayar, jadi dia nggak rugi. Dan kamu bisa saya antar," jelas Restu untuk memutus kebingungan Marisha.
Meski sebenarnya enggan, Marisha memaksakan dirinya untuk tersenyum, lalu tidak memberi komentar apa pun saat laki-laki itu mengisyaratkannya untuk masuk ke mobil. Seperti biasa, Restu akan memperlakukannya dengan begitu lembut. Membukakan pintu mobil untuknya, memayungi kepalanya menggunakan telapak tangan agar kepalanya tidak terbentur, dan setelah memastikan dia duduk dengan aman, baru pintu mobil ditutup. Sungguh satu hal yang akan membuat wanita lain iri. Namun, sayangnya sikap lembut itu belum bisa menyentuh hati Marisha sedikitpun.
*
"Queen terus nanyain kamu," ujar Restu saat mobil mulai melaju, meninggalkan komplek perumahan Marisha. "Nanti pulang sekolah, boleh saya ajak mampir ke resto kamu?"
Marisha menoleh sekilas pada Restu, dan saat laki-laki itu meliriknya sekilas, Marisha menganggukkan kepalanya. "Boleh," jawabnya singkat. Bingung harus berkata apalagi.
"Setelah itu saya ada pekerjaan sebentar. Kalau kamu nggak sibuk, saya mau titip Queen sebentar karena susternya hari ini izin," ujar Restu agak ragu. Sebenarnya ini rencana putri kecilnya, katanya mau mendekatkan diri dengan Marisha. Siapa tahu bisa mengambil hati wanita di sampingnya ini. Queen memang kadang sudah berpikir lebih dewasa dari usianya.
Marisha tampak berpikir, sebelum akhirnya mengangguk lagi dengan senyuman tipis. "Boleh, Queen anaknya anteng. Nanti saya jagain."
Restu tersenyum lega mendengar jawaban itu. Dan selanjutnya suasana mobil hening. Masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Marisha yang tampak lebih senang menatap pemandangan di luar jendela, sementara Restu fokus pada kemudinya. Namun, sesekali mata itu melirik ke arah Marisha. Dalam hati terus merapal doa semoga pintu hati wanita ini bisa terketuk, dan mau menerima kehadirannya dan Queen sepenuhnya.
Mobil yang Restu kendarai tidak lama berhenti di depan rumah makan tempat Marisha menjalankan usahanya. "Jangan dibuka dulu," ujar Restu saat tangan Marisha sudah meraih handle pintu mobil. Dan setelah Marisha menarik tangannya, laki-laki itu segera turun, memutari setengah badan mobil, lalu membukakan pintu bagian penumpang.
"Mas Restu nggak perlu kayak gini sebenarnya." Marisha bukannya tidak senang, hanya saja perasaannya tidak nyaman mendapat perlakuan manis itu, sementara hatinya belum terbuka sedikitpun untuk laki-laki ini.
"Ini adalah salah satu cara saya mengambil hati kamu. Jadi tolong jangan ditolak, karena saya nggak akan memperlakukan semua wanita dengan cara yang sama." Restu mengatakan itu dengan senyum tulus. Lesung pipi yang tercetak di kedua sisi wajahnya membuat laki-laki itu sungguh enak dipandang. Namun, hanya sebatas itu, Marisha belum bisa merasa lebih.
"Saya—" Kalimat Marisha terputus saat tiba-tiba saja sebuah mobil tampak melaju kencang, lalu terdengar suara kaklson yang begitu memekakkan telinga.
"Anak jaman sekarang seringnya begitu kalau di jalan. Ugal-ugalan seperti punya nyawa sembilan." Restu menggelengkan kepalanya merasa miris dengan tingkah laku orang macam itu. Seperti tidak takut nyawanya atau nyawa orang lain melayang karena satu kecerobohan.
Marisha tidak ikut berkomentar karena dia sedang berusaha mengenali mobil itu. Sangat tidak asing. Dan jika dia boleh menebak, itu adalah mobil Antariksa. Apa sebenarnya yang sedang laki-laki itu lakukan?
*
"Kenapa harus saya yang ngomong, kenapa bukan kamu aja?" tanya Antariksa pada Lili yang kini tengah menepuk keningnya dengan cara dramatis.
"Mas Anta ini gimana, si. Kan situ yang punya dealer. Sopan banget kalau saya yang minta izin." Lili mati-matian menahan tawa saat mengatakan itu. Sebenarnya bisa saja dia atau pun Joko yang datang menemui Marisha, tetapi entah mengapa gadis itu yakin sebenarnya Antariksa membutuhkan alasan untuk bisa bertemu dengan Marisha. Jadi karena dia baik hati, maka diserahkannya tugas sepele ini pada bosnya.
Antariksa mengembus napas kesal, tetapi tetap mengayunkan langkah ke arah rumah makan milik Marisha. Tujuannya adalah meminta izin untuk memasang plang nama dealernya di samping rumah makan wanita itu agar lebih terlihat. Sebenarnya tidak izin juga tidak masalah karena kawasan yang akan Antariksa pakai untuk memasang plang baru, masih berada di tanah yang dia sewa, tetapi mungkin plang nama dealernya akan menutupi plang rumah makan milik Marisha. Dan wanita itu harus menggeser sedikit plang namanya agar tidak tertutup.
"Marishanya ada?" Jantung Antariksa sudah bertalu hebat hanya karena menyebutkan nama itu. Ingin sekali laki-laki itu kembali dan meminta Joko atau pun Lili untuk menggantikannya. Akan tetapi, tidak—dia bukan pengecut, lagi pula apa alasan yang membuatnya harus takut bertemu dengan wanita itu? Dia harus bersikap biasa saja karena mereka tidak memiliki hubungan apa pun saat ini. Dan lokasi tempat usaha yang mereka rintis bersebelahan. Sewaktu-waktu akan bertemu meski tanpa sengaja, jadi dirinya harus membangun hubungan baik dengan wanita itu, bukan?
"Sebentar, ya, Mas, saya panggilin." Antariksa hanya mengangguk sebagai jawaban, dan pegawai Marisha tampak masuk untuk memanggil bosnya. Tidak lama, sosok yang Antariksa tunggu keluar dengan wajah bingung.
Bisa Antariksa rasakan jantungnya yang kembali berulah saat wajah cantik itu terlihat. Hari ini Marisha terlihat feminin seperti biasanya. Rambut panjangnya yang lurus tergerai begitu saja seperti biasanya. Hanya saja, senyum yang biasa muncul itu tidak lagi ada. Dan Antariksa bingung kenapa hatinya harus kecewa karena wanita itu sama sekali tidak menunjukkan senyum saat pada akhirnya mereka berdiri berhadapan. Tidak, dia bukannya tidak paham, Antariksa hanya sedang menutupi perasaannya.
"Ada apa, Re?"
Antariksa mengerutkan kening saat Marisha kembali menggunakan panggilan itu. Belum sempat laki-laki itu menjawab, teriakan seorang anak kecil menggema dari pintu masuk. Dan saat kepalanya menoleh ke sumber suara, seorang laki-laki dengan putri kecilnya tengah berjalan masuk. Antariksa tahu persis bagaimana rasanya patah hati, tepat seperti yang dirinya rasakan saat ini. Jika sekarang rasa itu memiliki suara, pasti sudah menunjukkan bunyi yang memekakkan telinga semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)
RomanceAntariksa merasa terjebak dalam perjodohan yang ibunya buat. Hal klise yang tidak bisa dihindarinya karena belum juga bisa membawa calon istri sampai pada waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, dirinya harus menghadapi calon istri yang tidak dii...