Part 26 [End]

3.6K 186 10
                                    

Perubahan sikap Naren begitu ketara, Naren memang tidak secerewet Haikal tapi juga tidak sependiam Jevano apalagi serandom Javier, Naren berubah menjadi seseorang yang tertutup dan juga emosinya yang kadang meledak-ledak, bahkan karena masalah sepele sekalipun.

Saat ini Naren tengah mengurung dirinya lagi dikamar, tidak ada yang dia lakukan selain menatap kosong ke depan. Suara-suara itu masih saja datang apalagi ketika dia sedang sendirian seperti ini, suara-suara itu akan terdengar lagi.

"Lu pengecut Naren."

"Gua memang pengecut." Kali ini dia setuju dengan suara itu, dia memang pengecut.

"Haikal mati gara-gara lu Naren."

"Bukan gua, dia mati dengan sendirinya gua gak ngelakuin apapun."

"Semua orang akan ninggalin lu sendiri seiring berjalannya waktu karena sikap egois dan keras kepala lu itu."

"Enggak, mereka gak bakal ninggalin gua sendiri!"

Naren menoleh kearah nakas, disana ada sebuah pisau buah yang tergeletak diatas nakas. Dia sudah berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri tapi selalu gagal karena digagalkan oleh orang tuanya, dia juga sudah sering diajak oleh mama nya untuk menemui psikiater tapi dia selalu menolak karena menurutnya dia masih waras, dia tidak gila jadi untuk apa datang ke psikiater.

Naren mengulurkan tangannya untuk mengambil pisau tersebut tapi ia urungkan karena teringan janjinya kepada mama nya.

"Ambil pisau itu Naren ambil!"

"Enggak, gua udah janji sama mama buat gak ngelakuin itu lagi."

"Pengecut lu, lu emang bener-bener pengecut."

"Pergi!"

Naren bangkit dari posisinya lalu membuka laci nakas dan mengambil obat tidur lagi. Lagi, dia harus meminum obat tidur agar tidak mendengar suara-suara itu dan juga agar dia bisa tidur dengan tenang. Naren mengambil beberapa butir obat tidur lalu meminumnya, dia meminum obat itu sekaligus dalam sekali tenggak.

Setelah meminum obatnya Naren kembali merebahkan tubuhnya keatas kasur, kadang dia berpikir bagaimana caranya agar dia tenang barang sedetik saja tanpa ada suara-suara itu yang muncul. Terkadang disaat dirinya tengah sendiri tiba-tiba rasa bersalahnya kepada Haikal muncul.

***

Sendari tadi Naren hanya diam sambil menatap kearah depan dengan wajah datar, tidak ada yang dia lakukan. Pintu kamar Naren terbuka memperlihatkan Wendy yang membawa nampan berisi makanan untuk Naren, Naren tau kalau itu adalah mama nya tapi dia tidak bergerak sama sekali.

"Sayang, mama bawain makanan buat kamu, makan dulu ya kamu belum makan dari tadi," ucap Wendy.

"Taruh aja di meja," balas Naren.

Wendy menghela nafasnya, dia sedih melihat keadaan anaknya yang seperti ini. Dia hidup tapi seperti tidak ada aura kehidupan di dalamnya. "Yaudah, mama taruh disini ya. Jangan lupa kamu makan, mama keluar dulu," ucap Wendy.

"Iya."

Wendy menatap nakas yang berada di samping tempat tidur Naren, disana ada pisau buah yang tergeletak diatasnya. Dia mengambil pisau itu agar Naren tidak melukai dirinya lagi seperti terakhir kalinya, setelah mengambil pisau itu Wendy pun keluar dari kamar Naren.

Setelah kepergian Wendy, Naren pun mulai bergerak mengambil nampan yang berisi makanan. Dia tidak ingin membuat mama nya sedih, setidaknya dia memakan masakan buatan mama nya walaupun sedikit. Setelah beberapa suap, Naren kembali meletakan nampan tersebut keatas meja yang berada tidak jauh darinya.

"Lu cuma beban Naren, lebih baik lu mati."

Ah suara-suara sialan itu muncul lagi, Naren diam tidak menghiraukan suara-suara sialan itu yang kembali muncul. Ya, dia akui kalau dia hanya beban dan selalu saja membuat mama nya sedih.

"Hanya ada satu cara yang bisa membuatmu tenang dan tidak lagi merasa bersalah Naren, mati itulah caranya."

Benarkah? Apa dengan cara itu dia bisa tenang?

"Mati?"

"Ya, mati itulah caranya Naren. Ayo lakukan!"

Naren menggelengkan kepalanya. Tidak, dia masih mengingat janjinya kepada sang mama.

"Hanya orang bodoh yang memilih bertahan, bahkan ibumu sendiri menganggap mu gila Naren. Orang tua mu sudah lelah mengurusmu."

Benarkah? Mama nya menganggap dirinya gila? Orang tuanya sudah lelah mengurus dirinya?

"Bohong!"

"Buktinya ibumu membawamu ke psikiater bukan? Itu tandanya mereka menganggap mu gila."

Tidak, suara itu pasti berbohong. Memang benar mama nya selalu membujuknya untuk pergi ke psikiater, tapi mama nya tidak pernah mengganggap dirinya gila. Dia bisa melihat dengan jelas sorot ke khawatiran yang terpancar dari mata mama nya.

"Ibumu hanya bersandiwara Naren agar terlihat seperti seorang ibu yang menyayangi anaknya."

"Bohong! Lu bohong, mama gak kaya gitu!"

Naren beranjak dari posisinya, dia berjalan keluar menuju ke kamar orang tuanya. Saat di depan kamar orang tuanya langkah kakinya terhenti begitu mendengar percakapan kedua orangtuanya, dia bisa mendengar percakapan mereka karena pintu kamar orang tuanya yang tidak tertutup rapat.

"Sepertinya kita harus membawa Naren ke rumah sakit jiwa," dia tau, itu suara papanya.

"Naren gak gila mas!"

"Lebih baik Naren dibawa kerumah sakit jiwa agar mendapat penanganan dari yang lebih ahli, kita sama-sama sibuk jadi kita tidak bisa terus-terusan mengawasi Naren. Mas tau kalau Naren sudah dewasa tapi lihat saat terakhir kali kita meninggalkannya, dia mencoba bunuh diri."

"Aku, aku bisa menjaga Naren tanpa bantuan mereka, mas."

Sudah cukup, hatinya sakit saat mendengar percakapan orang tuanya. Jadi mereka benar-benar menganggap dirinya gila dan akan membawanya kerumah sakit jiwa ya? Naren kembali berjalan menuju ke kamarnya, sesampainya di kamar Naren langsung mengunci pintu kamarnya.

"Lihat, mereka benar-benar menganggap mu gila Naren. Semua orang akan pergi meninggalkan mu bahkan kedua orang tua mu, lebih baik mati bukan?"

Naren menggelengkan kepalanya, tapi percakapan orang tuanya kembali berputar di kepalanya. Air matanya mengalir tanpa aba-aba, sebegitu tidak inginnya sang papa merawatnya sampai dia ingin mengirimnya ke rumah sakit jiwa.

"Lebih baik akhiri saja hidupmu Naren, kau sudah tidak berguna lagi."

Naren berjalan kearah cermin yang berada di kamarnya, tanpa aba-aba Naren memukul cermin itu hingga pecah menjadi beberapa bagian, tangannya pun berdarah akibat memukul cermin itu.

"Ambil lalu goreskan ke lengan mu."

Perlahan Naren mengambil pecahan kaca tersebut dan mulai menggoreskan pecahan kaca tersebut ke lengannya. Perlahan darah menetes dari pergelangan tangannya, cukup menyakitkan tapi itu membuatnya tenang.

Lebih baik seperti ini kan? Dia tidak akan lagi merasa bersalah kepada Haikal, tidak akan lagi membuat mama nya bersedih dan tidak lagi membuat orang tuanya susah. Perlahan Naren mulai menutup matanya dengan nafas yang mulai melemah.

Dia merasa tenang karena akhirnya suara-suara itu sudah tidak terdengar lagi bersamaan dengan dirinya yang menghembuskan nafas terakhirnya di kamarnya sendiri ditemani oleh sepi dan kesunyian yang abadi.

___________________________

Jangan lupa vote & komen
Sorry kalo banyak yang typo

Akhirnya cerita ini selesai juga wkwk. Gimana sama endingnya?

Agak gimana gitu ya sama endingnya, aku bingung mau nulis ending yang gimana jadi aku buat ending yang kaya gini.

Maafin ya kalo gak suka sama endingnya.

See you on next story 💚

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ABOUT HAIKAL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang