"Mbak Risa!"
Marisha yang baru saja membuka pintu mobil urung saat panggilan dari Lili terdengar. Gadis berhijab ungu itu tampak berlari dengan raut khawatir.
"Kenapa, Li?"
"Mas Anta kecelakaan, Mbak!"
Mata Marisha melebar saat itu juga, bayangan Antariksa yang berlumuran darah dengan mata terpejam segera menyergap isi otaknya.
"Sekarang kondisinya gimana, Li?" Tangan Marisha bahkan bergetar saat menanyakan hal itu.
"Katanya udah lewat masa kritis, tapi belum sadar." Lili tidak kalah terlihat khawatir.
"Kalau gitu sekarang kamu antar saya ke rumah sakit, ya."
Lili mengangguk dan keduanya bersiap untuk masuk ke mobil Marisha, tetapi rencana keduanya urung saat tangan Marisha dicekal oleh seseorang.
"Mulai besok kamu sudah harus dipingit, jadi nggak boleh ke mana pun." Sosok Restu kini berdiri di samping Marisha dengan sorot penuh ancaman di matanya.
"Tapi Anta kecelakaan, saya cuman mau tahu keadaannya." Marisha benar-benar kesal dengan sikap Restu yang terus saja mengatur kehidupannya bahkan di saat mereka belum sah menjadi suami istri.
"Kamu bisa hubungi keluarganya, dan tanyakan keadaannya. Kamu nggak punya kewajiban untuk melihat langsung kondisi orang yang nggak ada hubungan apa pun dengan kamu." Restu sebenarnya takut pernikahan yang sebentar lagi akan terlaksana batal jika Marisha masih menemui laki-laki bernama Antariksa itu.
"Kali ini aja, Mas, tolong jangan bersikap egois." Marisha menekan emosinya yang sudah siap meledak. Sesabar-sabarnya manusia pasti memiliki batas kesabaran.
"Saya janji nggak akan ketemu Anta lagi setelah ini, ini terakhir kali."
Restu mengerjab, mencoba membaca sorot mata yang kini Marisha tunjukan, adakah kejujuran di janji yang baru saja terucap?
"Mas!"
Sembari menghela napas, akhirnya Restu mengangguk. "Saya antar kamu."
"Mobil saya."
Laki-laki berkemeja biru itu tampak berpikir sebelum berujar, "Kalau gitu saya ikut kamu di belakang."
Tanpa berpikir panjang Marisha pun mengangguk dan segera mengajak Lili masuk ke mobil. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Juga tidak tahu apakah harus menepati janji yang diucapkannya pada Restu. Yang terpenting untuk saat ini adalah dia harus bisa melihat langsung kondisi Antariksa.
*
"Gimana kondisi Anta, Bu?" Marisha perlahan mendekat ke ranjang tempat Antariksa terbaring dengan mata terpejam. Ada ibu Antariksa dan adiknya yang tampak senang dengan kehadirannya. Padahal Marisha tadi sudah merasa takut jika kehadirannya tidak akan diterima dengan baik. Nyatanya, keluarga Antariksa memang selalu bersikap baik padanya dalam kondisi apa pun.
"Masih belum mau buka mata. Coba kamu ajak Anta ngobrol, siapa tahu dia mau denger dan mau buka mata," jawab Lestari dengan sorot penuh harap. Kehadiran Marisha benar-benar seperti secercah harapan yang Tuhan kirim untuk kondisi Antariksa yang belum jelas kepastiannya.
Marisha mendekat, duduk di tempat yang Reisa sediakan, sementara gadis itu beringsut mendekat ke arah ibunya.
Marisha tidak mampu berkata apa pun, hanya satu bulir bening yang kini jatuh dari pelupuk matanya, disusul bulir-bulir lain. Beberapa hari yang lalu, laki-laki ini masih memperjuangkannya, dan kini kondisinya tidak sadarkan diri dengan beberapa luka lecet yang terlihat melukai tangan dan juga wajahnya.
"Ta," bisik wanita itu sembari menggenggam jemari Antariksa dengan hati-hati, takut sentuhannya akan menyakiti Antariksa.
"Kak Marisha bisa tolong jagain Kak Anta bentar? Aku mau ajak ibu makan, soalnya dari tadi pagi ibu belum makan," ujar Reisa mengabaikan tatapan protes yang ibunya berikan.
Marisha segera mengangguk sembari mengusap air matanya. Sementara Lili yang sejak tadi diam ikut pergi dengan ibu Antariksa dan Reisa, sehingga kini hanya tinggal Marisha di kamar itu. Bulir bening kembali mengalir dari mata lentik itu. Bayangan Antariksa yang biasanya ceria hadir begitu saja. Juga senyum penuh kebahagiaan yang terukir di bibir laki-laki itu saat mereka menghabiskan waktu untuk berlibur kemarin. Rasanya ingin sekali mengulang waktu itu.
"Maafin aku, Ta," bisik Marisha lagi yang merasa sangat bersalah. Entah bagaimana kronologis kecelakaan yang menimpa laki-laki ini bisa terjadi, yang jelas Marisha merasa jika apa yang terjadi pada laki-laki ini adalah akibat dari sikapnya.
Sementara Restu yang diam-diam mengintip dari balik celah kamar rawat Antariksa merasakan sisi hatinya berdenyut nyeri. Sebentar lagi Marisha akan menjadi istrinya, tetapi sampai sekarang wanita itu belum atau malah tidak akan pernah memberikan hati padanya. Jadi, apakah keputusan egoisnya ini adalah sesuatu yang benar? Meski demi Queen, apakah ini bisa dibenarkan?
*
Marisha tidak beranjak sedikit pun dari sisi ranjang Antariksa. Entah mengapa rasanya sangat takut untuk pergi sebentar saja dari sisi laki-laki ini. Di kamar rawat kini ada saudara kembar Antariksa yang tampak lelah, Argantara tengah membaringkan tubuh di sofa sementara keluarganya yang lain pulang sebentar untuk bertukar pakaian serta beristirahat.
Rasanya baru saja Marisha memejamkan mata saat gerakan pelan itu terasa di genggaman tangannya. Marisha membuka perlahan matanya, lalu segera bangun saat ternyata tangan Antariksalah yang kini bergerak di genggaman tangannya. Dan bibir wanita itu tidak bisa untuk tidak melengkung sempurna saat momen yang ditunggu akhirnya tiba. Antariksa kini membuka mata, dan menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca.
"Anta sadar!"
Teriakan Marisha membuat Argantara tersentak dan segera bangun. Melihat Adik kembarnya benar-benar membuka mata, laki-laki ittu segera bangkit untuk memanggil perawat atau pun dokter.
"Ta, apa yang kamu rasain?" tanya Marisha sembari menggenggam jemari Antariksa. Namun, laki-laki itu hanya diam sembari menatapnya dengan ekspresi yang entah bisa diartikan dengan apa.
"Ta," panggil Marisha lagi saat Antariksa malah kembali memejamkan matanya tanpa bersuara.
"Aku pikir aku masih bermimpi," bisik Antariksa saat berhasil membuka matanya kembali. "Aku pikir kamu nggak nyata."
Marisha yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa tergeragap, dan mundur serta melepas jemari Antariksa saat dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi laki-laki itu.
"Kamu kalau capek bisa pulang dulu," ujar Argantara yang melihat wajah Marisha sedikit pucat. Namun, wanita itu malah menggelengkan kepalanya.
"Saya di sini sebentar lagi," katanya sembari menoleh ke arah Antariksa yang masih ditangani dokter. Dia tidak mau meninggalkan Antariksa karena takut tidak bisa bertemu laki-laki ini lagi jika sudah melangkah ke luar dari rumah sakit.
"Tapi kamu harus pulang." Bukan Argantara yang mengatakannya, melainkan Restu yang tiba-tiba saja sudah muncul.
"Tapi saya mau mastiin kondisi Anta dulu," kata Marisha sembari beringsut mundur saat Restu hendak meraih tangannya.
"Dia sudah sadar, harusnya kamu tidak perlu khawatir," ujar Restu dengan wajah kaku.
"Labih baik kamu pulang, kalau sampai kalian ribut di sini saya takut akan memengaruhi kondisi adik saya." Argantara menengahi sebelum terjadi perdebatan. Sebelum Antariksa menyadari kehadiran laki-laki lain di sisi Marisha. Namun, nyatanya saudara kembarnya itu sudah melihat semua hal yang terjadi dan kini tengah menatap kecewa Marisha yang nyatanya memang sudah menjadi milik laki-laki lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)
RomanceAntariksa merasa terjebak dalam perjodohan yang ibunya buat. Hal klise yang tidak bisa dihindarinya karena belum juga bisa membawa calon istri sampai pada waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, dirinya harus menghadapi calon istri yang tidak dii...