Bab 26. Haruskah mundur?

249 8 0
                                    

"Sebenarnya kamu nggak perlu bawa apa-apa. Ibu aku ketemu kamu juga udah seneng." Restu tersenyum sembari mengamati wajah Marisha yang tampak serius memilah hadiah untuk ibunya. Laki-laki itu belum sadar jika sebenarnya pikiran Marisha tidak sedang berada di tempatnya.

"Ca?" panggil Restu saat akhirnya sadar jika kini Marisha tengah melamun. Terlihat hanya tangannya saja yang tengah memilah-milah barang. Sementara sorot mata wanita itu begitu kosong.

"Ca!" panggil Restu lagi dengan nada lebih tinggi serta sentuhan di bahu Marisha. Wanita itu terlihat terperanjat, seperti baru saja menemukan kesadarannya kembali.

"Eh, iya, Mas. Maaf, tadi Mas Restu ngomong apa?" Marisha mencoba untuk menunjukkan senyum, tetapi gagal.

Restu yang sebenarnya bingung dengan sikap Marisha berusaha untuk memakluminya. Mungkin wanita ini sedang banyak pikiran di rumah, atau usahanya.

"Aku bilang sebenarnya kamu nggak perlu bawa hadiah."

"Akunya yang nggak enak, Mas. Lagian hadiahnya juga nggak mewah." Marisha memilih barang yang dirasanya cukup bagus untuk dijadikan sebagai hadiah bagi ibu Restu. Hari ini fokusnya benar-benar sedang tidak baik. Sejak tadi isi kepalanya terus saja didominasi oleh wajah Antariksa serta apa yang laki-laki itu katakan. Mengapa Antariksa harus membuatnya bingung di saat yang tidak tepat seperti ini?

"Ngelamun lagi." Sentuhan tangan Restu di bahu membuat Marisha kembali tersentak. "Kamu ada masalah?"

Marisha tidak mungkin memberitahukan kegelisahan yang kini menyerang perasaannya. Maka yang wanita itu lakukan adalah menggelengkan kepala sebagai jawaban. Berharap Restu tidak lagi menanyakan apa pun karena pikirannya benar-benar sedang tidak baik.

*

Pertemuan dengan ibunda Restu berjalan lancar. Tidak ada pembahasan tentang hubungan Marisha dan Restu ke depannya. Namun, meski begitu Marisha tahu jika wanita yang telah melahirkan Restu itu ingin anaknya secepatnya menikah.

"Ibu udah jarang bisa tengokin Restu sama Queen. Cuman berharap akan segera ada orang yang bisa ngerawat dia setiap hari menggantikan Ibu."

Satu kalimat yang terasa jelas tujuannya. Saat itu baik Restu atau pun Marisha tidak ada yang merespon karena masing-masing bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Nggak usah dipikirin omongan ibu," ujar Restu saat mereka dalam perjalanan pulang untuk mengantar Marisha ke rumah makannya.

Marisha yang mendengar kalimat itu hanya tersenyum tipis, tidak memiliki respon yang tepat untuk kalimat Restu.

"Ibu cuman sering khawatir kalau aku sering ninggalin Queen sama susternya. Kamu pasti tahu kalau nggak ada yang benar-benar bisa dipercaya sekarang ini," ujar Restu lagi. Kalimatnya sama saja seperti tengah memojokkan Marisha. Jika itu berhubungan dengan Queen, maka Marisha seperti tidak bisa untuk menunda apa pun. Wanita itu begitu menyayangi anak Restu. Dia sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apakah hal itu sudah cukup untuk dirinya jadikan alasan menerima Restu?

"Tapi kamu jangan jadiin itu sebagai beban. Sejauh ini Queen baik-baik saja sama susternya." Restu memberanikan diri untuk menepuk punggung tangan Marisha yang berada di atas pangkuan.

Marisha yang masih belum menemukan kalimat respon tepat untuk diberikan pada Restu memilih untuk memberikan senyuman tipis. Dia benar-benar sangat bingung saat ini.

"Kalau Mas Restu masih ada urusan langsung pergi aja nggak papa." Marisha mengatakan itu saat keduanya sudah sampai di depan rumah makannya.

Restu sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu dengan Marisha. Namun, sejak tadi ponselnya terus ribut dan itu adalah masalah pekerjaan.

"Ya udah kalau gitu, Kamu kabarin kalu butuh apa-apa."

Marisha mengangguk, lalu segera turun dari mobil. Melambaikan tangan singkat pada Restu, lalu melangkahkan kakinya untuk masuk ke rumah makan yang sedang dalam kondisi tidak terlalu ramai. Wanita itu terus melangkah dengan pikiran yang tidak keruan, tetapi langkahnya terhenti saat melihat sosok Antariksa sedang duduk di salah satu meja rumah makannya. Tidak sendiri, laki-laki itu duduk bersama seorang gadis.

Marisha memundurkan langkahnya saat gadis itu bangkit, dan apa yang terjadi selanjutnya sungguh membuat jantung Marisha seperti dipukul oleh sesuatu yang tidak kasat mata saat itu juga.

*

Antariksa memijat keningnya yang terasa berdenyut oleh kelakuan Yasmin. Kini Marisha memang duduk di depannya, bersedia memberinya waktu untuk berbicara. Namun, sejak tadi tidak ada yang bisa Antariksa keluarkan dari mulutnya.

"Maaf, Re, aku masih punya pekerjaan." Marisha sudah siap bangkit karena sosok di depannya tidak juga mengeluarkan suara. Sejak tadi yang Antariksa lakukan hanya seperti orang kebingungan.

"Tunggu, Sha!" Antariksa menahan Marisha agar tidak pergi. "Aku bingung harus jelasin apa karena yang Yasmin lakuin tadi itu benar-benar nggak aku prediksi."

Marisha hanya diam, mengamati wajah Antariksa yang terlihat frustasi saat ini. Laki-laki ini, sebenarnya apa yang sedang terjadi. Dan sejauh mana hubungannya dengan gadis bernama Yasmin tadi?

"Kalau kamu nggak pernah ngasih dia harapan. Dia nggak mungkin berani kayak gitu sama kamu, kan?" Marisha hanya mengeluarkan apa yang menjadi isi pikirannya saat ini.

Antariksa tampak mengembus napas kasar. Apa yang Marisha katakan memang tidak sepenuhnya salah. Dia sempat memberikan sebuah harapan untuk Yasmin.

"Aku memang salah karena sempat jadiin dia tujuan buat melarikan diri dari kamu." Saat ini Antariksa benar-benar merasa bodoh karena tingkahnya itu. Siapa yang menyangka jika Yasmin adalah gadis gila yang akan mengejarnya meski harapan itu sudah tidak lagi ada.

"Kalau gitu kamu selesain urusan kamu sama dia. Aku nggak suka diseret-seret dalam masalah percintaan orang lain." Setelah mengatakan itu Marisha memilih bangkit dan masuk ke dapur. Harapan yang kembali tertanam untuk Antariksa sepertinya bukan sesuatu yang benar jika dirinya pertahankan. Laki-laki itu, telah memberikan sebuah tanda jika perjalanan yang akan mereka lalui tidaklah mudah jika dia memlih Antariksa.

*

"Maaf, Kak, boleh bicara sebentar?"

Pertanyaan itu sempat membuat seorang Marisha yang baru saja keluar dari rumah makannya terkejut. Sosok Yasmin kini berdiri di hadapannnya. Marisha sempat melongok ke arah tempat usaha Antariksa, entah laki-laki itu ada di tempatnya atau tidak.

"Jangan sampai ketauan Kak Anta karena dia bakalan marah kalau tahu aku nemuin Kakak." Wajah Yasmin saat mengatakan itu terlihat begitu sedih. Seperti ada beban berat yang saat ini gadis itu pikul.

Marisha yang tidak tega melihat wajah sedih Yasmin akhirnya mengangguk, dan mengajak gadis itu masuk untuk berbicara di ruanganya.

"Aku suka sama Kak Anta." Satu kalimat blak-blakan yang keluar dari bibir Yasmin saat akhirnya keduanya duduk di ruangan pribadi Marisha.

Marisha yang belum sepenuhnya duduk dengan benar tentu saja terkejut.

"Aku nggak akan ngelepas dia apa pun yang terjadi. Dan walaupun aku tahu kalau Kak Anta sukanya sama Kakak, aku tetep nggak akan pernah menyerah." Yasmin mengatakan itu tidak dengan sorot penuh ancaman, melainkan dengan sisi rapuh yang dimilikinya.

"Aku nggak tahu hubungan apa yang pernah terjadi antara Kakak dan Kak Anta. Tapi boleh aku minta Kakak untuk mundur?"

Marisha masih tertegun, pembahasan yang Yasmin berikan membuat kerja otaknya seakan berhenti saat itu. Jadi, apakah dia harus menuruti permintaan gadis ini? Karena saat memintanya untuk mundur, Yasmin seperti menunjukkan sebuah sisi lemah yang akan membuat siapa pun iba saat melihatnya. 

PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang