Bab 38. Bersikap egois

215 9 0
                                    

"Kamu mau jelasin?"

Marisha tidak bisa menjawab pertanyaan bernada lemah yang Antariksa lontarkan. Apa yang bisa dijelaskannya pada kondisi rumit seperti ini? Apalagi Queen kini tengah berada di sampingnya, apa yang harus dia katakan pada Antariksa?

"Sha," panggil Antariksa lagi, berharap ada penjelasan masuk akal yang bisa membuat kekecewaan di hatinya kini tersingkir untuk sejenak.

"Dia calon istri saya, calon ibu dari anak saya, apalagi yang perlu dia jelaskan?" Restu muncul memperparah keadaan. Laki-laki itu dengan sikap memiliki, sengaja merangkul pundak Marisha meski tahu jika wanita di sampingnya enggan diperlakukan seperti itu.

"Bener, Sha? Jadi aku udah kalah?" Antariksa terlihat begitu terluka saat ini. Andai saja Marisha mau berkata jika kesempatan untuknya masih ada. Sekecil apa pun celah yang dimilikinya, Antariksa masih akan terus berjuang.

"Maaf, Ta." Marisha tidak bisa memberi harapan apa pun lagi. Dia tahu tengah bersikap pengecut. Andai tidak ada Queen di antara mereka, tentu saja kondisinya tidak akan serumit ini. Marisha tidak mau membuat gadis itu terluka karenanya. Tidak, dia tidak bisa bertindak sejahat itu.

Antariksa tersenyum masam, lalu menganggukkan kepalanya. Seolah-olah paham betul dengan keputusan yang Marisha ambil. "Oke," katanya. Lalu dengan kekecewaan yang begitu menumpuk laki-laki itu mengayunkan langkah lemahnya untuk meninggalkan Marisha dan calon masa depan wanita itu. Benarkah kesempatannya sudah berakhir detik ini juga?

"Ca!" tahan Restu saat Marisha seperti berniat untuk mengejar Antariksa. Laki-laki itu mengisyaratkan untuk segera membawa Queen pulang. Marisha yang kesal pada dirinya sendiri hanya diam, menatap kepergian Antariksa dengan perasaan hancur.

'Maafin aku, Ta. Maaf.'

*

"Abang!" Reisa sengaja mengikuti abangnya yang terlihat terburu-buru keluar rumah tadi. Dia menyaksikan apa yang terjadi di lobby rumah sakit tadi. Dua kali, dia menjadi saksi kehancuran hati abangnya.

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Antariksa sembari melangkah ke arah mobilnya.

Reisa mengikuti langkah abangnya, lalu masuk ke kursi mobil bagian penumpang. Membiarkan saja saat abangnya tidak langsung menyalakan mesin, tetapi malah menelungkupkan kepalanya ke atas setir mobil.

"Kak Marisha terlihat tertekan juga tadi, aku bisa lihat dia juga terpaksa," ujar Reisa berusaha membuat abangnya untuk semangat. Meski dari kejauhan, tetapi dia bisa melihat Marisha yang tampak sedih saat berbicara dengan abangnya tadi.

"Abang tahu," bisik Antariksa yang menyadari jika keputusan tadi tidak Marisha ambil secara sukarela.

"Kenapa Abang nggak coba minta penjelasan sama dia?" Reisa benar-benar tidak terima jika hubungan abangnya dengan Marisha berakhir begitu saja padahal terlihat jelas keduanya saling mencintai.

Antariksa mengangkat kepalanya dari atas setir, lalu sembari mengembus napas panjang, dinyalakannya mesin mobil. "Waktunya nggak tepat. Abang nggak mau bikin dia tambah tertekan."

"Jadi Abang bakalan nemuin Kak Marisha lagi?"

"Abang belum tahu, pikiran Abang lagi kacau," jawab Antariksa sembari melajukan mobilnya.

"Harus temuin lagi, Bang. Kalian butuh komunikasi biar nggak salah paham."

Antariksa memilih mengangguk meski tidak tahu apa yang harus dilakukannya nanti. Biarkan dia menenangkan diri untuk sejenak saat ini.

*

Antariksa berusaha menemui Marisha lagi setelah hari itu. Apa pun hasilnya, dia harus bisa berbicara dengan wanita itu. Setidaknya mereka tidak berakhir dengan kebingungan seperti ini. Atau, jika masih ada kesempatan, Antariksa masih ingin memperjuangkan Marisha sekali lagi. Apa pun risikonya akan dirinya terima.

"Jangan ngehindar lagi, Sha!" Antariksa sengaja menunggu di depan rumah Marisha karena beberapa hari ini, wanita itu terus saja menghindarinya.

"Ta, please, jangan persulit aku."

"Aku cuman butuh waktu buat ngobrol sebentar saja, aku nggak berniat mempersulit kamu. Aku janji bakalan hargain apa pun keputusan kamu." Antariksa tentu saja ingin mendapat hasil terbaik untuk pertemuan ini. Namun, dia harus menurunkan ego sejenak saja agar Marisha mau berbicara dengannya.

Marisha yang tidak tega untuk mengusir Antariksa mempersilakan laki-laki itu untuk duduk di teras rumahnya. Mungkin mereka memang harus berbicara agar semua hal yang membingungkan terselesaikan.

"Aku tahu kamu terpaksa ngambil keputusan itu," ujar Antariksa memulai. Dia tidak memberi waktu Marisha untuk bersandiwara. "Jangan bilang nggak tahu apa yang aku maksud. Aku bisa lihat kamu terpaksa makai cincin itu karena anak dari laki-laki itu, kan?" Satu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Diamnya Marisha merupakan jawaban yang tidak terucap.

"Apa kamu nggak bisa bersikap egois? Kamu nggak bisa buat nggak mikirin gadis kecil itu?" Antariksa tahu hati Marisha begitu baik dan lembut. Menyakiti hati anak kecil tentu bukan perkara yang mudah. Walaupun harus mengorbankan perasaannnya sendiri, Marisha rela agar gadis kecil itu bahagia.

"Ini konsekuensi yang harus aku bayar, Ta." Marisha mulai bersuara, ditatapnya wajah Antariksa yang tampak bingung. "Aku yang udah kasih Queen harapan, dan mana mungkin aku bisa ngancurin harapannya gitu aja?"

Antariksa mencoba memahami apa yang Marisha pikirkan saat ini, tetapi gagal. Mungkin karena dia tidak sebaik wanita ini, dia masih merasa, seharusnya Marisha tidak perlu memikirkan perasan gadis kecil itu. Bukankah itu tugas Restu untuk membantu anaknya mengerti jika semua hal tidak bisa didapatkan?

"Aku yang sengaja membuka peluang untuk Mas Restu dah Queen masuk ke hidup aku. Dan sekarang, saat mereka sudah begitu berharap sama aku, mana bisa aku ngusir mereka begitu saja?"

Antariksa merasa tertampar dengan kalimat itu. Jika Marisha menyalahkan diri sendiri untuk peluang yang dibukanya, bukankah ini juga kesalahannya? Andai saja saat itu dia tidak pernah melepas Marisha, mungkin saat ini seharusnya masalah seperti ini tidak akan terjadi. Juga, Marisha tidak akan pernah membuka peluang untuk laki-laki lain masuk. Jadi, sebenarnya semua ini adalah kesalahannya.

*

"Ca."

Marisha yang sedang merenung di depan jendela kamarnya segera menoleh saat mendengar panggilan dari eyangnya.

"Ya, Yang?" jawab wanita itu seraya mendekati eyangnya, lalu memapah tubuh tua itu untuk duduk di tepi kasur.

"Nggak ada salahnya bersikap egois dalam situasi yang mendesak. Adakalanya kita harus memikirkan kebahagiaan kita sendiri," ujar eyang Marisha sembari mengusap cincin yang kini bertengger di jemari manis cucu angkatnya itu.

Marisha hanya diam, dia ingin sekali bersikap seperti itu. Namun, setiap kali membayangkan Queen yang menangis dan terluka, rasanya dia tidak sanggup melukai hati gadis kecil itu. Ini salahnya, salahnya karena memberi gadis kecil itu harapan untuk memiliki keluarga kecil yang utuh. Dan sekarang, mana bisa dia bersikap egois dengan memutus semua harapan yang sedikit lagi akan menjadi nyata?

"Kalau kamu memaksakan diri untuk ngejalanin hubungan yang nggak kamu kehendaki, pada akhirnya bukan cuman kamu yang akan terluka, tapi orang-orang yang ada di sekeliling kamu juga nggak akan merasa bahagia meski berhasil memiliki fisik kamu."

Marisha masih memilih diam, setidaknya dia benar-benar menyayangi Queen. Gadis kecil itu tidak akan merasakan keengganannya. Namun untuk Restu, dia tidak yakin bisa mengubah hatinya untuk menjadi milik laki-laki itu. Apalagi saat kedok Restu yang sesungguhnya sudah terbuka seperti ini. Rasanya, keinginan untuk belajar mencintai laki-laki itu tidak lagi ada walaupun sedikit saja.

"Jangan sampai kamu menyesali apa yang kamu pilih sekarang. Karena waktu nggak akan pernah bisa diulang ke masa lalu. Eyang mau melihat kamu bahagia di sisa hidup Eyang ini."

PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang