21. Alat Penyangga Hidup

7 0 0
                                    

Semesta kali ini memang sedang berpihak pada perempuan malang ini. Kali ini ada sercecah kebahagian yang menghampirinya, tapi tunggu duluㅡini bukan mimpi lagikan? Bukan mimpi kalau kali ini Tuhan memang mengabulkan doa yang selalu ia rapalkan?

Ricuhnya bunyi alat-alat di ruangan ini membuatnya tak kuasa untuk menahan tangis. Pika mengenggam tangan kurus itu dengan penuh kasih sayang. Ia mengelus lembut punggung lengan lelaki yang sangat ia cintai. Ia rasa semua ini mimpi, tapi saat kulit tangan itu beradu, ia rasa semua ini nyata.

Hangatnya telapak tangan Pika memberi kehangatan pada tangan dingin lelakinya.

Perempuan itu terisak hebat saat ia sentuh pipi kurus Jaendra, ventilator yang menjadi alat bantu untuk sang suami bernafas terpasang di wajah kurusnya. Alat-alat di ruang itu menjadi penyangga agar Jaendra tetap hidup. Pika pandang sosok yang sangat ia rindukan, Jaendra tertidur sudah sangat lama di ranjang itu. Ia terdiam sembari menelisik seluruh yang ia liat. Pika itu orangnya ga percayaan, sebab terlalu banyak hal yang tak terduga terus terjadi di hidupnya.

"Aku mimpi? Tapi semuanya tampak nyata." ucapnya memandang wajah sang suami.

"Mas Andra.... aku rindu sama kamu, aku udah liat kamu sekarang. Aku udah bisa sentuh kamu, tapi aku takut buat meluk kamu, aku takut kalau ini mimpi kayak sebelumnya. Aku takut saat aku meluk kamu, kamu hilang lagi." Lirihnya.

"Mas ayo bangun. Aku udah ngelahirin putri kita, namanya Kayla. Lusa  dia ulang tahun. Kamu harus bangun, Mas, biar bisa rayain ultah Kayla bareng-bareng. Kamu harus liat putri kecil yang dulu selalu kita tunggu. Mas Andra harus bangun, janji sama aku kalau kamu bakalan nyambut kehadiran Kayla." Pika terisak hebat di samping Jaendra. Perempuan itu sangat merindukannya, ingin ia peluk tubuh itu tapi rasanya tak mungkin.

Saat Dila datang memberi kabar bahwa Jaendra masih hidup, Pika terburu menghampiri ke rumah sakit. Jantungnya seperti sejenak berhenti, ia sulit buat memahami semuanya. Perempuan itu tak hentinya menangis. Ia tak henti berucap syukur pada Tuhan, merapalkan doa agar semuanya baik-baik saja. Ia harap kali ini semesta berpihak padanya, Pika berharap kali ini semesta memang membawa kembali kebahagian yang hilang itu. Pika harap kali ini semesta tak membohonginya lagi.

"Kamu harus bangun. Mas, aku masih disini nungguin kamu. Aku pamit keluar dulu ya jam besuk sudah habis." Ucapnya sembari mencium punggung lengan lelaki itu.

Pika keluar dari ruangan kaca itu, jujur sebenarnya ia masih tak percaya. Ia masih beranggapan semua ini mimpi.

Wanita itu tersandar lemah di bangku rumah sakit, ia memejamkan matanya yang kini terasa sakit sebab terus menangis seharian. Tepukkan pelan di bahunya membuat Pika menoleh ke kanan, Pika memeluk erat tubuh bongsor sang abang.

"Aku mimpi?" tanyanya dan masih terisak.

Defri mengelus lembut punggung sang adik, "kali ini nyata Pika, kamu engga mimpi lagi."

"Bang apa mungkin Jaendra bangun?" tanyannya sendu.

Defri tersenyum sembari menghapus jejek air mata yang sudah memenuhi muka sang adik. "Pasti.. kita berdoa saja."

Defri bersyukur mendapatkan kabar bahwa Jaendra masih adaㅡwalaupun dengan keadaan yang sekarang. Defri berharap ada keajaiban yang datang menghampiri Jaendra.

"Saya ingin berbicara kepada keluarga pasien." ucap Dokter itu.

"Saya istrinya, Dok." jawab Pika dengan suara yang serak.

Dokter itu mengangguk dan berjalan menuju ruangannya, Pika dan Defri berjalan mengekori Dokter itu menuju ruangannya. Defri menunggu di luar ruangan.

Perasaan cemas dan kekhawatiran itu menghampiri Pika, ia takut kalau ada kabar buruk tentang Jaendra. Ia takut kesenangannya kali ini di hancurkan lagi.

Langit 33.000 Kaki [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang