"Anta."
Antariksa yang sudah berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah berdecak pelan saat mendengar panggilan itu. Dia pikir orang rumah sudah tidur karena semua lampu sudah dipadamkan, dan waktu juga sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Siapa yang menyangka ibunya malah kini duduk di ruang tengah dengan memasang raut datar—terlihat mengerikan. Entah apa yang sudah terjadi, tetapi jika dia boleh menebak, sepertinya ini berhubungan dengan Marisha. Apa wanita itu sudah membatalkan perjodohan mereka?
"Ibu kok belum tidur?" Antariksa berusaha untuk bersikap biasa. Untuk menutupi kegelisahannya, laki-laki itu berjalan ke arah dispenser untuk menuang air, lalu duduk di hadapan ibunya yang tampak menunjukkan ekspresi tidak terbaca.
"Kamu udah ngantuk?"
Antariksa sebenarnya ingin mengangguk, dengan begitu bisa menghindar dari pembahasan yang sepertinya akan mengerikan saat didengar. Namun, menghindar setiap waktu rasanya tidak akan benar, itu kenapa Antariksa memilih untuk menggelengkan kepalanya. Sudah menyiapkan hati jika memang ibunya akan marah atau pun memberikan wejangan panjang lebar padanya.
"Kamu, beneran nggak mau nikah sama Marisha?" Lestari merasa tidak perlu berbasa-basi karena memang inilah yang harus dibahasnya dengan anak laki-lakinya ini.
Antariksa tahu seharusnya dia langsung mengiyakan, tetapi entah mengapa dia malah menundukkan kepala untuk berpikir. Benarkah dia tidak mau menikah dengan Marisha?
"Tadi eyang Marisha nemuin Ibu. Beliau bilang kalau Marisha ingin membatalkan perjodohan."
Kepala Antariksa langsung terangkat saat mendengar kalimat itu.
Kenapa dia harus terkejut? Kenapa juga hatinya harus merasakan kecewa? Kenapa—tidak, ini tidak benar, seharusnya dia merasa lega karena memang inilah yang diinginkannya.
"Nggak tahu kenapa Ibu nggak yakin kalau itu benar-benar keputusan Marisha. Apa kamu menekannya? Sampai dia harus ngambil keputusan kayak gitu?" Lestari tentu saja tidak asal menebak atau sedang asal menuduh putranya sendiri. Yang dia ingat dari Marisha, wanita itu terlihat senang dan antusias dengan perjodohan yang berlangsung, tetapi Antariksa yang terlihat tidak senang dan seperti terus berupaya untuk membatalkan rencana ini. Itu kenapa Lestari merasa yakin jika keputusan Marisha kali ini didorong oleh sesuatu, bukan karena keputusannya sendiri.
Antariksa mendesah pelan, sudah yakin dirinya yang akan disalahkan kalau perjodohan ini sampai batal. Padahal sudah jelas pihak Marisha yang ingin membatalkan, tetapi tetap kecurigaan itu mendarat padanya. Yah, walaupun memang tuduhan ibunya benar.
"Yang anak Ibu itu aku apa Marisha, sih, sebenarnya?" Antariksa pura-pura kesal, padahal kini hatinya sedang merasa bersalah.
Perasaan yang tentu saja tidak Antariksa inginkan. "Hari ini aku lihat dia jalan sama laki-laki lain. Bisa jadi itu laki-laki yang dia suka."
Lestari tentu saja tidak akan langsung percaya. Matanya mengamati setiap gerak-gerik putranya saat mengatakan informasi tersebut. Dari cara Antariksa yang langsung melempar pandang ke arah lain setelah mengatakannya, Lestari tahu anaknya yang satu ini tengah menyembunyikan sesuatu.
"Ya sudahlah, kalau memang begitu," ujar wanita itu pada akhirnya. Kalau memang anaknya benar-benar tidak mau dijodohkan, dia juga tidak bisa memaksa. "Ibu juga udah bilang ke eyang Marisha untuk batalin perjodohan kalau memang salah satu pihak merasa keberatan. Lagian keputusan yang kita ambil kemarin itu memang terburu-buru."
Antariksa memberikan senyuman tipis. Agak terkejut juga karena ibunya tidak memaksakan kehendak kali ini. Mungkin karena pihak Marisha yang membatalkan, jadi tidak ada alasan untuk mendesaknya kali ini.
"Lagian juga, kalau diterusin Ibu malah kasian sama Marishanya," ujar Lestari lagi. Antariksa yang mendengar kalimat itu tentu saja mengerutkan kening.
"Dia bisa stres ngadepin kelakuan calon suaminya yang agak antik." Setelahnya wanita berusia lima puluh tahunan itu pergi begitu saja, meninggalkan Antariksa yang melongo di tempat.
Antik katanya, laki-laki itu hanya bisa menggelengkan kepala. Padahal sifat antik yang dimilikinya ini menurun dari ibunya.
*
"Eyang sudah ngomong sama ibunya Anta soal pembatalan perjodohan."
Marisha yang sedang memijat kaki eyangnya seketika diam, wajahnya menunduk untuk menyembunyikan kesedihan yang langsung muncul. Dia tidak menginginkan ini, tetapi jika Antariksa merasa tidak bisa melanjutkan perjodohan, tidak ada yang bisa dilakukannya.
"Tadi Lestari agak berat buat ngelepas kamu, katanya kamu itu calon menantu potensial." Eyang Marisha tersenyum saat mengatakan hal tersebut. Marisha pun mau tidak mau ikut tersenyum karena mantan calon ibu mertuanya menyukainya. Namun, sayangnya Antariksa tidak bisa seperti itu.
"Tapi, ya, kalian nggak saling suka, percuma juga kalau diterusin. Yang ada malah baik kamu atau pun Antariksa akan terluka." Eyang Marisha menghela napas, merasa sedikit kecewa dengan apa yang terjadi. Dia sudah merasa lega saat menjodohkan Antariksa dengan cucu angkatnya ini.
Laki-laki itu dia yakini baik, dan seharusnya menjadi pasangan yang cocok untuk Marisha. Namun, entah siapa di antara kedua anak muda ini yang sebenarnya menginginkan perpisahan. Karena kalau dilihat-lihat, Marisha seperti berat saat memintanya untuk membatalkan perjodohan.
"Pengurus panti bilang kamu kemarin jalan sama Restu." Eyang menatap wajah Marisha yang kembali menunduk, tidak ada senyum dan wajah bersemu merah saat dia menyebutkan nama itu. Berbeda dengan saat dia bertemu atau menceritakan tentang Antariksa.
"Anaknya Mas Restu mau ulang tahun," jelas wanita muda itu sembari memijit kembali kaki eyangnya. Hal yang sering dilakukannya saat menjelang tidur. "Caca nyari kado, dan Mas Restu nawarin tumpangan."
"Restu juga sepertinya laki-laki baik," ujar Eyang sembari mengamati wajah Marisha lagi. Wanita muda itu kali ini menunjukkan senyuman tipis.
"Dia duda, punya satu anak. Apa Eyang nggak keberatan?" Marisha menanyakan hal tersebut sembari menoleh ke arah eyangnya. Berharap eyang keberatan dan dia memiliki alasan untuk menjauh dari Restu. Padahal tanpa alasan pun sebenarnya bisa saja dia menjauh, tetapi entah mengapa dia tidak melakukan itu.
Eyang meminta Marisha menghentikan pijatan, lalu menyuruh cucunya itu untuk mendekat. Digenggamnya jemari sang cucu sembari berujar, "Kalau memang Restu orang yang tepat, dan bisa bahagiain kamu, buat Eyang nggak masalah dengan statusnya."
Marisha tersenyum dengan perasaan kecewanya. Jadi, Restu adalah pilihan terbaik yang harus dia pertahankan?
"Dia baik sama Caca." Marisha tidak berbohong saat mengatakan itu. Restu adalah laki-laki lembut yang selalu memperlakukannya dengan baik. Laki-laki itu juga sangat sopan, dan tahu bagaimana memperlakukan wanita.
"Eyang nggak akan ikut campur lagi soal urusan ini. Apa pun keputusan kamu, dan siapa pun yang kamu pilih untuk menjadi pendamping hidup kelak, Eyang akan setuju." Eyang Dewi bersungguh-sungguh saat mengatakan itu. Dan yang bisa Marisha lakukan hanya memberikan senyuman, lalu menganggukkan kepalanya.
Sepertinya memang Restu adalah orang yang tepat, dan Antariksa—kepala wanita itu menggeleng pelan. Tidak perlu yang ada disesalkan karena Antariksa pun tidak menginginkannya. Dia harus tahu diri dan segera menghapus perasaan yang masih tersisa untuk laki-laki itu.
***
Terima kasih yang udah mau mampir, jangan lewatkan keseruan cerita baru aku yang berjudul Mr. Coffee and Cookie juga, ya. Ditunggu vomentnya temen-temen 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)
RomantizmAntariksa merasa terjebak dalam perjodohan yang ibunya buat. Hal klise yang tidak bisa dihindarinya karena belum juga bisa membawa calon istri sampai pada waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, dirinya harus menghadapi calon istri yang tidak dii...