prolog

5.9K 320 20
                                    

Notes : gak ada yang berubah kok. Tadi ketindis unpublish wkwkw.

 Tadi ketindis unpublish wkwkw

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___________

"NAAAAA.."

"GIANAAAA"

Lelaki berusia dua puluh tahun itu kelihatan seperti mencari sesuatu. Ia dengan kasar mencari benda di bawa sofa, meja dan belakang televisi, sambil berteriak.

“GIAAAAANAAAAAAAAA”

Tak ada respon.

Lelaki bernama Jovan Andreas dengan wajah yang kesal segera berjalan menuju kamar Giana Oktavia— sahabatnya.

"Na.., stick game gue mana?"

Giana yang sedang berada di depan komputernya berbalik dengan nafas yang di hembuskan kasar, "Kannn.. udah gue bilang.. makanya kalo udah main game langsung simpen di tempatnya. Sisa lo simpen di meja, jangan di buang gitu aja! Lo itu kebiasaan banget, sih! gue udah ngomong berkali-kali tapi—"

"Ssshh. Gue cuman nanya siapa tau lo yang simpen, gue bukan minta bantuin nyari, ngomel mulu ah." Jovan menampilkan ekspresi yang lelah, ia tahu ia pasti akan di marahi oleh sahabatnya itu. Jovan lalu keluar mencari stick gamenya, kali ini dengan teliti.

"Gimana gue gak ngomel kalau lo manggil gue gak jauh-jauh dari kebiasaan pelupa lo, JOVAN..."

Karena pintu kamar Giana terbuka, Jovan bisa mendengar dengan jelas omelan Giana, “Iya.. iya.. maap, gue gak liat. NAHH UDAH KETEMU. Dah, silahkan lanjutin nulisnya tuan putri.”

"FOKUS GUE RUSAK GARA-GARA LO!!"

Jovan tertawa dan mengambil posisi untuk bermain game PlayStation.

Giana dan Jovan sudah sahabatan sejak Sekolah Menangah Pertama, mereka sudah mengenal sejak remaja. Keduanya sudah saling mengenal satu sama lain bahkan keluarga mereka juga ikut bersahabat karena kedekatan Giana dan Jovan. 

Papa Giana kerap kali menitipkan putri satu-satunya kepada Jovan. Apalagi saat mengetahui keduanya lulus di universitas yang ada di kota pelajar, membuat Papa Giana harus rela membiarkan putri satu-satunya itu untuk merantau. Papa Giana bernafas lega saat tau Jovan juga lulus di universitas yang sama. Oleh karena itu ia mengatur sedemikian rupa agar Jovan dan Giana dapat tinggal di tempat yang sama dengan kamar berbeda.

Bahkan Papa Giana yang membayarkan biaya apartemen Jovan, agar lelaki itu berjanji akan menjaga Giana dengan aman disini. Keluarga Jovan awalnya menolak karena terlalu tak enak, dengan alasan keluarga Jovan juga mampu membayar apartemen yang Jovan tinggali. Akan tetapi Papa Giana ngotot, ingin membayarkan Jovan, karena rasa terima kasihnya kepada lelaki itu yang sering menjaga Giana. Keluarga Jovanpun menerimanya karena melihat ketulusan Papa Giana yang memang terlihat sangat bergembira mendengar Jovan juga lulus di universitas yang sama dengan putrinya.

Padahal jika Papa Giana tidak membayar pun, Jovan sudah pasti akan menjaga sahabatnya itu, mengingat Giana sangat teledor dalam hal menjaga diri.

Bukan tanpa alasan Papa Giana takut akan keselamatan Giana, karena pernah sekali saat ia pulang dari kantor, pintu rumahnya terbuka lebar, dan saat masuk, ia melihat Putrinya itu tertidur pulas di depan televisi— hal-hal kecil seperti itu yang ia takuti. Giana terlalu meremehkan kasus perampokan atau bahkan yang lebih ngeri pemerkosaan, yang membuat Papa Giana sering ketakutan sendiri, menitipkan Giana kepada Jovan adalah hal terbaik, mengingat Jovan sudah mendapatkan nilai plus dimata Papa Giana, Jovan yang memiliki Integritas. Jovan yang intelektual. Jovan yang selalu terlihat rapi dari penampilannya.

Ha ha ha. Tidak tahu saja, Jovan itu busuk! Hal yang sangat ingin Giana beritahu kepada Papanya, bahwa Jovan tidak sebagus itu.

Dan disinilah Jovan, jika bosan di apartemennya ia akan bermain di apartemen Giana, bahkan hampir 50 persen game Jovan ada di apartemen Giana, membuat Giana selalu stress jika melihat game Jovan yang berantakan. 

Kenapa Jovan lebih suka di apartemen Giana? Alasannya simple, di apartemen Giana lebih hidup. Banyak makanan, banyak cemilan, ia hanya tinggal mencomotnya. Sedangkan di apartemennya, kosong melompong. Tidak ada kehidupan selain kamarnya. Lagian ngapain juga dia harus beli peralatan-peralatan begitu di saat ia lebih suka numpang masak di apartemen Giana. Membuang-buang uang saja. Itu yang di pikirkan Jovan.

Giana yang terlihat sudah malas untuk melanjutkan menulis ceritanya, keluar dari kamarnya dan menemukan Jovan sudah berteriak tidak jelas sambil memakan cemilan Giana, ya. Tanpa bilang kepadanya. Giana sendiri sudah capek menegurnya dan berusaha membiarkannya. Ia bahkan berusaha menyetok banyak-banyak karena tau ada orang yang sering mencuri cemilannya.

“Lo mending tinggal di sini aja, buang-buang duit tau gak. Apart lo, gak pernah lo pakai!”

Jovan melirik sekilas, “Ide bagus, apa gue ngomong ke Papa aja ya??”

Papa yang dimaksud adalah Papa Giana.

Giana mendecih sambil ikut duduk mengambil stick lainnya, “Ayo tanding.”

“Gak. gue males tanding sama orang yang mentalnya lemah. Kalah dikit nangis.”

PLAKKK.

Tamparan mulus di punggung Jovan keluar begitu saja membuat sang empu terkekeh senang.

Karena Jovan tidak menanggapi Giana, Giana membaringkan kepalanya ke pangkuan Jovan. “Ck. Apaansih. Minggir! Kepala Lo berat!”

Giana tidak menggubrisnya, “Jopan.”

“Jo—van.” koreksi Jovan, sudah sepuluh tahun lamanya mereka berteman tapi Giana masih selalu mengganti namanya semau hatinya.

“Rasanya jatuh cinta gimana ya, Pan..?”

“Paan dah?”

“Karakter utama gue belum jatuh cinta juga, jalan ceritanya udah mulai ngebosenin. Pembaca gue ilang satu-satu.”

Jovan dengan fokusnya yang terbagi dua melirik ke Giana yang masih anteng tiduran di pangkuannya. “Cerita Lo emang dari dulu ngebosenin. Flat banget, gak ada konflik, gak ada bumbu-bumbu romance. Pantes pembaca Lo pada lari.”

“Jatuh cinta itu kayak gimana sih?? Gue bingung. Gue harus ngerasain supaya bisa gue utarain lewat tulisan. Tapi gue gak tau. Paling mentok, ya nge fans doang. Gue gak pernah yang benar-benar jatuh cinta terus nangis gara-gara cinta. Gue pen, ngerasain itu juga, Pan....”

“WOYYY GOALLLLL HAHAHAHA MAMPUS!!!”

Giana di serempet begitu saja saat Jovan berhasil mencetak goal. Giana bangun dengan raut wajah kesal.

“KELUAR LO DARI APARTEMEN GUE!!!”

“JOVAAANNNNNN TOPLESS GUE PECAH. ENYAH LO ANYENGGGG.”

"TOPLES KESAYANGAN GUEEEE"

______

Hanya tentang kehidupan mereka berdua.

Jovan dan Giana.

Yang bilang ini angst, sini maju wkwkw.

Makanya baca dulu.

Tapi gak tau deh hahaha.

Bye!

Glimpse of usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang