Swastamita di depan sana memberi banyak kenangan perihal hidupnya.
Pika memandangnya begitu sendu pada laut lepas di hadapannya. Perempuan itu memejamkan mata saat matahari itu menghilang di garis cakrawala.
"Kalau memang laut tak membawa jiwa dan nyawa mu setidaknya ia bawa saja jiwa mu kehadapan ku." Ucapnya di dalam hati.
Cairan bening itu jatuh membasahi pipi kurusnya, perempuan itu menangis lagi. Matanya terbuka saat matahari sudah habis tenggelem. Gelap yang ia liat di sekitar sana.
"Ayo pulang." Pika mengangguk mengikuti langkah sang adik.
Sejak sedari sore ia mengunjungi laut yang dulu menjadi tempat paling ia senangi. Tempat yang banyak menyimpan cerita bahagia. Namun saat orang yang ia sayangi di peluk laut, laut tak lagi seindah dulu. Hanya ada sendu saat ia menatap luas pada tempat yang begitu indah.
Tak mau berharap banyak lagi pada takdir yang sudah terlihat jelas, Pika memilih mengikhlaskan apa yang seharusnya ia ikhlaskan. Mempercayai bahwa Jaendra tak akan pernah pulang lagi. Ia tidak bisa berharap apapun. Pika harus bisa menerima semuanya walaupun itu terlalu sulit.
Sulit sekali.
Sulit menerima kepergian seseorang yang secara tiba-tiba. Pagi itu Jaendra masih bisa membalas chatnya. Jaendra menyuruhnya menunggu, tapi sampai kapan Pika menunggu?
Katanya dia akan pulang, tapi kini dia pulang ke rumah yang mana?
Pika menunggu Jaendra pulang. Setiap detik, setiap jam dan setiap hari. Tahun sudah berganti, tapi dirinya tak pulang juga. Anak sudah besar tapi Jaendra kemana?
Perempuan itu tersentak saat telapak tangan nan munggil itu mendarat di pipinya. Kayla tertawa dengan dua gigi bawah yang tampak begitu jelas. Sorot matanya berkelip seolah memberi isyarat, "Bunda jangan sedih terus. Disini ada Kayla."
"Bunda ga pa-pa," katanya sembari mengelus lemput kening sang anak. Pika sadar akan perlakuan Kayla, bayi itu seolah tahu akan pahitnya kehidupan yang di jalanin sang bunda.
Acap kali Pika temui Kayla memberi perhatian ke arahnya. Seperti saat ini binar matanya begitu indah, sorat mata itu mirip sekali saat Jaendra menatap dirinya dulu.
"Mirip." Kekehnya. "Mirip banget sama ayah mu."
Memang benar sekali, Kayla itu sangat-sangat mirip dengan sang ayah. Sorot mata, cara dia memandang sang bunda, bahkan senyum yang indah itu mirip sekali dengan Jaendra.
Seolah memberi ganti atas kepergian sang raja.
"Tidur ya, Nak." Katanya mengelus lembut dahi sang putri semata wayang.
"Pika." Suara panggilan itu membuat Pika menoleh ke sumber suara.
Keterkejutan itu sangat kentara di wajah Nata. Seolah tidak percaya dengan apa yang ia liat. Pria itu berjalan menghampirinya.
Pika berdiri, "Lo duduk dulu nanti gue ceritain semuanya. Gue mau antarin Kayla ke kamar dulu." Wanita itu berjalan meninggalkan Nata dengan penuh pertanyaan di kepalanya.
Dari arah dapur sana Juan berlari dengan tergopoh-gopoh, handuk yang ia sampiri di bahunya sempat terjatuh kelantai.
"Nata udah datang belum?" Paniknya, Pika hanya mengangguk sebagai respon.
"Udah?!" Pika mengadikan dagu ke ruang tamu. Dapat di lihat Nata masih mondar-mandir disana. Hal itu membuat Juan menepuk jidatnya.
"Sumpah gue lupa kalau lo masih di sini." Paniknya sembari menggaruk tengkuk yang tak gatal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit 33.000 Kaki [ON HOLD]
Ficción GeneralKau terlalu jauh pergi, sehingga aku tak sanggup lagi untuk menarik mu dalam peluk ku. Tuhan takdirkan kita, tapi hanya sebentar saja? Kau hidup, selalu hidup di dalam jiwa ku. Publis: 29 Agustus 2022 ©Gemimi08, 2022