Marisha terus memandangi sosok Antariksa yang kini duduk di depannya. Untuk menghangatkan badan, keduanya memutuskan untuk membeli wedang ronde yang kini sudah tersedia di depan masing-masing.
"Kamu kenapa bisa di sini?" tanya Marisha sembari menyeruput wedang ronde hangat dengan sendok. Mencoba menutupi rasa malu karena sejak tadi terus menatap sosok itu. Marisha masih takut jika yang berada di depannya ini bukan Antariksa asli, melainkan halusinasinya yang berubah kian nyata. Namun, uluran jemari yang kini meremasnya itu meyakinkan Marisha jika sosok di depannya nyata.
"Aku—" Ucapan Antariksa terpotong saat Marisha menarik jemarinya. "Aku sengaja nyusulin kamu."
Marisha yang tidak berpikir Antariksa akan menyusul ke kota ini memang tidak memberi pesan apa pun pada pegawainya. Jika tahu seperti ini, dia akan meninggalkan pesan untuk tidak memberitahu laki-laki ini kebaradaannya kini. Rencana menenangkan diri di Jogja rasanya semakin terasa mustahil untuk terlaksana. Walaupun tanpa Antariksa datang juga sebenarnya rencana menenangkan diri sudah tidak berjalan lancar karena bayangan Antariksa terus menginterupsi hari yang Marisha lalui.
"Mau ngapain?" Marisha sengaja memberikan sikap ketus untuk melindungi hatinya yang mulai memunculkan harap kembali. Dia hanya takut kembali terluka jika harapan yang ada itu terhalang oleh sesuatu yang tidak diinginkan. Dan kali ini, penghalang yang ada di hadapan mereka tidak sesederhana keegoisan Antariksa dulu.
Antariksa tidak langsung menjawab, melainkan kembali berusaha menggenggam jemari Marisha. Berhasil, dan sengaja ditahannya saat wanita itu ingin menariknya.
"Buat perjuangin kamu lagi." Antariksa memberikan senyum penuh ketulusan. Berharap apa yang kini ada di hatinya bisa dirasakan oleh Marisha.
Marisha tampak menghela napas, membiarkan jemarinya terus digenggam oleh Antariksa karena tenaga laki-laki itu bukan lawannya. Dan lagi, sebenarnya ada ketenangan yang tercipta saat jemari besar Antariksa merangkum jemarinya.
"Jangan ngomongin hal yang pada akhirnya hanya nyakitin kita, Ta." Marisha benar-benar sudah lelah untuk memupuk harapan baru yang tidak jelas ujungnya.
Antariksa mencoba memahami sikap Marisha yang terkesan tidak mau memberinya kesempatan. Tidak apa-apa jika wanita ini tidak lagi percaya padanya. Tugasnya hanya perlu meyakinkan Marisha, jika kini dia sungguh-sungguh.
"Yasmin sudah dibawa pergi sama ibunya." Satu informasi penting yang Antariksa yakini akan menjadi berita baik untuk Marisha. "Ibunya bilang, kalau ada saudara yang bakalan biayain pengobatan mental Yasmin. Beliau sekeluarga mutusin buat pindah ke luar kota."
Marisha mengerjabkan matanya, merasa bersalah untuk rasa lega dan bahagia yang menyelinap hadir di hatinya. Tidak seharusnya dia bahagia di atas penderitaan Yasmin. Namun, dia hanya manusia biasa yang akan merasa bahagia saat apa yang diinginkannya terwujud. Yasmin memang penghalang terberat di antara hubungannya dengan Antariksa.
"Jadi, tujuan aku nyusulin kamu ke sini adalah buat yakinin kamu kalau aku kali ini sungguh-sungguh buat perjuangin hati kamu. Kamu, mau kasih aku kesempatan, kan?"
Marisha sebenarnya ingin sekali mengangguk. Apalagi saat melihat sorot harap itu terpancar jelas di mata Antariksa yang kini memusatkan penuh perhatian padanya. Namun, jika dia mengiyakan dengan mudah, tidak akan memberi pelajaran pada Antariksa.
"Kita liat sejauh mana kamu bakalan perjuangin aku." Setelah mengatakan itu Marisha bangkit dan meninggalkan Antariksa yang masih tampak mencerna jawabannya.
*
Marisha menahan bibirnya untuk tidak tersenyum saat pagi-pagi sekali Antariksa sudah berada di depan kamar hotelnya. Mereka menempati kamar sama seperti saat dulu di Jogja. Seperti, keduanya memang sudah ditakdirkan untuk mengulang waktu, demi membingkai kenangan baru untuk memulai hubungan yang lebih baik. Dulu, perjalanan mereka di Jogja memupuk sebuah harap, tetapi sayangnya semua berakhir sia-sia karena keegoisan yang Antariksa junjung tinggi. Entah bagaimana sekarang cerita ini akan berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)
RomanceAntariksa merasa terjebak dalam perjodohan yang ibunya buat. Hal klise yang tidak bisa dihindarinya karena belum juga bisa membawa calon istri sampai pada waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, dirinya harus menghadapi calon istri yang tidak dii...