"Aku yang nyakitin dia dan keluarganya karena ngasih harapan semu. Dan akhirnya, pernikahan itu batal karena sampai hari di mana seharusnya aku jadi bagian keluarga itu, hati aku masih berada di tempat lain."
Kalimat itu terus terngiang di kepala Antariksa. Tidak hanya kalimatnya, tetapi bagaimana cara Marisha menatapnya saat susunan kata itu terucap juga masih teringat jelas di memori kepalanya. Namun, sayangnya tidak ada pembahasan lebih lanjut lagi karena Lili tiba-tiba datang memberitahu jika ada klien penting yang mencari dirinya. Antariksa tidak tahu kedatangan Lili hari itu suatu gangguan atau malah bantuan. Karena jujur saja, hingga kini Antariksa sendiri bingung apa yang harus dilakukannya setelah menerima informasi tersebut.
Dua hari sudah berlalu, dan Antariksa merasa jika tidak ada hal yang harus dilakukannya. Batalnya pernikahan Marisha tentu saja bukan menjadi urusannya. Setelah lepas dari Restu, wanita itu berhak untuk mendapat yang lebih baik. Dirinya—tidak, tidak, bahkan untuk sekadar membayangkan pun rasanya Antariksa merasa tidak pantas untuk menjadi kandidat selanjutnya sebagai pasangan hidup seorang Marisha.
"Coba tadi Ibu ketemu siapa di jalan?"
Kalimat tanya dengan nada semringah itu menyentak lamunan Antariksa yang sejak tadi tidak fokus pada layar televisi di depannya. Reisa yang sejak tadi duduk di samping abangnya—sibuk mengerjakan tugas kuliahnya pun ikut mengalihkan perhatian. Di mana kini ibu mereka tengah berjalan masuk dengan seorang wanita yang terus saja menganggu keseharian Antariksa meski hanya di dunia khayal.
"Kak Marisha?" Sambutan penuh senyum itu Reisa lontarkan pada Marisha yang langsung membalasnya dengan senyuman manis.
"Apa kabar, Rei? Kayak udah lama banget nggak ketemu kamu." Marisha tidak sedang berbasa-basi. Dia memang merasa sudah lama sekali tidak menyapa gadis muda ini, terlebih lagi rumah yang kini dirinya tapaki. Kenangan tentang hari di mana lamaran antara dirinya dan Antariksa terjadi hari itu terngiang kembali di kepalanya.
"Iya ih, kayak udah lama banget nggak ketemu, ya, Kak?" Reisa langsung bangkit dan menarik lengan Marisha agar mau duduk di bangku kosong tepat di depan abangnya.
Antariksa langsung salah tingkah. Laki-laki itu hanya melempar senyum tipis pada Marisha, lalu pura-pura sibuk memencet remote televisi untuk mengubah saluran.
"Rei, kamu bantu Ibu buat minum dulu." Lestari memberi kode pada putri bungsunya untuk meninggalkan Antariksa dan juga Marisha.
Marisha yang sudah ingin membuka suara agar ibu Antariksa tidak repot-repot menyiapkan sesuatu untuknya urung bersuara saat wanita itu mengedipkan mata padanya. Di perjalanan ke rumah ini keduanya sudah berbicara banyak, dan sudah membuat satu kesepakatan.
Antariksa melihat betul kode-kode yang ibunya beri. Baik untuk adiknya, atau pun juga untuk Marisha. Merasa waswas dengan rencana yang sedang ibunya itu susun, tetapi sayangnya Antariksa tidak tahu harus berbuat apa.
"Jangan didengerin kalau ibuku ngomong aneh-aneh." Akhirnya kalimat itu meluncur setelah hening beberapa detik. Antariksa memilih untuk mematikan televisi yang tidak memiliki acara bagus sama sekali.
Marisha tersenyum, memindai tubuh Antariksa dan merasa lega saat wajah laki-laki itu terlihat jauh lebih segar dari dua hari yang lalu.
"Aneh-aneh? Contohnya?" Marisha hanya berlagak bodoh, tentu saja dia paham betul apa yang Antariksa maksud.
"Kamu pasti tahu apa yang aku maksud. Pasti ada sesuatu yang beliau bilang ke kamu waktu di jalan tadi."
Marisha kembali menunjukkan sebuah senyuman, memandang wajah Antariksa yang kini tampak salah tingkah dan berpaling darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)
RomantikAntariksa merasa terjebak dalam perjodohan yang ibunya buat. Hal klise yang tidak bisa dihindarinya karena belum juga bisa membawa calon istri sampai pada waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, dirinya harus menghadapi calon istri yang tidak dii...